Sumber gambar: https://pixabay.com/en/wedding-rings-wedding-before-love-251590/

Oleh: Fawaid Abdullah*

Faedah menikah yang selanjutnya adalah dengan menikah maka dapat meredam syahwat. Syahwat itu kalau tidak diredam maka bisa menjadi liar, tidak terkontrol dan bisa jadi menyasar kemana-mana. Rasulullah sudah memberikan peringatan sebagaimana Sabda beliau:

“Yaa Ma’syaras Syabaab, man Istatha’a minkum al Baa-ata fal Yazawwaj fainnahu aghaddlu lil bashar wa ahshanu lil farji, wa man lam yastathi’ fa’alaihi bis shaum fainnahu lahu wijaa-un”, artinya : “Wahai golongan para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu mengeluarkan biaya nikah, maka segera lah menikah karena sesungguhnya dengan menikah itu bisa menundukkan pandangan dan bisa menjaga (meredam) Syahwat farji, dan barangsiapa tidak mampu (menikah), maka sebaiknya (gantilah) dengan jalan berpuasa, karena sesungguhnya yang demikian itu dapat menjadi perisai (tameng).” (HR. Al Jama’ah).

Hadist ini sangat jelas sekali bahwa dengan jalan menikah, maka syahwat yang asal mula itu liar maka dapat diredam dan disalurkan ke tempat atau jalan yang halal dan benar.

Menurut saya karena banyak jenis atau tipe laki-laki itu, mulai syahwat yang biasa-biasa saja, datar-datar saja, sampai ada yang luar biasa atau di atas rata-rata kelaziman, maka hanya dengan jalan menikah lah  syahwat itu bisa disalurkan. Kecuali bilamana seorang laki-laki tidak dipandang mampu, maka Rasulullah sangat menganjurkan untuk memperbanyak berpuasa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Karena dengan jalan berpuasa, setidaknya bisa menahan laju syahwat yang menggebu-gebu pada diri seseorang. Puasa adalah jalan yang paling efektif bisa menahan atau meredam syahwat setelah seseorang itu dirasa tidak atau belum mampu menikah.

Coba kita simak Hadist dari Anas bin Malik ini: “Suatu ketika, ada sekelompok golongan dari Sahabat Nabi , lalu sebagian dari mereka  berkata: “Aku tidak menikah”, lalu sebagian yang lain berkata: “aku shalat, aku tidak tidur”, sebagian yang lain berkata: “aku berpuasa dan tidak berbuka”, maka kejadian tersebut sampailah kepada Baginda Nabi, lalu beliau bersabda: “apa yang menyebabkan mereka itu berkata begini dan begitu itu, padahal sesungguhnya aku ini berpuasa, lalu berbuka, lalu aku shalat, lalu aku juga tidur, dan aku juga menikahi perempuan-perempuan, maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku ini, maka bukanlah bagian dari golongan ummatku”.

Jadi, menikah itu sesuatu yang mulia, terhormat, sakral, dan mengandung banyak hikmah dan faedah didalam kehidupan manusia sebagai khalifatullah fil ardli.

Faedah dari menikah selanjutnya adalah dapat membina urusan rumah tangga, dan juga dapat memperbanyak pergaulan dan meluaskan hubungan, maksudnya bahwa dengan seseorang itu berkeluarga maka seseorang yang asal mula hidup sendirian membujang, serba ketergantungan kepada orang tuanya. Sejak ia menikah maka kehidupan yang baru harus segera dibina, harus pula ada nya penyesuaian-penyesuaian dan bisa beradaptasi dengan situasi dan lingkungan yang baru.

Membina keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Keluarga yang tenang, tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Coba kita lihat lafad sakinah itu berbentuk kalimat masdar, sighat masdar itu selalu dinamis. Sakinah itu berasal dari fi’il Madli yang artinya bertempat alias “manggon” menurut bahasa jawanya. Maksudnya, bahwa seseorang yang sudah dalam mahligai rumah tangga baru itu seharusnya sudah bisa bertempat tinggal sendiri, punya rumah sendiri, memisahkan diri dari orang tuanya, mandiri bersama istri atau suami dan anak-anaknya.

Kenapa demikian? Karena untuk membentuk tatanan sebuah rumah tangga, membina keluarga itu harus dimulai dari yang betul-betul nol dan betul-betul baru, merintis dari awal antara suami dan istri, sehingga ketika kelak keduanya sukses maka kenikmatan dalam merasakan hasil jerih payah dari keduanya akan lebih terasa indah, dari pada hanya sekedar menerima pemberian dari orang tuanya, tanpa melalui proses perjuangan hidup terlebih dahulu.

Berkeluarga juga dapat menambah kesabaran. Dengan menikah seseorang akan lebih sabar dalam menjalani kehidupan ini. Seseorang yang awalnya meletup-letup emosinya, bahkan emosi yang tidak stabil maka dengan jalan nikah, maka akan menambah kesabaran seseorang. Bilamana dalam keluarga yang sedang dibina dan dibangun itu salah satu dari suami dan istri itu emosinya kurang terkontrol, maka salah satu pihak entah itu si suami atau si istri, maka harus ada yang berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”, maksudnya kalau si suami sedang tidak sabar maka si isteri yang menjadi air atau penyejuk, begitu pula sebaliknya. Tidak boleh keduanya dalam kondisi yang sama, sama-sama pemarah, sama-sama tidak sabar dst.

Di sinilah fungsi secara nyata dari adanya pernikahan. Dengan menikah, maka hikmah yang akan muncul dan dirasakan oleh seseorang itu akan betul-betul terasa secara nyata bukan hanya oleh keluarganya sendiri, tapi juga bagi lingkungan sekitar di mana ia hidup dan membangun bersama komunitas lingkungannya. Luasnya pergaulan antarsesama maupun jejaring yang lebih luas, biasanya justru akan muncul setelah seseorang itu berkeluarga, setelah bersuami atau beristri dan punya keturunan.


*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


*Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari  dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.