Sumber gambar: mojok.co

Mengenangmu Dalam Diam

Aku ingat betul bahwa malam itu tidak sedang purnama. Tetapi matamu menerawang, mencari cahaya dari sekian deretan cahaya gemintang yang lebih tepat disebut cahaya dari sisa redup. Aku mencoba meyakinkanmu, menawarkan kedua telinga untuk menjadi pendengar semalam suntukmu. Kau memilih diam, dan lagi-lagi melempar senyum padaku. Sesekali kau mainkan jarimu sambil tersenyum, entah apa yang sedang ada dalam pikiranmu malam itu. Namun aku yakin, kau ingin sekali membiarkan air matamu jatuh membasahi pipi dan menenggelamkan kepedihanmu yang berbulan-bulan kau penjarakan.

Malam itu, aku memilih mengajakmu duduk di teras rumah. Meminta kau bercerita tentang apapun yang kau rasakan di kota kecil yang baru kau tempati. Lagi-lagi kau tersenyum geli. Pada detik berbeda kau menerawang, mencari rembulan lagi yang pada hakikatnya tak akan pernah lari lebih jauh dari langit yang tiba di atas atap rumah yang kita tinggali. Kau memandangnya lama, mengerlingkan matamu lalu menunduk.

Aku tidak mengerti mengapa aku begitu merasa dekat dengan dirimu, aku merasakan betapa pedih engkau menyimpan luka dukamu sendiri di tempat yang kurasa sepi ini. Aku ingin meminjamkan pundakku waktu itu, namun aku tahu, itu tidak mungkin untuk menjadi pemandangan di malam yang sudah larut dan tanpa. Sesekali kau mengatakan padaku “tidurlah lebih dulu. Sudah larut. Aku hanya ingin menikmati sisa malam ini sendiri.”

Aku tidak juga pergi. Biarlah malam itu aku gadaikan waktu lelapku untuk membuatmu tidak merasa sendirian di dunia ini. Untuk membiarkanmu memahami betapa penting dimengerti dan betapa indah jika kita saling berbagi. Meski engkau cukup keras kepala, aku terus menyuruhmu bercerita, hingga akhirnya benar malam itu, tangismu leleh dan rembulan benar tak jadi purnama.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Masih aku ingat betul, bagaimana engkau dan aku mengintip malam dengan sebuah perdebatan kecil yang membuat kita akhirnya saling mengenal lebih jauh. Tentang tangismu yang akhirnya jatuh malam itu, tentang keyakinanku bahwa kau hanya melarikan diri pada rembulan yang pada dasarnya tak purnama malam itu. Aku masih mengingat betul, wajahmu yang begitu polos dan lugu akhirnya mengaku bahwa engkau sedang terluka dan rindu pada ayah ibumu di pulau yang kau tinggal pergi sudah lama. Hingga akhirnya aku mengerti betapa engkau berusaha sekuat tenaga setiap waktu menyisir rapi perihmu yang sudah menjadi empedu itu di dadamu yang seluas samudera. Akhirnya aku juga tahu, bahwa di dunia ini tidak hanya aku yang merasakan betapa sakit hidup sendiri dan jauh dari orang-orang yang kita cintai. Dan pada saatnya kita sama-sama mengerti, bahwa tak ada yang lebih sakit dari pada kesendirian itu sendiri.

Aku mengenangmu dalam, dalam diam. Aku mendoakanmu diam-diam sangat dalam. Kau sudah menjadi bagianku dalam menuntaskan cerita setiap waktu. Maka berhentilah membohongi dirimu sendiri hanya dengan slogan, aku selalu baik-baik saja. Aku akan selalu mampu membaca matamu yang berusaha meneduhkan dukamu, matamu yang selalu berusaha menenangkan gelisah yang harusnya sudah tumpah menjadi air mata. Perlu kau pahami, menangis bukanlah suatu penyebab seseorang disebut lemah dan nistapa. Melainkan, ia adalah salah satu alasan kita mencoba lebih kuat bertahan dari luka dan duka apapun yang telah mendekap kita ribuan jutaan waktu. Jangan berbohong lagi, sebab kau adalah bagian dari puisi.

Seperti yang kita sepakati; puisi tak akan pernah berbohong apalagi mengkhianati. Dan percayalah padaku, bahwa air mata yang kau teteskan malam itu suatu saat akan menciptakan purnama pada malam-malam gulita selanjutnya. Kau, tetaplah baik-baik saja di malam-malam selanjutnya, barangkali tak hanya purnama, tetapi pada suatu waktu, di malam yang lain, bukanlah aku yang sedang duduk di sampingmu.


*Cerita ditulis oleh Rara Zarary, penulis aktif quotes di ig @sabdawaktu dan @aksara_sa