KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

Oleh: KH. Salahuddin Wahid

Kebinekaan dalam aspek agama, suku, etnis, adat, dan kelompok sosial ekonomi adalah sebuah sunatullah yang sejak ribuan tahun lalu sudah hidup dalam masyarakat di wilayah Nusantara. Sejarah menunjukkan bahwa agama Islam di sebarkan di Nusantara dengan cara damai dan memperhatikan budaya setempat.

Penyebaran agama Islam itu dilakukan tanpa dukungan kekuatan militer atau politik. Dalam waktu 250-300 tahun, waktu yang tidak lama dalam ukuran sejarah, lebih dari 90 persen warga beralih jadi Muslim, tetapi masih menghormati budaya setempat. Itu sebabnya, Muslim Indonesia kebanyakan bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain.

Bangsa Indonesia yang digagas Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat tidak didasarkan pada agama, suku, etnis, dan daerah tertentu, tetapi didasarkan pada cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka, adil, sejahtera, dan bermartabat.

Pada Mei-Juni 1945, saat BPUPKI mmbahas dasar dari negara yang akan didirikan, baru disadari ternyata hubungan agama Islam dengan negara menjadi potensi untuk menghalangi terbentuknya NKRI. Masalah itu bisa diselesaikan berkat sikap kenegarawanan tokoh-tokoh Islam yang menyetujui dihapusnya “tujuh kata Piagam Jakarta”. Resolusi Jihad yang ditawarkan oleh para Ulama NU di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari menegaskan persatuan dan perpaduan Islam dengan Indonesia.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pembentukan Kementerian Agama pada 1946, disahkannya UU Perkawinan (1974), UU Peradilan Agama (1989), dan banyak lagi UU yang mengakomodasi aspirasi umat Islam, makin memperkuat perpaduan Islam dan Indonesia. Yang paling mendasar adalah diterimanya secara resmi Pancasila manjadi dasar negara RI dalam Muktamar NU 1984, yang diikuti hampir oleh semua ormas Islam di Indonesia. Keterpaduan antara Indonesia dan Islam adalah faktor utama dari persatuan Indonesia.

Melihat sekian banyak kemajuan dalam upaya memadukan Indonesia dan Islam, termasuk dalam masalah pendidikan dan kebudayaan, kebanyakan dari kita berkesimpulan tidak ada masalah berarti dalam hubungan antara keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Gonjang-ganjing yang terjadi dalam kaitan Pilkada DKI 2017 menyentak dan menyadarkan kita bahwa ternyata, setelah 72 tahun merdeka, masih ada masalah serius dalam hubungan tersebut.

Musyawarah

Banyak yang khawatir konflik nonfisik yang terjadi menjelang, selama, dan setelah Pilkada 2017 akan jadi pemicu proses perpecahan bangsa. Mengapa kebinekaan yang awalnya menjadi faktor utama persatuan bangsa kini menjadi potensi perpecahan bangsa Indonesia?

Sampai kini sisa-sisa dari konflik terkait Pilkada DKI 2017 masih belum sepenuhnya hilang walau konflik sudah mereda. Ibarat penyakit, gejalanya sudah hampir hilang, tetapi penyakitnya belum diketahui sehingga sulit untuk menyembuhkannya. Harus ada upaya sungguh-sungguh untuk mencari tahu apa penyakit itu sehingga bisa diperoleh obatnya. Kalau tidak diketahui apa penyakitnya, konflik akan muncul lagi dalam ukuran yang lebih besar pada Pilpres 2019.

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Pilkada DKI 2017 harus bersedia bertemu dan bermusyawarah untuk mencari apa sesungguhnya penyebab konflik itu terjadi. Dalam musyawarah itu kedua pihak harus saling terbuka, tetapi menggunakan bahasa yang santun,  saling menghormati. Musyawarah itu tidak cukup sekali, tetapi berkali-kali. Hasil musyawarah itu harus dipatuhi oleh kelompok-kelompok yang bertikai. Pihak yang mewakili kelompok-kelompok yang ada merupakan hasil pilihan dari setiap kelompok.

Diperlukan adanya pihak penengah yang mengambil prakarsa mengadakan musyawarah itu dengan mendekati kelompok-kelompok yang bertikai. Pihak penengah itu adalah pribadi-pribadi yang dipercaya oleh kelompok-kelompok di atas, baik pejabat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Pihak penengah itu diharapkan mampu mengarahkan musyawarah tersebut ke arah yang tepat dan konstruktif.

Agenda musyawarah tentu harus disetujui terlebih dahulu oleh semua pihak. Beberapa agenda bisa disampaikan saat ini, seperti kesepakatan penafsiran terhadap istilah politisasi agama, penafsiran terhadap istilah SARA. Tanpa kesepakatan yang mengikat kelompok-kelompok yang ada, keduanya akan memicu pertikaian di masa mendatang.

Saat ini adalah saat yang tepat untuk memulai musyawarah dan diharapkan dapat diselesaikan dalam waktu beberapa bulan ke depan. Diperlukan kesediaan semua pihak yang bertikai untuk mengakhiri konflik dan mencegah sampai berlarut-larut. Makin lama dibiarkan, konflik terpendam ini kita biarkan, makin sulit kita menyelesaikannya.

Ketidakadilan ekonomi

Di masa lalu, lahirnya PRRI dan Permesta serta keinginan warga Aceh dan Papua untuk mendirikan pemerintahan sendiri didasarkan pada rasa tidak puas terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Jakarta yang tidak adil, Jawasentris, bahkan Jakartasentris. Jumlah uang beredar di Jakarta mencapai 70 persen dari jumlah keseluruhan.

Dalam soal kessenjangan, menurut Oxfam, Indonesia berada pada peringkat keenam terbawah dunia. Sekitar 50 persen dari kekayaan Indonesia berada di tangan hanya sekitar 1 persen penduduk. Beberapa perusahaan bisa menguasai jutaan hektar hutan atau lahan perkebunan, padahal jutaan orang tidak punya lahan sama sekali. Kita tidak toleran terhadap hukum adat sehingga masyarakat adat di mana hutan itu berada tidak mendapat manfaat dari hutan mereka.

Ketimpangan antara wilayah Jawa dan luar Jawa juga masih terasa. Mutu pendidikan di Jawa lebih tinggi daripada di luar Jawa. Jumlah pesantren di luar Jawa amat sedikit dibandingkan dengan di Jawa, mutunya juga kalah. Daftar tentang ketimpangan ini masih bisa diperpanjang. Sejak era Soeharto, pemerintah sudah menyadari adanya ketimpangan ini, tetapi belum  berhasil mengatasinya. Kini, pemerintahan Jokowi membuat kebijakan untuk membangun dari pinggir.

Selama 72 tahun menikmati hasil kemerdekaan, kebijakan ekonomi RI tak berhasil memanfaatkan kekayaan dan kesuburan alam Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, seperti perintah pasal 33 UUD 1945. Sumber daya alam banyak dimanfaatkan perusahaan luar negeri. Penarikan pajak terhadap perusahaan-perusahaan tersebut juga tidak berhasil dengan baik sehingga rasio pajak terhadap PDB kita juga masih rendah. Karena pendapatan negara kurang dan kebutuhan meningkat, utang negara juga ikut meningkat.

Kondisi masyarakat yang tidak menjamin keadilan sosial ekonomi dan hukum adalah ladang subur bagi kelompok separatis kedaerahan, kelompok pendukung khilafah atau idiologi lain yang bertentangan dengan Pancasila. Untuk bisa mewujudkan keadilan sosial ekonomi, Indonesia harus menjadi negara yang maju secara ekonomi, militer, dan keilmuan.

Dan, agar bisa mencapai tujuan itu, anak bangsa yang punya keunggulan dalam berbagai bidang perlu mendapat tanah subur bernama Indonesia untuk bisa berkembang. Tanah subur itu meliputi iklim usaha yang baik, penegakan hukum yang berkeadilan, serta birokrasi pemerintah yang profesional dan berintegritas. Juga dibutuhkan suatu masyarakat yang punya rasa saling percaya (mutual trust) yang tinggi dan saling menghormati tanpa memandang agama, etnis, status sosial, dan latar belakang politik.

Untuk itu, dibutuhkan masyarakat yang menghargai kejujuran dan integritas. Kita harus berani mengakui bahwa kejujuran adalah sesuatu yang masih langka kita jumpai di dalam kehidupan kita saat ini, termasuk di kalangan agamawan, pendidik, dan akademisi.


*Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, edisi Selasa (19/09/2017) dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan.