ilustrasi perempuan

Orientasi dalam kepemimpinan Islam ialah mewujudkan kemaslahatan seluruh rakyat yang dipimpin (al-siyasah ala al-ra’iyyah manuth bi al-maslahah). Siapapun, baik itu laki-laki ataupun perempuan yang memiliki suatu kapasitas dalam memimpin suatu negara. Syekh Muhammad Al-Hasby pernah memuji negara-negara  yang memberikan kesempatan perempuan berpartisipasi aktif dalam memimpin dan mengelola negara, seperti Indonesia, Pakistan dan Bangladesh disebutnya sebagai negara-negara yang patut diapresiasi karena pernah dipimpin seorang perempuan.

Hal ini bisa disebut atau dianggap sebagai anomali pada kebanyakan orang. Menurutnya fenomena tersebut adalah bagian dari integral dari ajaran Islam. Setidaknya harus dianggap sebagai bagian praktik keislaman yang otoritatif yang layak didukung dan diapresiasi.

Sementara banyak orang masih terkungkung dengan pemahaman literal dari hadis Imam Bukhori bahwa “Bangsa yang dipimpin perempuan tidak akan sejahtera.”. Teks hadis ini sudah didiskusikan maknanya oleh berbagai ulama sejak kemunculannya. Sehingga tidak bisa dikatakan larangannperempuan memimpin sebuah negara, dll, adalah pandangan mutlak dalam hukum Islam.

Hadis Dasar Larangan Perempuan Memimpin

Riwayat hadis yang dimaksud adalah riwayat Abu Bakrah r.a., yang waktu itu menolak kepemimpinan politik Aisyah r.a., yang menjadi panglima pasukan perang. Artinya, sejak kemunculannya, Hadis ini sudah diperdebatkan pemaknaan dan aplikasinya pada realitas. Sebagaimana Hadis dibawah ini yang lumayan cukup populer.

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam, telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata, Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata, ‘Tatkala sampai kepada Rasulullah ﷺ,  bahwa penduduk Persia telah dipimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda, “Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita.”

Dalam hadis ini seperti terekam jelas di dalam teks tersebut, nuansa hadis ketika diucapkan Nabi Saw. maupun ketika pertama diriwayatkan oleh sahabat Abu Bakrah r.a., adalah murni terkait dengan sosial dan politik. Abu Bakrah adalah sesosok orang yang menentang kepemimpinan politik Aisyah r.a., sehingga teks tersebut harus sesuai dengan konteks sosial politik tertentu, bukan sebagai norma yang universal. Sebagaimana ditegaskan di hadis lain, bahwa kepemimpinan harus dipegang oleh orang yang bertanggung jawab, kuat, melayani, memberikan kebaikan dan mensejahterakan masyarakat.

Perempuan yang disebut pada konteks Abu Bakrah dianggap sebagai orang yang secara social tidak memiliki kapasitas yang cukup dan kuat sebagai pemimpin. Sebaliknya jika perempuan memiliki kapasitas dalam memimpin dan memiliki kekuatan politik maka ia boleh menurut perspektif hukum islam.

Konteks Fikih

Perempuan ketika menjadi pemimpin harus dipahami sebagai suatu yang bersifat historis, kultural, dan kontekstual menurut mayoritas ulama klasik, dan juga terbatas kepemimpinannya secara global, seperti halnya pada masa awal Islam yang sama persis dengan kepemimpinan suku Quraisy pada masa awal  Islam.

Imam Syahrastani (w.548/1153) dalam kitab al-milal wa al-nihal menyatakan bahwa keyakinan umum tentang tidak mengakui kepemimpinan suku Quraisy dianggap sesat secara agama. Namun, bagi masyarakat awal Islam, menerima dan memilih pemimpin dari golongan Quraisy adalah bagian dari keimanan Islam hingga pada abad keenam Hijriyah.

Akan tetapi, ada ulama yang pertama kali berani mengkritik dan menawarkan pandangan alternatif mengenai suatu ungkapan tentang kepemimpinan berbasis suku ini adalah Ibnu Khaldun (w. 808/1406). Artinya, selama delapan ratus tahun setelah sepeninggalan Nabi Saw, realitas sosial dan politik secara kuat memberi legitimasi untuk mengkritik tentang kepemimpinan Quraisy.

Ibnu Khaldun memandang tulisan mengenai kepemimpinan dari golongan Quraisy bukan memandang dari ras suku, akan tetapi memilih karakter yang cukup untuk memimpin suatu negara. Sehingga siapapun bisa menjadi seorang pemimpin dengan karakter yang yang didukung. Namun, sebaliknya jika seseorang tidak memiliki karakter tersebut, sekalipun dari golongan Quraisy maka tidak boleh dipilih untuk menjadi seorang pemimpin. Teks kepimpinan dengan demikian, harus dipahami substansinya bukan literal teksnya.

Setelah Ibnu Khaldun mengkritik dan memiliki metode kritik sendiri, banyak dari ulama kontemporer terispirasi oleh Ibnu Khadun untuk memformulasikan ulang tetang narasi keagamaan yang membahas tentang kepimpinan perempuan dalam ranah politik dan social. Namun, larangan ulama klasik tidak dipahami sebagai bentuk larangan terhadap jenis kelamin yang menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap seorang perempuan, melainkan mengenai bentuk kepimpinannya yang lemah, yang mana identic dengan perempuan.

Dalam teks hadis yang melarang itu sesungguhnya juga berita informatif yang mengarah pada kekaisaran Persia yang pada itu dipimpin oleh putri Kisra bernama Barwan bint Kisra, seorang perempuan yang masih muda, lemah, dan belum ada pengalaman dan dukungan kuat oleh para penggawa. Artinya hadis ini tidak cukup kuat untuk menjadi landasan pelarangan kepimpinan perempuan dalam politik dan yang lain.

Hadis Pembanding

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنِي اللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ بِكِتَابِهِ إِلَى كِسْرَى فَأَمَرَهُ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ الْبَحْرَيْنِ يَدْفَعُهُ عَظِيمُ الْبَحْرَيْنِ إِلَى كِسْرَى فَلَمَّا قَرَأَهُ كِسْرَى مَزَّقَهُ فَحَسِبْتُ أَنَّ ابْنَ الْمُسَيَّبِ قَالَ فَدَعَا عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُمَزَّقُوا كُلَّ مُمَزَّقٍ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yunus dari Ibn Syihab bahwa ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Utbah bahwa Abdullah bin Abbas mengabarkan kepadanya, “Rasulullah mengutus utusan membawa suratnya ke Kisra, beliau perintahkan ajudannya untuk menyerahkannya ke penguasa Bahrain, dan penguasa Bahran agar menyampaikan kepada Kisra. Ketika Kisra membacanya, ia langsung merobek-robeknya.” Dan kutaksir Ibnul Musayyab menyebutkan, “Dan Rasulullah mendoakan kecelakaan atas mereka, agar dihancurkan sehancur-hancurnya.

Metode Mubadalah dalam Isu kepemimpinan Perempuan

Makna kepemimpinan dari redaksi metode mubadalah adalah kepemimpinan politik dalam Islam berpegang pada prinsip berdasarkan kemampuan individu, bukan pada jenis kelamin. Hadis yang dibawakan oleh Abi Bakrah tentang ketidaksuksesan pemimpinn perempuan bersifat informatif saja, bukan secarra normatif, apalagi universal.

Namun, sebenarya hadis ini berbicara tentang kepemimpinan seseorang yang belum matang dalam usianya, belum ada kapasitas yang cukup, dan tidak ada ilmu dalam politik atau dukungan dalam berpolitik. Tentu kepemimpinan seperti inilah yang kan hancur, dan tidak berjalan sukses baik itu laki-laki atau perempuan. Sebaliknya jika seseorang mempunyai integritas yang cukup, kapasitas dalam ilmu kenegaraan, dan dukungan politik  yang cukup, bisa jadi modal bagi kesuksesan orang-orang yang dipimpinnya.

Di dalam kaidah fiqh tentang orientasi kepemimpinan dalam Islam itu harus bisa mewujudkan kemaslahatan seluruh rakyat yang dipimpin (al-siyasah ala al-raiyyah manuth bi al-mashlahah). Siapapun baik laki-laki atau perempuan.

Redaksi yang ada jangan mudah diklaim secara mentah-mentah namun perlu kita ketahui bahwa banyak di luar sana seorang pemimpin dari perempuan sukses dan berhasil. Politik sebagai arena perwujudan amar makruf nahi mungkar seperti dalam ayat al-Qur’an at-Taubah ayat 71:

Artinya: adalah ruang bagi laki-laki dan perempuan dengan prinsip dan relasi yang resiprokal, bukan hegemonic dan dominatif harus bermitra dan dominative melainkan kesalingan dan kerja sama.


Ditulis oleh Ibnu Ubaidillah, mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari