
Isra Mikraj merupakan salah satu peristiwa penting dalam Islam yang menandai perjalanan luar biasa Nabi Muhammad Saw., dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, lalu naik ke langit untuk menerima perintah shalat. Umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati peristiwa ini dengan berbagai cara, seperti kajian keislaman, doa bersama, dan perayaan di masjid-masjid. Namun, kelompok Wahabi cenderung menolak perayaan Isra Mikraj dengan alasan bahwa Nabi Muhammad dan para sahabat tidak pernah merayakannya.
Bagi Wahabi, setiap bentuk ibadah atau perayaan yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur’an dan Hadis yang jelas dianggap sebagai bid’ah, yakni sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Mereka berpegang pada prinsip bahwa Islam harus dijalankan sebagaimana yang dicontohkan langsung oleh Nabi dan sahabat tanpa tambahan ritual yang tidak ada pada masa mereka. Oleh karena itu, peringatan Isra Mikraj dinilai tidak memiliki landasan kuat dalam sunnah, sehingga dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Dari sini, kami tertarik untuk membahas alasan mereka melarang dan membidahkan perayaan Isra Mikraj ini, yakni karena perayaan tersebut tidak pernah dilakukan Nabi dan para sahabat.
Baca Juga: Refleksi Isra Mi’raj, Cara Menjadi Pribadi yang Bersikap dari Masjid ke Masjid
Dalam literatur ushul fikih, suatu hal yang ditinggalkan oleh Nabi disebut dengan konsep “at-tarku”. Menurut ulama pakar ushul, at-tarku atau hal yang ditinggalkan oleh Nabi tidak mengindikasikan hukum apapun, baik wajib, sunnah, lebih-lebih haram. Sebagaimana pernyataan Sayyid Abdullah Al-Ghummari dalam kitabnya yang bertajuk, Risalatu Husni at-Tafahhum wa ad-Darki,
التَّرْكُ وَحْدَهُ إِنْ لَمْ يَصْحَبْهُ نَصٌّ عَلَى أَنَّ الْمَتْرُوكَ مَحْظُورٌ لَا يَكُونُ حُجَّةً فِي ذَلِكَ، بَلْ غَايَةُ أَنْ يُفِيدَ أَنَّ تَرْكَ ذَلِكَ الْفِعْلِ مَشْرُوعٌ
“Meninggalkannya (nabi) saja atas suatu perbuatan, jika tidak disertai dengan dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan yang ditinggalkan itu terlarang, tidak dapat dijadikan hujah dalam hal tersebut. Sebaliknya, hal itu hanya menunjukkan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut diperbolehkan.”[1]
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Syeikh Zakariya al-Pakistani, dalam kitab Min Ushul al-Fiqh ‘ala Manhaji Ahli al-Hadis:
ما أصله مباح وتركه النبي صلى الله عليه وسلم لا يدل تركه له على أنه واجب علينا تركه
“Segala hal yang asalnya adalah mubah dan kemudian Nabi SAW meninggalkannya, tidak bermakna bahwa perihal meninggalkan tersebut wajib kita ikuti.”[2]
Adapun dalil yang disepakati dapat dijadikan sebagai argumen (hujjah) ada empat, yakni al-Quran, Hadis, Ijmak, dan Qiyas. Sementara dalil yang masih diperselisihkan dapat dijadikan argumen ada enam, yakni Istihsan, Al-Mashlahah Al-Mursalah, Al-‘Urf, Al-Istishhab, Syar’u Man Qablana, Madzhabu Shahabi.[3] Dari sepuluh dalil tersebut, tidak ada satupun ulama yang menjadikan konsep “at-tarku” sebagai dalil yang menjadi acuan dalam menetapkan sebuah hukum.
Ulama ushul fikih, tidak menjadikan konsep at-tarku bagian dari dalil-dalil syar’i karena bertendensi pada hadis riwayat Ad-Daruqutni,
إنَّ اللهَ تعالى فَرَضَ فرائِضَ فلا تُضَيِّعوها، وحَدَّ حُدودًا فلا تَعْتَدوها، وحرَّم أشياءَ فلا تَنْتَهكوها، وسَكَتَ عن أشياءَ رَحْمةً لكم غيرَ نِسيانٍ، فلا تَبْحَثوا عنها
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakannya. Dia juga telah menetapkan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah kalian melanggarnya. Dan Dia telah membiarkan beberapa hal (tanpa penjelasan hukum) sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian mencari-carinya”.[4]
Mungkin sebagian masih bertanya-tanya, mengapa Nabi meninggalkan sebuah perbuatan, apabila perbuatan itu memang dianggap baik? Dalam hal ini, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, dalam kitab Manhaju Salaf fi Fahmi Nushush, menyampaikan bahwa apabila meninggalkan sesuatu karena ada beberapa hal yang melatar belakanginya;
- Meninggalkannya merupakan adat. Hal ini seperti ketika nabi menolak ketika ditawari makan daging dhabb (sejenis kadal), tetapi ketika ditanya apakah haram, Nabi menjawab, “Tidak haram”.
- Meniggalkan karena lupa. Seperti ketika Nabi lupa di saat Shalat kemudian diangatkan oleh para sahabat.
- Meninggalkan karena khawatir diwajibkan pada umatnya. Seperti ketika Nabi meninggalkan Shalat Tarawih ketika para sahabat berkumpul untuk shalat bersamanya. Lalu Nabi berkata “Aku takut hal itu diwajibkan pada kalian”.
- Meninggalkannya karena tidak terbersit di pikirannya. Seperti dalam kasus mimbar. Pada awalnya Nabi berkhutbah dengan pelepah kurma, lalu ketika ditawari untuk menggunakan mimbar, akhirnya Nabi menyetujuinya.
- Meninggalkannya karena dianggap telah masuk dalam keumuman ayat atau hadis lain.[5]
Baca Juga: Isra Mi’raj sebagai Renungan Manusia Modern
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa konsep golongan wahabi yang melarang dan membidahkan perayaan Isra Mikraj, Maulid Nabi dan lain-lain hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, tidak dapat dibenarkan. Justru, dalam kajian ushul fikih, perayaan Isra Mikraj itu diperbolehkan bahkan dianggap bagus dalam agama, selagi diisi dengan hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama.
Penulis: Moh Wildan Husin, Penikmat Kopi
[1] Risalatu Husni at-Tafahhum wa ad-Darki li Masalati at-Tarki, Sayyid Abdullah Al-Ghummari
[2] Min Ushul al-Fiqh ‘ala Manhaji Ahli al-Hadis 74, Zakariya al-Pakistani
[3] ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh 22, Syekh Abdul Wahhab Khalaf
[4] Ad-Daraquthni (4/183), Al-Hakim (7114), Al-Baihaqi (20217)
[5] Manhaju Salaf fi Fahmi Nushuh Baina Nadhariyyah wa Ath-Thathbiq 407-408, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki