Sumber gambar: Muslimdaily

Assalamu’alikum Wr. Wb

Seorang teman bekerja di luar negeri, saat masuk waktu shalat Ashar tidak ada toleransi shalat karena masih jam kerja sampai habis Maghrib. Yang ingin saya tanyakan apakah shalat Ashar dengan alasan demikian bisa dijamak atau hanya boleh diqadha?

Azka Mandala Al Haq, Mranggen, Demak

Wa’alaikumsalam Wr. Wb

Terima kasih kepada penanya, saudara Azka Mandala al Haq di Mranggen Demak. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dalam aktivitas kita sehari-hari. Amin yaa rabbal ‘alamin. Adapun ulasan jawabannya sebagai berikut:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pada era sekarang ini, banyak orang muslim yang berkerja pada perusahaaan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Waktu kerja yang penuh tanpa berhenti ini, menyebabkan para karyawan melakukan pekerjaannya dengan maksimal. Terkadang, ketika masuk waktu shalat tidak diperbolehkan untuk melakukan shalat, karena masih terikat jam kerja. Sedangkan Shalat merupakan kewajiban yang paling utama bagi setiap muslim dan tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun, baik sakit maupun keadaan yang mencekam sekalipun.

Pada fenomena ini, seorang teman yang bekerja di luar negeri ketika masuk waktu shalat Ashar tidak boleh melakukan shalat karena masih terikat kerja sampai waktu Maghrib. Dengan demikian, apakah shalat Ashar bisa dilakukan secara jamak atau hanya qadha saja?

Pertama yang harus kita tahu, bahwa shalat jamak menurut bahasa ialah mengumpulkan atau menggabungkan. Sedangkan menurut istilah ialah menggabungkan dua waktu shalat fardlu (wajib) dalam satu waktu shalat. Adapun Shalat yang boleh dijamak yaitu shalat Dhuhur dengan shalat Ashar, dan shalat Maghrib dengan shalat Isya. Kemudian ada beberapa sebab yang membolehkan menjamak shalat yaitu safar (perjalanan), hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak.

Selain itu juga shalat jamak terbagi menjadi dua macam yaitu shalat jamak taqdim dan jamak takhir. Shalat jamak taqdim yaitu menggabungkan dua shalat fardlu pada waktu shalat yang pertama, misalnya menggabungkan shalat Dhuhur dan Ashar pada waktu shalat Dhuhur, dan menggabungkan shalat Maghrib dan Isya pada waktu shalat Maghrib. Sedangkan shalat jamak takhir yaitu menggabungkan dua shalat fardlu pada waktu shalat yang kedua, misalnya menggabungkan sholat Dhuhur dan Ashar pada waktu shalat Ashar, dan menggabungkan shalat Maghrib dan Isya pada waktu shalat Isya.

Pada kasus masalah di atas, seorang muslim tersebut dalam keadaan yang mendesak sehingga tidak dapat melakukan shalat pada waktunya. Dengan demikian dalam Al Quran dijelaskan bahwa Allah tidak menjadikan kesulitan dalam agama ini. Dalam artian, Allah memberikan kemurahan bagi hambanya dalam suatu ibadah yang dianggap masyaqqah (berat/mengalami kesusahan). Sebagaimana dalam firmanNya surat al Hajj ayat 78 yang artinya: “Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan.”

Dalam redaksi lain, juga dijelaskan dalam kitab Shahih Muslim hadis riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pernah melakukan shalat jamak di Madinah, sebagaimana keterangan di bawah ini:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «جَمَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ» فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ: قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: «كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ»

“Dari Ibn Abbas berkata: “Rasulullah Saw pernah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar, shalat Maghrib dan Isya di Madinah, bukan karena ketakutan dan bukan pula karena hujan.” Dalam hadis Waki’, berkata: aku tanyakan kepada Ibnu Abbas: “mengapa beliau lakukan hal itu?” Ibnu Abbas menjawab: “Beliau ingin supaya tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no.705 hal.490 jilid.1)

Harus diperhatikan bahwa seorang muslim tidak boleh menjamak shalat Ashar dengan shalat Maghrib, akan tetapi boleh menjamak shalat Ashar dengan shalat Dhuhur. Dan pada ayat dan hadis di atas bisa dijadikan dalil seseorang boleh menjamak shalat tanpa sebab safar (perjalanan) dan sebab sakit. Namun, harus dipahami itupun bukan tanpa sebab, diperbolehkannya jika memang ada kebutuhan yang mendesak, yang tidak memungkinkan seorang muslim untuk shalat tepat pada waktunya kecuali dengan menjamak. Maka, laksanakanlah shalat dengan jamak. Seperti halnya yang terdapat pada hadis di atas, bahwa Nabi tidak ingin memberatkan pada umatnya.

Akan tetapi sebagian ulama membolehkan menjamak seperti Ibn Sirin, dengan ketentuan jika memang ada hajat (kebutuhan) yang mendesak dan situasi itu tidak terjadi berulang-ulang. Artinya, selama ia tidak melakukannya secara kebiasaan atau rutinitas.

فرع) في مذاهبهم في الجمع في الحضر بلا خوف ولا سفر ولا مرض: مذهبنا ومذهب ابي حنيفة ومالك واحمد والجمهور انه لا يجوز وحكى ابن المنذر عن طائفة جوازه بلا سبب قال وجوزه بن سيرين لحاجة أو ما لم يتخذه عادة

“Dalam madzhab ulama shalat jamak di rumah tanpa sebab takut (sampai membahayakan nyawa, berpergian, dan sakit menurut mayoritas ulama tidak diperbolehkan. Dan dihikayatkan Ibnu Mundzir dari sekelompok ulama memperbolehkan hal tersebut dengan tanpa sebab. Selain itu juga. Ibnu Sirrin memperbolahkan jamak dengan adanya kebutuhan selama tidak dijadikan adat (kebiasaan).” (Kitab Majmu syarh Muhaddab hal 384 jilid 4)

Berdasarkan redaksi di atas bahwa bekerja dalam perusahaan termasuk perkerjaan yang rutinitas, maka seorang muslim tidak boleh menjamak shalatnya. Maka wajib bagi seorang muslim untuk mengqadha shalatnya, ialah mengerjakan shalat yang ditinggalkannya pada waktu yang lain. Lebih dari itu, ada pendapat ulama yang mengatakan di kitab Tarsyih al Mustafdhin halaman 124, bahwa Sayyid Yusuf al Battah berkata dalam kitab Tasynifus Sam’i dan dari ulama Syafi’iyyah, bahwa ada seseorang yang berpendapat diperbolehkan menjamak taqdim secara mutlak selain keadaan berpergian dan sakit. Dan menurut jama’ah ulama, diperbolehkan menjamak selama melaksanakannya secara kebiasaan. Jama’ah ulama di sini tidak bisa disebutkan orang-orangnya. Sedangkan pada jamak ta’khir, Sayyid Yusuf al Battah berkata bahwa jamak ta’khir itu jamak yang waktunya longgar.

Menurut hemat kami, sebaiknya sebisa mungkin untuk melaksanakan shalat pada waktunya dengan meminta rekan kerja untuk menggantikan sementara waktu dan perlu juga perjuangan regulasi pekerjaan dan shalat agar lebih baik. Apabila tidak memungkinkan untuk melaksanakan shalat pada waktunya karena tuntutan pekerjaan, maka mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan jamak sebagaimana ketentuan-ketentuan di atas meskipun pendapat yang lemah.

Selain itu, boleh mengambil dan mengamalkan pendapat-pendapat dhaif bagi diri sendiri kecuali pendapat muqobil as shahih (kebalikan pendapat shahih). Namun, mayoritas muqobil as shahih itu fasid (rusak atau tidak bisa dipakai). Wallahu’ alam bisshawab.


*Dijawab oleh Miftah Al-Kaustar, Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.