Judul Buku             : Perjuangan Laskar Hizbullah di Jawa Timur

Penulis                     : Isno El-Kayyis

Penerbit                  : Pustaka Tebuireng

Tahun                      : I/Juni 2015

Tebal                        : xiii + 328 halaman

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Resensor                : Fani Inganati*

 

Untuk kesekian kalinya, peran pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan  menjadi substansi penting untuk dibahas dalam sejarah bangsa Indonesia. Kala itu, laskar pemuda sangat tepat didirikan untuk membantu mengusir penjajah. Seperti Laskar Hizbullah yang dibentuk untuk membantu PETA dalam mempertahankan Indonesia. Beranggotakan pemuda-pemuda Islam khususnya para santri se-Jawa dan Madura, laskar ini pun mengikuti pelatihan militer. Setelah melakukan pelatihan, para anggota dari berbagai wilayah pun kembali ke daerah masing-masing untuk terjun langsung dalam perang melawan penjajah. Semangat laskar Hizbullah didasari dengan mental jihad fisabilillah, mental ini ditanamkan langsung oleh para kiai yang disegani para santri, “Hidup merdeka atau mati di sisi Allah”.

Demikian itu yang coba diungkapkan oleh Isno El Kayyis dalam bukunya yang berjudul “Perjuangan Laskar Hizbullah di Jawa Timur”. Penulis mencoba mengungkapkan perjalanan panjang tentang Laskar Hizbullah dari terbentuknya sampai mundurnya satu persatu anggota Laskar Hizbullah. Berawal dari terjepitnya Jepang oleh Sekutu, diterimanya usulan KH. Wahid Hasyim untuk memasukkan pemuda Islam ikut serta dalam PETA, khususnya para santri yang ada di Pesantren untuk ikut berlatih dalam kemiliteran dalam rangka membantu mempertahankan wilayah teritorial Indonesia.

Laskar Hizbullah diresmikan oleh pemerintah Jepang pada tanggal 14 Oktober 1944 di Jakarta dan diketuai oleh H. Zainul Arifin. Latihan pertama diadakan di Cibarusa, tercatat ada 500 anggota Hizbullah dari berbagai daerah khususnya Jawa. Tercatat pula nama Kiai muda dari pondok pesantren seperti KH. Mustofa Kamil, K. Zarkasi, K. Munasir, Ali Sulthan Fajar dan lain sebagainya. Selain dilatih kemiliteran, Laskar Hizbullah juga dibekali pendidikan kerohanian oleh para kiai. Setelah mendapat pelatihan militer yang cukup, anggota Laskar Hizbullah kembali ke tempat masing-masing. Di tempat mereka membentuk satuan militer. Tak kalah pula, para kiai-kiai pesantren pun membentuk satuan militer yang disebut Sabilillah.

Dalam buku ini, penulis mengerucutkan pembahasan Laskar Hizbullah di kawasan Jawa Timur khususnya Surabaya, Mojokerto, Sidoarjo dan Jombang. Di Surabaya sendiri mobilisasi pemuda diadakan pada 2 Oktober 1945, pemuda berbondong-bondong mendaftarkan diri. Para kiai seperti KH. Anwar Zain dan KH. Thohir Bakri mengunjungi pemuda yang telah mengikuti pelatihan dari rumah ke rumah, pemuda-pemuda Ansor, Hizbul Wathan dan lainnya. Terbentuk cabang-cabang di kawasan Surabaya setelah peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato.

Sedangkan peristiwa perjuangan Hizbullah di Mojokerto berawal dari berhasilnya Belanda menguasai Surabaya. Setelah tentara Inggris menyerahkan kekuasaan atas Kota Surabaya secara resmi kepada Belanda, mereka menyusun kekuatan dan menjadikan Pelabuhan Perak Surabaya sebagai pusat kekuatan lautnya. Surabaya memang sudah susah untuk dipertahankan, jadi langkah yang dibuat adalah memindahkan pemerintahan Provinsi Jawa Timur dan Karesidenan Surabaya ke Sepanjang dan kemudian ke Mojokerto tepatnya Jalan Wates Nomor 4  dengan pertimbangan keamanan. Selain itu, kantor berita ANTARA Cabang Surabaya terpaksa mengungsi agar tetap bisa mengabarkan perjuangan bangsa Indonesia yang sedang terjadi. Setelah pemindahan peralatan, para wartawan ANTARA mundur seperti Bung Tomo, Wiwiek Hidayat, Sutoyo dan Lukitaningsih.

Dalam pergerakan Laskar Hizbullah Mojokerto, KH. Nawawi membawa pengaruh besar. Bersama KH. Hasan Bisri, KH. Nawawi memimpin pasukan Sabilillah sampai ke Kletek. Saat inilah KH. Hasan Bisri ditangkap oleh musuh, kejadian ini menyiutkan nyali para tentara. Tetapi dengan semangat yang dikobarkan oleh KH. Nawawi, pasukan tetap dikerahkan untuk tetap maju. Tepatnya di Dukuh Sumantoro, dekat Krian, belasan tentara membentuk tapal kuda mengepung KH. Nawawi dan perkelahian pun terjadi sampai ada tentara yang dapat mendekati beliau, pedang musuh langsung menebas tubuhnya. Pada saat itu juga KH. Nawawi wafat membawa sejuta kesedihan bagi para pejuang Hizbullah.

Dan akhirnya Laskar Hizbullah pecah, tepatnya tanggal 24 Januari 1947 pukul 02.00 pagi, Belanda melakukan serangan dengan kekuatan maksimal, hasilnya mereka dapat menduduki Sidoarjo dan Krian. Akibatnya pemerintahan Kabupaten Sidoarjo pindah ke wilayah Jombang. Selain Sidoarjo dan Krian, Mojokerto pun akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda. Penyerangan ke Mojokerto merupakan pelanggaran atas perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak (pemerintah dan Belanda). Berbagai kecaman telah diturunkan tetapi Belanda tetap bersikukuh untuk menguasai Mojokerto karena wilayah ini sangat strategis untuk mempertahankan kekuasaan. Banyak protes yang dilontarkan oleh para tokoh Indonesia, seperti Syahrir mengatakan tidak akan menandatangani perjanjian Linggarjati, sebelum ada kejelasan soal agresi meiliter ke Mojokerto, Panglima besat TRI pun turut mengajukan protes.

Banyak perisiwa yang terjadi setelah peperangan melawan Belanda dan juga konsolidasi Laskar Hizbullah. Sampai Akhir tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Dan kemana Laskar Hizbullah setelah itu? Dibuku ini pun dijelaskan mengenai eks-Hizbullah.

“Meskipun tidak sedikit, dari eks-Hizbullah yang pernah berjuang mati-matian membela negara diakui akan jasa dan nilai kepahlawanannya, tetapi tidak satupun yang membuat para eks-Hizbullah berhenti untuk mengabdi kepada negara ini.”(hal.311).

Berbagai peristiwa tentang perjuangan Laskar Hizbullah dalam membantu mempertahankan Kedaulatan di Indonesia telah diungkapkan penulis dengan rinci. Selain itu penulis juga ingin membuktikan bahwa bersama Laskar Hizbullah, santri pun berperan dalam memperjuangkan Indonesia. Dengan dialog yang dihadirkan dalam buku ini, pembaca diajak merasakan bagaimana kronologi peristiwa yang terjadi. Selamat datang November, Selamat Hari Pahlawan. Selamat Membaca buku yang masih hangat untuk dibaca dan diperbincangkan!

*Mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari semester 3 dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang