Oleh: Dimas Indianto S.,M.Pd.I.*

7 Ramadan menjadi momentum mengenang kepergian Hadratusyyaikh Hasyim Asy’ari (Kiai Hasyim). Seorang ulama khos-kharismatik yang juga pendiri NU itu wafat pada tanggal 7 Ramadan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun. Diceritakan dalam buku  Fajar Kebangunan Ulama. Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Khuluk, 2000) beliau mengalami tekanan darah tinggi yang diakibatkan berita datangnya kembali Belanda untuk menyerang Malang dari jenderal Soedirman dan Bung Tomo.

Sebagaimana diketahui, beliau adalah sosok ulama yang tak henti memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Baginya, NKRI harga mati. Apapun akan ia korbankan untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka. Hingga seluruh hidupnya, ia wakafkan untuk mengabdi kepada nagara.

Nasionalismenya yang tinggi inilah yang membuatnya menjadi pahlawan nasional. Karena kealimannya dalam menguasai kelimuan Islam, ia mendapat gelar Hadhrat al-Syaikh yang berarti Maha Guru. Yakni gelar diberikan para ulama, baik dalam dan luar negeri, lantaran derajat, kontribusi, dan progresivitas keilmuan Kiai Hasyim, yang memberikan banyak pembaruan dalam pendidikan Islam.

Ada beberapa point keutamaan Kiai Hasyim yang perlu diteladani. Pertama, bahwa Kiai Hasyim adalah seorang yang haus ilmu, sehingga ia melewati banyak proses pendidikan di berbagai pesantren. Sehingga Agus Sunyoto, dalam kata pengantar buku KH. Hasyim Asyari: Pengabdian Kiai untuk Negeri, menggunakan istilah santri kelana. Karena sejak kecil KH. Hasyim Asy’ari diasuh dan dididik oleh ayah dan ibunya serta kakeknya, Kiai Usman, pengasuh pesantren Gedang di selatan Jombang,  dengan nilai-nilai dasar tradisi Islam yang kokoh.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Asy’ari sudah tampak. Dalam usia 13 tahun saja, beliau sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar dari dirinya.   

Sekitar  tahun 1309 H/1891 M, dalam usia 15 tahun, Kiai Hasyim mengawali belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di Jawa Timur. Karena kecerdasannya, Kiai Hasyim tidak pernah lama belajar di satu pesantren, karena semua mata pelajaran telah tuntas dipelajari dalam waktu tidak sampai satu tahun. Begitulah, beliau belajar dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain. 

Di antara Pondok Pesantren yang pernah disinggahi untuk diserap ilmunya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Trenggilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban,  dan  ke Bangkalan di Madura, yang diasuh Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif. Setelah menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren selama 5 tahun, akhirnya beliau belajar di pesantren Siwalan, Sono, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub, yang dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama.

Sebagai orang yang haus akan ilmu, Kiai Hasyim tidak lelah untuk belajar. Tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang sudah didapatkan. Dari sinilah, kegigihan dalam mencari ilmu menjadi suatu keharusan. Karena ilmu adalah lentera yang akan menerangi hidup bagi si-empunya.

Kedua, Kiai Hasyim adalah Kiai yang produktif menulis. Baginya, ilmu tidak selesai hanya dipahami untuk diri sendiri, melainkan juga harus disebarluaskan untuk kemaslhatan ummat. Untuk itulah, disela mengasuh pesantren dan berkegiatan sosial, Kiai Hasyim senantiasa merangkum pengetahuannya dalam bentuk tulisan.

Beberapa karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari adalah (1) Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, merupakan kitab yang paling masyhur dan dikaji di hampir seluruh pesantren di Indonesia, kitab ini berisi uraian tentang tata cara pencarian ilmu, proses belajar mengajar yang berkaitan dengan akhlak murid dan guru dan berbagai aspek yang melingkupinya. (2) Al-Ziyadah al-Ta’liqa, berisi jawaban terhadap Syekh Abdullah bin Yasin dari Pasuruan yang menghina NU, (3)  Al-Risalah al Jami’ah,  berisi tentang uraian keadaan orang mati dan tanda-tanda hari kiamat dan penjelasan tentang sunnah dan bid’ah, (4) Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, berisi tentang arti cinta kepada Rasulullah dan hal-hal yang berkaitan dengan tersebut, (5) Al-Tibyan fi al-Nahyi an-Muqata’ati al-Irhami waal-Aqoribi waal-Ihkwan, berisi tentang uraian pencegahan terhadap silaturrrahmi, baik dengan tetangga dekat ataupun dengan sahabat-sahabatnya, (6) Al-Risalah al-Tauhidiyyah (Naskah kecil ini, berisi tentang uraian mengenai penjelasan aqidah bagi Ahlu- sunnah wa-al-jama’ah), dan beberapa kitab lain.

Ketiga, Kiai Hasyim adalah Kiai entrepreneur. Dahulu, tidak banyak ulama yang memiliki jiwa entrepreneur. Kiai Hasyim adalah prototip ulama yang memiliki semangat berdagang. Tujuh tahun sebelum NU berdiri, Kiai Hasyim menjabat ketua Nahdlotul Tujjar (1918), yakni sebuah badan usaha berbentuk koperasi yang didirikan oleh Mbah Wahab Hasbullah dan Mbah Bisri Syansuri. Maka tidak heran, pada akhir hayatnya, Mbah Hasyim mewariskan dua hektar lahan pemukiman dan sembilan hektar sawahnya kepada Pesantren Tebuireng sebagai wakaf untuk digunakan sebagai pusat pengembangan studi Islam. Semangat entrepreneur ini menjadikan Kiai Hasyim sebagai golongan santri menengah yang mempunyai pandangan kosmopolitan dan tidak terkungkung dalam pandangan keagamaan yang konservatif.

Jiwa entrepreneur inilah yang semestinya juga dipelajari. Karena ini menandakan bahwa kemandirian secara ekonomi merupakan hal yang penting demi tercapainya kehidupan yang sejahtera. Jika seseorang sudah selesai dengan persoalan ekonomi, tentu akan membuat kehidupan ibadahnya menjadi tenang. Untuk itulah Kiai Hasyim mewanti-wanti kepada setiap orang yang memilih jalan sebagai guru atau ustadz, untuk sebaiknya memiliki pendapatan lain, sehingga tidak semata menunggu upah dari mengajar. Karena ditakutkan akan terjebak pada pragmatism dalam mengajar. Jika seseorang tidak ikhlas dalam mengajar, maka efeknya adalah ketidakberhasilan pendidikan secara substantif.

Bagi Kiai Hasyim, menuntut ilmu atau belajar merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Untuk itu, dalam pemikiran pendidikan, Kiai Hasyim lebih fokus kepada persoalan-persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Beliau berpendapat bahwa bagi seorang yang akan mencari ilmu pengetahuan atau menyebarkan ilmu pengetahuan, yang pertama harus ada pada diri mereka adalah semata-mata untuk mencari ridho Allah SWT.

Keempat, Kiai Hasyim adalah kiai yang memiliki pemikiran progresif. Pembaharuan pemikiran keagamaan Kiai Hasyim merambah pada ranah pendidikan. Sejak tahun 1920, Pesantren Tebuireng memperkenalkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, Matematika, Sejarah dan Geografi. Dengan adanya penambahan pelajaran umum di pesantren maka lahirlah konsep interdisipliner.

Pemikiran semacam ini merupakan hal yang luar biasa, karena pada saat itu, masyarakat masih banyak terjebak pada pemikiran yang tradisionalis. Banyak yang terjebak pemahaman yang salah bahwa pelajaran selain agama adalah haram diajarkan. Bahkan menggunakan bangku dan papan tulis saja, pada saat itu, dianggap sesuatu yang bertentangan dengan Islam karena menyerupai pendidikan Barat.

Pemikiran progresif Kiai Hasyim ini kiranya perlu dihayati dan diaplikasikan dalam kehidupan, karena dinamika hidup akan selalu memberikan perubahan. Jika tidak siap dalam menghadapi perubahan zaman, maka akan terjebak pada ketertinggalan. Untuk itulah, pemikiran progresif sangat dibutuhkan agar mampu beradaptasi dengan lingkungan. Sehingga Islam akan senantiasa survive di setiap ruang dan waktu.

Rumah Kertas, 2019.
*Dosen IAIN Purwokerto, pengurus Lakpesdam NU Brebes.