ilustrasi tulisan basmalah

Semua ulama wajib paham nahwu-sharaf. Perlu dipertanyakan keulamaannya kalau tidak paham dua cabang ilmu gramatika bahasa Arab itu. Oleh karenanya, Syekh Nawawi Al-Bantani memulai kitabnya, Qothru Al-Ghaits, dengan membahas basmalah secara gramatikal nahwu.

Seperti pada lafadz Jalalah, Allah. Beliau mengatakan lafadz tersebut merupakan isim jamid, tidak memiliki akar kata. Jadi, Allah bukanlah berasal dari gabungan dari “alta’rif dan lafadz “ilahun“. Berbeda dengan kebanyakan ulama yang berpendapat demikian. Beliau berpendapat bahwa “al” dalam lafadz Alah adalah “alziyadah yang tetap.

Mudah saja membuktikan argumen Syekh Nawawi tersebut. Kalau “alta’rif  akan hilang jika digandeng dengan “yanida’. Seperti lafadz “Al-Ghulam” jika ketambahan “yanida akan hilang “al“-nya menjadi “ya ghulam“. Berbeda dengan lafadz Allah. “al” dalam lafadz Jalalah akan menetap meski ketambahan “yanida. Contohnya biasa kita temukan dalam lafadz doa seperti “ya Allah“. Tidak hilang tohal“-nya.

Sebagai tambahan, lafadz Jalalah merupakan nama yang mengumpulkan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang mulia. Oleh karena itu, kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang dinamakan ismullahi Al-A’dzam adalah lafadz Allah itu sendiri.

Selanjutnya, Syekh Nawawi melanjutkan pembahasan mengenai dua lafadz setelahnya, Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Setidaknya ada lima perbedaan tafsiran mengenai dua lafadz tersebut. Berikut beberapa penafsirannya:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani. Lafadz Ar-Rahman merupakan nikmat belas kasih yang besar. Lafadz Ar-Rahim merupakan nikmat belas kasih yang kecil.
  2. Pendapat Imam Arzami dalam kitab tafsir Izzuddin bin Abd As-Salam. Lafadz Ar-Rahman, rahmat-Nya untuk seluruh makhluk, tanpa terkecuali. Sementara lafadz Ar-Rahim, rahmat-Nya untuk ahli ketaatan.
  3. Argumen dalam tafsir Thabari dan Ibnu Katsir. Bahwa Ar-Rahman rahmat-Nya untuk penduduk dunia. Sedangkan Ar-Rahim rahmat-Nya untuk penduduk akhirat yang masuk surga.
  4. Dalam hadis juga disebutkan, bahwa Ar-Rahman merupakan rahmat dunia dan akhirat, lebih umum. Kalau Ar-Rahim rahmatnya hanya untuk di akhirat saja. Pendapat ini yang masyhur di kalangan pesantren dalam memberi makna kitab.
  5. Kutipan Ibnu Mubarak agak berbeda dari sebelumnya. Yakni lafadz Ar-Rahman adalah sifat tanpa diminta pun tetap memberi. Tapi lafadz Ar-Rahim adalah sifat yang jika tidak diminta akan marah. Alasannya, karena Allah tidak suka kepada hambanya yang jarang meminta, jarang berdoa.

Maka, pemilihan lafadz Ar-Rahman dan Ar-Rahim sudah tepat. Karena orang akan tahu yang disembah, yakni Allah, adalah sang pemberi belas kasih. Baik di dunia-akhirat atau di akhirat saja. Baik yang besar maupun yang kecil.

Dan untuk penempatan basmalah ini di awal kitab, Syaikh Nawawi berdasarkan ikut kitab-kitab samawi (kitab yang diturunkan dari langit). Karena al-Quran, bagaimana pun perbedaan ulama fikih, mesti diawali basmalah. Begitupun yang dicontohkan Nabi Sulaiman a.s. dalam menulis basmalah pada setiap suratnya kepada ratu Balqis.

Alasan lain, beliau ikut mengamalkan hadis nabi yang artinya, “Ketika seorang hamba menulis lafadz ‘bismillahi ar-rahmani ar-rahimi’ di suatu papan atau di kitab (dan selainnya), maka malaikat menulis baginya pahala dan dimohonkan ampun selagi tulisannya masih tetap ada di media tadi.”

Dalam argumen ini, Syekh Nawawi Al-Bantani kembali berbeda dengan mayoritas ulama. Jumhur ulama mengutip bukan dari hadis di atas. Melainkan hadis yang berisi, setiap perkara baik yang tidak diawali dengan basmalah, maka akan kurang berkah. Padahal hadis ini kualitasnya lemah. Ini dibuktikan dengan tidak adanya hadis tersebut dalam shahihain, kitab shahih Bukahri-Muslim. Makanya Syekh Nawawi tidak menggunakan hadis itu sebagai sandaran.


Ditulis oleh Muhammad Miqdadul Anam, Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo