Gus Sholah dan Pak Ud (Kiai Yusuf Hasyim)

Oleh: KH. Salahuddin Wahid*

Pak Ud adalah adik termuda ayah saya, KH. Abdul Wahid Hasyim (selanjutnya saya sebut Bapak), dari satu ibu. Pak Ud adalah saudara Bapak yang terdekat dengan saya. Hal itu karena beliau adalah saudara Bapak yang sering berjumpa dengan saya, kakak dan adik saya. Pak Ud cukup lama tinggal di Jakarta walaupun Bulik Ud dan adik-adik tinggal di Jombang. Sedangkan kakak dan adik-adik Bapak yang lain tinggal di Jombang.

Pak Ud adalah adik Bapak yang usianya paling lanjut. Pak Abdul Kholiq Hasyim lahir pada tahun 1916 dan wafat pada tahun 1965. Pak Abdul Karim Hasyim lahir pada 1919 dan wafat pada 1973.  Kebetulan usia Pak Ud tidak beda terlalu jauh dengan saya, hanya 13 tahun. Dengan beberapa sepupu saya, usia Pak Ud hampir sama, beda bulan saja.  

Alasan lain ialah karena dengan Pak Ud kami tidak boso tetapi berbicara ngoko, walaupun tentu masih ada tatakrama berbahasa yang kami pakai. Saya dan adik serta kakak tentu membahasakan diri kami dengan istilah dalem. Dengan saudara Bapak yang lain, Pak Abdul Kholiq Hasyim (Pak Pin) dan Pak Abdul Karim Hasyim (Pak Im) kami boso. Juga dengan Ibu Nyai Khoiriyah Hasyim, kakak Bapak yang tertua.

Pertemuan pertama saya dengan Pak Ud yang masih saya ingat ialah di Jakarta sekitar tahun 1951. Tentu saya pernah bertemu beliau sebelumnya tetapi saya tidak ingat lagi. Pertemuan tersebut terjadi saat kami masih tinggal di Jalan Jawa (kini Jalan Cokroaminoto) 112 Jakarta Pusat. Saya sudah lupa bagaimana suasana pertemuan itu. Yang saya masih ingat Pak Ud datang sowan kepada Bapak bersama Bulik Ud. Foto Bapak, Ibu, Pak Ud dan Bulik Ud masih saya ingat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain itu saya masih ingat bahwa saya suka menjenguk Pak Ud yang sedang menjalani tahanan rumah di kediaman Pak Sunaryo, salah seorang tokoh NU yang menjadi menteri. Kediaman itu terletak di Jalan Imam Bonjol, yang sekarang menjadi Kantor DPP Kowani. Kunjungan itu saya lakukan naik sepeda seusai saya belajar di sekolah yaitu di SMP Negeri I di Jalan Cikini Raya. Saya bersekolah di SMPN I antara tahun 1955-1958.

Pak Ud menjalani tahanan rumah setelah beliau menjalani tahanan di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Umar, adik saya, suka bergurau bahwa Pak Ud adalah alumni Budi Utomo. Padahal yang sesungguhnya menjadi alumni Budi Utomo  (maksudnya SMA Negeri Budi Utomo Jakarta) adalah saya, Umar dan Lily.

Pak Ud ditahan di RTM karena saat itu masih aktif sebagai Letnan Satu TNI AD dan dikenakan tuduhan membantu kegiatan pemberontakan. Tuduhan itu didasarkan pada adanya dugaan bahwa Pak Ud membantu menyembunyikan seseorang yang bernama Ali Masykur, padahal menurut Pak Ud ,beliau tidak tahu bahwa Ali Masykur  terlibat pemberontakan.

Baca Juga: Peran KH. Yusuf Hasyim Membebaskan Sandera PKI Madiun

Tuduhan itu dikaitkan dengan kedatangan Ali Masykur, seorang anggota Batalyon 426 yang dipimpin oleh Kapten Sofyan, seorang sahabat Pak Ud. Ali Masykur meminta perlindungan di Tebuireng yang dipimpin oleh KH Abdul Choliq Hasyim, kakak dari Pak Ud. Saat itu Ali Masykur sedang sakit, maka Pak Choliq meminta bantuan Pak Ud untuk membawanya ke RS di Surabaya. Karena tidak ada tanda pengenal, maka dibuatkan surat keterangan dengan nama lain.

Setelah sembuh, Ali Masykur menghilang tetapi akhirnya tertangkap lagi dan  mengaku pernah dibantu oleh Pak Ud. Maka Pangdam Jaya Brigjen Sudirman (ayah dari Pak Basofi) mengeluarkan perintah untuk menangkap Pak Ud. Didalam penjara itulah Pak Ud menerima berita wafatnya kakaknya yaitu Pak Wahid Hasyim. Akhirnya dalam persidangan di pengadilan militer tidak terbukti bahwa Pak Ud menyembunyikan aktivis DI/TII. Setelah dibebaskan, Pak Ud tidak meneruskan karir militernya dan lalu pensiun pada usia muda.

Kebersamaan KH. Salahuddin Wahid dan Kiai Yusuf Hasyim

***

Pak Ud lalu aktif di GP Ansor. Beliau tinggal di Jl. Proklamasi no 46 Jakarta Pusat, bersama Pak Munasir dan putranya Rozy Munir serta beberapa orang lagi. Setelah itu beliau pindah ke Jl. Cut Meutiah no 2 Jakarta Pusat. Rekan sepergaulan Pak Ud ialah Mahbub Djunaedi, Said Budairy, Chalid Mawardi, dll. Beliau diangkat oleh Bung Karno menjadi anggota DPRGR tetapi menolak. Pak Ud lalu tergabung didalam kelompok di dalam NU yang tidak mendukung Bung Karno, bersama Mbah Bisri, Pak Imron Rosyadi, KHM Dahlan. Pada tahun 1967 saat terjadi refreshing DPRGR, Pak Ud bersedia masuk dengan alasan karena beliau menggantikan anggota PKI yang diberhentikan dan karena itu menambah jumlah anggoat DPRGR dari NU. Lagipula situasi politik sudah sama sekali berubah.

Beliau adalah salah satu pendiri Banser dan komandan Banser yang pertama. Banser  khusus didirikan untuk menghadapi  provokasi oleh pihak PKI dan organisasi pendukungnya. Menghadapi perkembangan perjuangan saat itu, dirasa perlu membentuk gerakan pemuda yang semi-militer. Memang Pak Ud adalah pemimpin di lapangan menghadapi PKI di Jawa Timur. Sedang pemimpin dipanggung adalah Pak Subchan ZE, salah seorang Ketua PBNU. Selanjutnya Pak Ud menjabat Sekretaris Jenderal PBNU dan salah seorang Rais Syuriyah PBNU.

Perlawanan terhadap PKI masih dilakukan saat ini oleh Pak Ud bersama sejumlah kawan di Jakarta (Bang Taufik Ismail, Firoz Fauzan, Pak Moerwanto, Sumarno Dipodisastro, Fadli Zon, Alfian Tanjung) dan di Jawa Timur (Arukat Jaswadi, Ibrahim, Prof Aminuddin Kasdi).  Pak Ud dkk ialah pihak yang berhasil meminta Pemerintah untuk membatalkan kurikulum 2004 tentang Sejarah yang telah menghapuskan Pemberontakan G30S/Dewan Revolusi/PKI dari materi kurikulum sebelumnya. Mereka jugalah yang berhasil membatalkan UU KKR melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Baca Juga: Pengasuh Pesantren Tebuireng Periode Keenam KH. Muhammad Yusuf Hasyim (1965 –2006)

 Perlawanan tiada henti terhadap PKI itu tentu bukan tanpa sebab. 17 September 1948 Pak Ud meninggalkan Pesantren Takeran, Madiun setelah beberapa waktu tinggal di sana. Ternyata tokoh-tokoh Pesantren itu pada 18 September 1948 diambil oleh para pemberontak PKI dan dibunuh. Pak Ud juga ikut didalam kesatuan yang membebaskan beberapa tokoh yang ditahan oleh FDR/PKI di penjara di Madiun, antara lain Kapten Hambali dan Kyai Ahmad Sahal serta Kyai Imam Zarkasyi, dua tokoh utama  dari Pesantren Gontor. Kapten Hambali itu nantinya menjadi kakak ipar Pak Ud dan ayah mertua dari Hermawan Sulistyo.

Pengalaman hampir 60 tahun yang lalu itu begitu membekas didalam diri Pak Ud sehingga membuat beliau amat waspada dan curiga terhadap suatu gerakan yang dinilainya berbau atau ada kaitan dengan PKI, yang disebutnya sebagai Komunisme Gaya Baru (KGB). Konsistensi Pak Ud dalam menghadapi PKI itu tidak mudah dipahami oleh banyak orang. Banyak yang menganggap sikap Pak Ud itu berlebihan. Tetapi bagi kawan-kawan yang sepaham, Pak Ud adalah pemimpin yang diikuti mereka. Kawan-kawan itulah yang merasa paling kehilangan atas wafatnya Pak Ud.

***

Partai NU sempat bergandengan tangan dengan pihak Orde Baru, tetapi tidak lama. Pemilu 1971 menjadi titik pisah NU dengan Orde Baru. Dalam kampanye Pemilu 1971 aparat keamanan menekan dan mengintimidasi aktivis NU. Setelah NU melebur kedalam PPP, Pemerintah memasang tokoh-tokoh yang dapat dikendalikan untuk menghadapi NU didalam PPP. Kekuatiran Pemerintah terhadap NU berdasar pada pertimbangan politik dan ideologi. Pemerintah khawatir NU akan membangitkan kembali ideologi Islam.

 Pak Ud tentu juga mulai kritis terhadap Pemerintah. Beliau termasuk tokoh NU yang vokal memprotes perlakuan diskriminatif  pimpinan PPP terhadap tokoh-tokoh NU. Akibatnya posisi Pak Ud didalam PPP menjadi terpinggirkan. Perlakuan diskriminatif itulah yang menjadi faktor pemicu NU mengambil jarak yang sama dengan semua partai politik.  

 Pak Ud adalah seorang politisi tulen. Minat utamanya ialah politik. Dalam memandang suatu masalah cenderung mempergunakan perspektif politik. Beliau selalu mengikuti perkembangan politik nasional. Hubungan dengan tokoh-tokoh politik cukup baik. Ketokohan beliau dapat kita lihat pada saat beliau wafat. Perhatian masyarakat begitu besar pada pemakaman jenazah beliau dan juga pada tahlilan hari ketujuh. Ribuan orang hadir pada kedua peristiwa itu. Karangan bunga dukacita datang dari berbagai tokoh termasuk Presiden SBY. Wapres Yusuf Kalla menjenguk Pak Ud di RS satu hari sebelum beliau wafat. 

 Pak Ud adalah politisi yang  berani. Salah satu contohnya ialah saat diadakan rapat dengar pendapat DPR dengan Panglima ABRI, Jenderal Mohammad Yusuf (14 April 1981). Jenderal Yusuf yang didampingi a.l. oleh Mayjen Benny Moerdani. Panglima ABRI membeberkan kronologi darama pembajakan 65 jam di Bandara Bangkok yang pada akhirnya dapat dilumpuhkan oleh Detasemen 81, Satuan Tugas Anti Teror Komando Pasukan Sandhi Yudha, kini Kopasssus.

Para pembajak itu mengajukan lima tuntutan yaitu : 1. pembebasan rekan-rekan mereka yang ditahan karena terlibat penyerangan pos polisi di Bandung (11-3-1981);  2. pembebasan mereka yang ditahan karena terlibat kasus Teror Warman dan Komando Jihad; 3. Penyediaan uang sebesar 1,5 juta dolar AS;  4. Menuntut mundurnya Adam Malik dari jabatan wakil Presiden;   5. Mengeluarkan orang-orang Israel di Indonesia.   

Baca Juga: KH. Yusuf Hasyim Pernah Jadi Aktor Film

Pada waktu tanya jawab, Muhammad Yusuf yang wakil rakyat bertanya kepada Muhammad Yusuf yang Panglima ABRI. Pak Ud mengajukan lima pertanyaan yang disebutnya “Lima Mengapa”. 1. Mengapa yang dituntut mundur hanya Wakil Presiden Adam Malik, tidak sekalian meminta Pak Harto mundur sebagai Presiden? 2. Mengapa pesawat Garuda yang dibajak itu melakukan pendaratan darurat di Bangkok dan tidak ke negara Islam seperti Libya, Iraq atau Iran?  3. Mengapa di Crisis Centre pihak keamanan Indonesia di Bandara Bangkok terdapat juga Duta Besar AS untuk Thailand?  4. Mengapa  senjata –senapan tempur – yang dipakai tentara kita bermerk UZI buatan Israel, padahal Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel?  5. Seperti yang terlihat di tayangan TV, diantara para pembajak yang berhasil ditangkap aparat keamanan kita, dua orang masih hidup dan ketika turun ditutupi kepalanya. Mengapa kini dilaporkan bahwa semuanya tewas? Apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana visumnya?

Mohammad Yusuf yang Panglima ABRI marah besar dan dengan suara tinggi memerintahkan anak buagnya agar Pak Ud dibawa melihat kuburan para pembajak. Pak Ud tidak grogi atau gentar dan menginterupsi sambil mengatakan “Buat apa saya dibawa kekuburan itu. Toh saya tidak bisa membedakan itu kuburan siapa. Yang saya tanyakan ialah hasil visumnya. Soal visum dan senapan UZI tidak terjawab. 

***

Pak Ud adalah pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng selama 41 tahun, mulai 1965 sampai 2006, saat beliau menyerahkan kepemimpinan kepada saya. Banyak sekali yang telah dilakukan oleh Pak Ud bagi Pesantren Tebuireng. Beliaulah yang mendirikan sekolah non-agama (sekolah umum) yaitu SMP dan SMA. Beliau juga yang berhasil menata organisasi keuangan Tebuireng seperti sekarang, dari sesuatu yang tadinya yang tidak teratur sampai menjadi seperti sekarang.  

Selama beberapa tahun terakhir kesehatan Pak Ud kurang baik, sehingga perhatian beliau terhadap pengembangan Tebuireng berkurang. Selain itu beliau tidak bisa melepaskan perhatian dari perkembangan politik, khususnya yang menyangkut umat Islam. Beliau selalu menjadi rujukan dari berbagai kyai berpengaruh seperti KH Abdullah Faqih. Banyak sekali yang datang ke Tebuireng untuk meminta nasehat atau dukungan dalam menyusun pernyataan menanggapi sesuatu. Tentu kegiatan seperti itu menyita waktu dan tenaga Pak Ud.

Karenanya dapat dipahami bahwa perkembangan Tebuireng agak  terganggu. Beliau menyadari hal itu. Sudah cukup lama beliau mengatakan bahwa harus terjadi pergantian pengasuh di Tebuireng. Tetapi tampaknya beliau masih mempertimbangkan siapa yang akan ditunjuk menjadi pengganti beliau. Beliau meminta pertimbangan dari beberapa alumni senior Tebuireng siapa orang yang tepat.

Setelah cukup lama mempertimbangkan, maka pada medio Pebruari 2006 Pak Ud memanggil saya ke Tebuireng. Selanjutnya Pak Ud menyatakan bahwa dirinya sudah tidak kuat untuk meneruskan menjadi Pengasuh Tebuireng dan harus diganti. Menurut pengamatan Pak Ud saya adalah orang paling tepat untuk menggantikan. Kata Pak Ud, “kamu bukan yang paling baik tetapi yang paling cocok”. Pada saat itu saya juga menerima tawaran untuk menjadi Duta Besar di Aljazair. Karena permintaan atau lebih tepat perintah Pak Ud itu, saya menolak jabatan Dubes itu. 

Selain di Tebuireng, Pak Ud juga terlibat dalam upaya mengembangkan pesantren secara umum. Pak UD sempat dipercaya untuk memimpin Yayasan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat ( P3M ) selama beberapa periode. P3M  ialah “anak organisasi“ program pesantren LP3ES didirikan pada sekitar tahun 1980 an. P3M memilih Nasihin Hasan sebagai CEO pertama dan kemudian dialihkan tanggung jawabnya kepada  Masdar Mas’udi. Para pendiri perhimpunan ini disamping Pak Ud adalah Kyai M.Sahal Machfudz ( kini Rois Aam PBNU dan Ketua Umum MUI ), Prof Dawam Rahardjo, Utomo Dananjaya, Pak Sutjipto Wirosardjono (mantan Wakil Ketua BPS ) dan beberapa tokoh lainnya. Bersama pak Tjipto, pak Kyai Sahal dan lain-lain, Pak Ud yang saat itu memimpin  kepengurusan P3M berkunjung ke Jerman untuk beberapa hari.

Zuhairi Misrawi dalam tulisan mengenang Pak Ud di Media Indonesia 17 Januari 2007, menulis  bahwa sampai tahun 2004, Pak Ud masih menghadiri rapat-rapat P3M. Ditengah usianya yang masih lanjut itu, almarhum masih memberikan pernyataan : “Saya memandang bahwa pemberdayaan pesantren masih jauh dari harapan. Apa yang kita lakukan masih belum memenuhi kebutuhan yang semestinya. Karena itu P3M harus lebih proaktif dan betul-betul memikirkan masalah ini dengan baik dan strategi yang tepat. Jangan sampai P3M mempunyai agenda tersendiri, sedangkan pesantren terabaikan. 

Gagasan beliau terakhir adalah mendirikan Ma’had Aly di Tebuireng untuk membina dan menghasilkan alumni yang menguasai kitab kuning dengan baik. Alumni ini nantinya diharapkan dapat menjadi tenaga pengajar di Tebuireng sehingga pengajian yang selama ini kurang mendapat perhatian dapat dikembangkan kembali seperti yang diharapkan oleh para alumni senior Tebuireng.

Ketokohan beliau dapat kita lihat pada saat beliau wafat. Perhatian masyarakat begitu besar pada pemakaman jenazah beliau dan juga pada tahlilan hari ketujuh. Ribuan orang hadir pada kedua peristiwa itu. Karangan bunga dukacita datang dari berbagai tokoh termasuk Presiden SBY. Wapres Yusuf Kalla menjenguk Pak Ud di RS satu hari sebelum beliau wafat. 15 Maret 2007 Legiun Veteran Jombang mengadakan upacara di Pemakaman keluarga Tebuireng untuk menancapkan bambu runcing yang diatasnya dipasang merah putih di makam Pak Ud dan Bapak.  

Jombang, 2 April 2007.