Oleh: Syaiin*

 Dua bulan setengah sudah aku mendekam di balik jeruji. Empat puluh hari aku dititipkan di Polres dan setelah sidang pertama lalu aku dipindah ke Lapas. Sungguh sangat tidak mengenakkan.

“Yang sabar, nak. Memang yang namanya hidup memang penuh cobaan dan ujian. Habis dijenguk saudara kok sedih? Tadi itu siapa?” kata Pak Udian saat menghampiriku karena tidak tega melihatku sedih.

“Aku kepikiran kata-kata pamanku tadi, sebelum pulang dia bilang, orang yang sering menyakiti hati orang tuanya hidupnya sengsara. Dan selama ini aku memang sering menyusahkan orang tuaku, Pak.” Tanpa ku sadari air mataku keluar sendiri bercucuran membasahi pipiku.

“Sebenarnya aku sudah diingatkan Bapak untuk menjauh dari Alex, karena dia masuk dalam daftar target polisi. Tapi, aku tak menghiraukannya. Dan hari itu adalah hari sialku.  Saat itu Alex mengajakku menemui pembeli. Tiba-tiba saja kami ditangkap oleh Intel karena terbukti menjual barang haram tersebut, Pak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dan kini sesal seribu sesal yang tidak bisa ku lupakan dan tidak bisa kurevisi kejadiannya. aku menangis sejadi-jadinya. Pak Udian dan teman-teman penghuni kamar Lapas hanya bisa menatapku iba merasakan kesedihanku dan rasa penyesalanku yang mendalam.

Sejak menginjak kelas 2 SMP aku mulai salah pergaulan. Begitu orang tuaku mendapat surat dari kepala sekolah aku baru ketahuan orang tuaku kalau selama ini setiap pagi aku pamit berangkat sekolah tapi tidak pernah sampai di sekolah. Orang tuaku marah besar. Aku ngambek tidak mau sekolah dan puncaknya aku minggat dari rumah.

Orang tuaku kebingungan kesana kemari mencari keberadaanku. Mereka mencari keberadaanku pada teman-temanku, barangkali aku menginap dan tinggal di rumah mereka. Beberapa hari kemudian tiba-tiba aku pulang ke rumah saat bapak bekerja di rumah hanya ada ibu saja, karena aku adalah anak semata wayangnya. Dengan lahapnya aku menyantap makanan yang dimasak itu tadi pagi sambil ditunggui ibu. Wanita yang melahirkanku itu berusaha menasehatiku dengan isak tangis. Selesai makan aku mandi, berganti pakaian lalu tidur. Dan sebelum bapak pulang kerja aku kabur lagi dari rumah. Begitu seterusnya. Bagiku, rumah terasa asing, bukan lagi hunian yang membuatku damai, tenang, dan bahagia. Bagiku tidak berlaku lagi, semboyan yang diucap pak guru di kelas “baiti jannati, rumahku surgaku”.

Waktu berjalan. Tidak terkira, tiga bulan sudah aku jauh dari keluargaku dan tidak tinggal bersama mereka. Tiba-tiba saja seseorang berdiri tepat di depanku. Wajahnya tidak cukup ramah. Tapi, aku kenal betul siapa dia. Karena dia adalah Bapakku.

“Pulanglah!,” katanya singkat. Aku tahu dari raut wajahnya, ia menahan marah.

“Oke. Aku akan pulang. Hanya dengan satu syarat…” kataku sedikit menantang.

Bapak tidak segera menjawab. Wajahnya memerah. Aku tahu ia marah. Aku juga tahu ia menahannya. Kulihat ia geram. Lalu, ia berusaha sekuat tenaga menguasai dirinya.

“Baiklah!” kata Bapak singkat mengiyakan.

***

Aku kembali ke rumah. Tentu saja ku senang. Bukan karena aku kembali ke tengah-tengah keluarga. Tapi, karena aku memiliki motor baru dan pindah sekolah. Meski orang tuaku harus berhutang banyak uang untuk semua itu. Aku tidak peduli.

Motor baru ini menjadi pengalaman baru untukku. Ibarat kata, motormu adalah cerminanmu. Ajine raga soko motor. Karena itu, tidak menarik mengendarai motor yang tampilannya begitu sopan. Karena itu, kupreteli motor itu. Ban sepeda kuganti dengan ban yang lebih kecil. Tidak hanya itu, knalpotnya kuganti dengan knalpot bersuara bising. Kiranya semua itu bisa menyemarakkan hobi baruku, yakni balapan.

“Kenapa kau tidak berubah. Malah ikut balapan. Bapak menyesal membelikanmu sepeda motor,“ Bapakku marah.

“Jangan urus urusanku. Bapak urusin aja diri Bapak sendiri,” jawabku sekenanya.

Spontan tangan besar itu terangkat dan siap dihempaskan ke mukaku. Tapi, tangis ibuku menghentikan dan menahan tangan Bapak itu. Sekuat tenaga Bapak meredam emosi, lantas pergi begitu saja ke kamarnya. Ia begitu putus asa. Ibuku menangis, sembari menyampaikan seribu petuah padaku.

Entah mengapa seratus kali ibu menasehatiku, malah seribu kali kuingin melakukan hal-hal yang mereka larang. Aku tidak lagi takut dan khawatir untuk merokok. Jika ingin merokok ya asal merokok saja. Jika ingin pergi belapan, aku pergi begitu saja. Semua itu menjadi kegemaranku dan kesenanganku, yang tentu saja menjadi kesedihan kedua orang tuaku. Semua itu berlangsung hingga Ujian Nasional.

Ujian Nasional tidak cukup menarik. Bagiku, lebih menarik melihat orkes. Memang seru di awal, berjoget-joget, namun berakhir tawuran. Tak jarang, senggol bersenggolan menjadi penyebab tawuran tak bisa terelakkan. Pernah sekali ketika enak berjoget, anak kampung sebelah menyenggolku sampai terseunkur, aku geram, teman-teman kampungku juga ikut geram. Lantas kami serang orang itu. Namun teman-temannya malah balik menyerang, tawuran menjadi penghujung orkes malam itu. Aku tak berani pulang, bersama teman-teman, kami tak ada yang pulang ke rumah masing-masing.

“Hei, jangan bengong saja. Tidak usah sedih, ada aku,” ucap Semprul, teman dekatku.

“Kau ini bisa saja,” jawabku sambil mendorong punggungnya pelan.

“Eh, coba ini, agar tidak stress. Ini obat manjur. Dikit tapi cospleng,” kata Jainul, sembari memberikan serbuk putih ke hadapanku.

Aku sudah pernah dengar barang ini akan menjeratku, tapi entahlah. Rasanya tetap ingin mencobanya. Karena itu, aku mencobanya dan keluargaku tidak tahu. Sejak itulah, barang haram itu, menjadi makanan pelenkap sehari-hari, aku kecanduan, aku pecandu narkotika.

***

Setamat SMA, aku bekerja pada seorang tetangga yang memiliki usaha pembenuran udang windu. Sebenarnya sudah cukup bagus. Bekerja akan mengalihkanku dari “barang haram” itu, tapi entahlah aku tidak semangat. Karena itu aku sering bolos tidak masuk kerja, hingga aku memutuskan keluar kerja, karena aku merasa tidak enak hati dengan pemilik usaha itu.

Tidak memiliki aktivitas malah menjerumuskanku pada ketidakpastian tujuan hidup, menjadikanku tidak memiliki pegangan. Dan entahlah, satu-satunya pikiranku hanyalah bersama kawan lamaku yang menjual barang haram itu.

Hingga di suatu malam, ketika kami berkumpul di sudut rumah kontrakan temanku, sembari menikmati “barang haram” itu, tiba-tiba beberapa orang mendobrak pintu dan dua orang dengan begitu cepat menyergap kami. Sementara yang lain menyisir area itu. Ya, sudah lama polisi mencium jejak hitam temanku. Dan malam itulah ujungnya, polisi menahan kami. Di usiaku yang baru 21 tahun, aku sudah harus menghuni kurungan jeruji besi.

“Jono, Bapak dan Ibumu ada di luar, mereka sudah datang,” ucapan sipir penjara itu membuat lamunanku buyar. Tak sengaja genangan air mata itu menetes. Aku menyekanya segera. Lantas menemui kedua orang tuaku.

Sesampainya di ruang tunggu, aku langsung memeluk Ibu dan Bapak. Aku juga bersujud dan mencium kaki ibu. Entahlah! Rasanya aku ingin mengulang dan memutar waktu, dan memperbaiki seluruh kesalahanku yang telah menyakiti hati kedua orang tuaku itu.

“Ibu, tolong maafkan kesalahanku. Aku banyak dosa dan menyakitimu. Maafkan aku bu…” tangisku leleh. Entahlah, apakah karena tangis itu yang menghentikan ucapan sesalku itu, atau karena aku tidak punya kata untuk menghapus dosa yang sudah kugoreskan.

Ibu juga tak mampu berkata-kata. Seribu maaf ia berikan, ia memelukku segera. Juga, Bapakku penuh syukur, memelukku. Bapak lebih tegas, aku yakin bapak jadi malu, dan susah mencari kerja. Aku dengar dari ibu, bahkan ayah dipecat dari pabrik pengolahan sampah milik tetangga, karena majikannya tahu, anaknya adalah pengedar narkoba. Semakin aku tahu, semakin tak kuasa menahan dosa yang telah aku perbuat. Nafkah yang susah-susah ayah berikan padaku, kini, buahnya membusuk bersamaan dengan robohnya pohon yang ayah bangun bersama ibu. Yang merobohkan adalah aku, sang buah yang seharusnya mereka panen berharga mahal, malah membusuk, membawa penyakit, dan susah diobati.

“Ibu dan Bapak akan sabar menunggu Jono keluar dari penjara, dan kita hidup dengan baik di rumah dan berusaha memperbaiki diri,” ucap Ibu sebelum pulang bersama Bapak, dan siap menungguku kembali pulang ke tengah-tengah mereka. Dalam hati aku ingin sekali mengatakan pada mereka “Terima kasih, Ibu-Bapak. Aku akan perbaiki semua kesalahanku, Bismillah!“, namun aku memilih diam sementara ini.

*Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng