Oleh: KH. Salahuddin Wahid
KH Hasyim Asy’ari Sebagai Pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
Sebenarnya yang mempunyai gagasan untuk membentuk atau mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah KH Wahab Hasbullah, salah seorang santri Mbah Hasyim. Beliau adalah Kiai yang hebat dalam menemukan gagasan dan mewujudkan gagasan itu. KH Wahab sadar bahwa untuk bisa berhasil dalam mendirikan jam’iyyah NU, maka jam’iyyah itu harus didirikan oleh Hadratussyaikh. Beliau matur kepada Hadratussyaikh dan menunggu kesediaan Sang Kiai.
Lama sekali beliau menunggu tetapi tidak ada tanggapan positif dari Hadratussyaikh. Maka beliau sowan kepada Syaikhona Cholil yang merupakan guru Hadratussyaikh dan juga guru KH Wahab Hasbullah dan mohon supaya Syaikhona berkenan ndawuhi Hadratussyaikh untuk bersedia menyatakan berdirinya jam’iyyah NU dan memimpinnya. Syaikhona lalu mengutus Kiai As’ad Syamsul Arifin yang saat itu masih muda untuk menyampaikan pesan mendorong Hadratussyaikh agar bersedia menyatakan berdirinya NU. Sang utusan juga dibekali tongkat sebagai perlambang seperti yang diberikan kepada Nabi Musa.
Ternyata Hadratussyaikh masih belum bersedia, karena itu Syaikhona mengutus lagi Kiai As’ad, kali ini sambil membawa tasbih besar. Beberapa bulan setelah itu Hadratussyaikh baru bersedia. Jam’iyyah NU didirikan pada Rajab 1344 H atau Januari 1926 oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri dan belasan Kiai dari pesantren terkemuka di Pulau Jawa.
Jam’iyyah NU lalu dikembangkan dengan menggunakan jaringan alumni Pesantren Tebuireng dan lalu ditambah jaringan pesantren lain sehingga dalam waktu singkat perkembanganya amat pesat. Pada saat pendudukan Jepang, jumlah alumni Tebuireng mencapai sekitar 15-20 ribu. Betul dugaan Kiai Wahab bahwa NU hanya bisa tumbuh dan berkembang kalau didirikan dan dipimpin oleh Hadratussyaikh.
Ketokohan Hadratussyaikh sudah diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, karena beliau menentang kebijakan Belanda yang merugikan pesantren. Ketika Belanda ingin memberi sebuah pengargaan kepada beliau, hal itu ditolak secara halus. Saat Hadratussyaikh ditahan oleh pihak militer Jepang dan ratusan santri selalu berdemo di penjara, baru mereka sadar siapa sebenarnya tokoh yang mereka tahan. Lalu beliau dilepaskan dan bahkan dipercaya untuk memimpin Shumubu (semacam kantor yang mengurusi agama) di Jakarta. Karena beliau tidak bisa pindah ke Jakarta maka dalam kegiatan sehari-hari beliau digantikan oleh putra beliau KHA Wahid Hasyim.
Kemunculan KH. A. Wahid Hasyim adalah sebagai wakil dari ayah beliau. Kalau tidak mewakili Hadratussyaikh, beliau tidak mungkin muncul ke pentas politik tingkat nasional. Walau demikian harus diakui bahwa beliau mampu menunjukkan kinerja yang bagus berkat kecerdasan, kerja keras dan kemampuan komunikasi serta kemampuan berorganisasi. Hal yang sama juga terjadi pada Gus Dur. Kalau GD bukan cucu Hadratussyaikh, dia tidak akan dipilih jadi Ketua Umum pada 1984. Walau demikian, kemampuan dan ketokohan GD-lah yang bisa membawanya ke kursi kepresidenan. Juga tidak mungkin beliau diakui sebagai pemimpin masyarakat sipil di Indonesia.
KH Hasyim Asy’ari Sebagai Pemimpin:
Jam’iyyah NU, Umat Islam Indonesia dan Bangsa Indonesia
Kepemimpinan Hadratussyaikh didalam Jam’iyyah NU sudah tidak perlu diragukan lagi. Posisi beliau adalah Rais Akbar sejak 1926 sampai beliau wafat pada 1947. Posisi itu tidak pernah diduduki tokoh lain. Setelah beliau wafat, posisi itu tidak ada lagi. Rais Akbar adalah pimpinan tertinggi Jam’iyyah NU. Keputusan Rais Akbar akan dipatuhi oleh seluruh pengurus dan anggota.
Beliau-lah yang memberi fatwa bahwa Hindia Belanda adalah darussalam karena memberi kebebasan umat Islam untuk menjalankan syariat Islam. Tetapi ketika kita dalam proses mendirikan negara, beliau memfatwakan untuk berjuang supaya Islam menjadi dasar negara. Itu adalah contoh dari visi beliau dalam bidang politik ketika menjadi nahkoda jam’iyyah NU.
Kepemimpinan, ketokohan, dan wibawa Hadratussyaikh adalah buah dari keilmuan, keluasan wawasan, integritas, keadilan, visi dan perhatian serta kepedulian beliau terhadap kepentingan jam’iyyah dan masyarakat. Prinsip dipegang teguh tetapi cara penyampaiannya tidak kaku dan bisa luwes. Bagi sebagian orang, itu bisa dianggap tidak punya sikap.
Pengganti beliau adalah KH Wahab Hasbullah pada posisi Rais Aam (1947-1971), yang juga merupakan pimpinan tertinggi jam’iyyah NU. Pengganti KH Wahab adalah KH Bisri Syansuri (1971-1980). Rais Aam berikut adalah KH Ali Maksum (1980- 1984). Berikutnya adalah KH Achmad Siddiq (1984-1991). Setelah KH Achmad Siddiq wafat, posisi Rais Aam tidak sekuat sebelumnya, Gus Dur sebagai Ketua Umum lebih dominan dan lebih berwibawa. Diperlukan kemauan semua pihak untuk mengembalikan posisi Syuriah betul-betul sebagai lembaga tertinggi.
Kepemimpinan Hadratussyaikh diakui oleh seluruh umat Islam Indonesia, tidak memandang organisasi atau madzhab. Beliau diminta menjadi Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi yang dijabat sampai beliau wafat pada 1947. Beliau selalu mengemukakan didalam berbagai forum supaya umat Islam Indonesia bersatu, jangan sampai terjadi perpecahan. Pada saat Hadratussyaikh dimohon untuk menyatakan berdirinya NU dan memimpinnya, beliau kuatir berdirinya NU akan membuat umat Islam di wilayah Hindia Belanda justru makin terkotak-kotak.
Tetapi ternyata pesan dan harapan Hadratussyaikh untuk menjaga persatuan umat Islam di Indonesia tidak diikuti oleh para penerus beliau. Tentu perpecahan itu ada faktor penyebabnya, tetapi apapun faktor itu ternyata kita tidak mampu menjaga persatuan. Pada 1947 Syarikat Islam mengundurkan diri dari Partai Masyumi, dan menjadi PSII. Keluarnya SI tidak membuat guncangan yang terlalu hebat. Dan kini PSII tidak banyak terdengar kabar beritanya lagi.
Pada Muktamar NU 1952 giliran NU yang keluar dari Masyumi dan berubah menjadi Partai NU. Pada saat itu KH. A. Wahid Hasyim berusaha kuat tenaga supaya NU tetap di dalam Partai Masyumi, tetapi keinginan para peserta Muktamar untuk keluar dari Masyumi lebih kuat. Keluarnya NU itu menimbulkan guncangan cukup hebat. Tidak pernah lagi umat Islam merasakan persatuan seperti saat Hadratussyaikh menjadi Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi. Memang pada 1973-1999 pernah hanya terdapat satu partai Islam yaitu PPP, tetapi nyatanya di dalam terjadi perpecahan.
Perpecahan juga terjadi dalam jam’iyyah NU. Yang pertama pada 1982-1984 ketika ada kelompok Cipete dan kelompok Situbondo yang ingin NU tidak terlibat lagi dalam masalah politik praktis. Lalu pada 1994/1995 ketika Abu Hasan yang didukung Pemerintah menggugat PBNU hasil Muktamar Cipasung. Saat ini di dalam jam’iyyah NU juga terjadi gugatan hukum oleh sejumlah PWNU dan PCNU karena Muktamar NU ke 33 dilaksanakan tidak sesuai AD/ART akibat adanya campur tangan kepentingan partai politik tertentu.
Konflik diatas hanya mungkin terjadi karena tidak ada tokoh sentral yang keputusannya ditaati semua pihak. Ketaatan itu hanya bisa muncul kalau tokoh itu memang punya ketokohan kuat dan tidak punya kepentingan pribadi atau kelompok, seperti Hadratussyaikh, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri.
Peran Hadratussyaikh sebagai pemimpin bangsa Indonesia mungkin tidak terasa secara langsung walaupun itu sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka. Walaupun terlihat sebagai masalah umat Islam, sebenarnya masalah tersebut juga masalah bangsa Indonesia. Ketika beliau menyetujui didirikannya Laskar Hisbullah, itu juga menjadi masalah bangsa Indonesia. Ketika beliau menjadi Ketua Shumubu (semacam kantor agama), itu juga menyangkut masalah bangsa Indonesia.
Peran beliau yang sudah langsung bisa dikenali sebagai peran pemimpin bangsa Indonesia ialah saat beliau memberi persetujuan terhadap usulan yang diajukan dalam persidangan BPUPKI dan PPKI. Peran lain ialah saat beliau memimpin para ulama NU dalam menyampaikan fatwa berupa Resolusi Jihad. Terbentuknya kementerian agama tentu tidak lepas dari peran beliau. Selain itu kita mengetahui bahwa sejumlah pemimpin nasional sering meminta nasehat beliau secara langsung atau dengan mengirim utusan.
Kepemimpinan dan peran beliau dalam perjuangan kemerdekaan serta peran dalam masalah pendidikan telah diakui secara resmi oleh negara dengan adanya anugerah gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964.
Peran kebangsaan lain dari Hadratussyaikh yang baru terasa sekian puluh tahun setelah beliau wafat ialah diakuinya jam’iyyah NU sebagai salah satu organisasi besar umat Islam yang memberi warna terhadap Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia yaitu Islam yang moderat dan menghargai perbedaan. Perpaduan keislaman dan keindonesiaan yang baik di Indonesia tercapai berkat peran NU dan Muhammadiyah dan ormas Islam lain.
Perpaduan keindonesiaan dan keislaman itu melingkupi banyak aspek dalam kehidupan. Dalam proses mencapai perpaduan itu banyak tokoh NU yang terlibat, berarti secara tidak langsung terdapat peran Hadratussyaikh. Perpaduan pertama ialah diterimanya Pancasila sebagai dasar negara pada 18/8/1945. Penerimaan Pancasila oleh NU (1984) memperkuat perpaduan itu. Perpaduan kedua ialah didirikannya kementerian agama pada 3/1/1946. Perpaduan ketiga ialah MoU Menteri Agama Wahid Hasyim dan Menteri PPK Bahder Johan yang memberi tempat bagi berdirinya madrasah dibawah Kemenag dan diberikannya pelajaran agama di seluruh sekolah.
Perpaduan keempat ialah berdirinya PTAIN yang lalu menjadi IAIN dan lalu berkembang menjadi UIN. Selanjutnya ialah diakuinya Ma’had Aly yaitu pendidikan tinggi Islam di pesantren yang dikoordinasi oleh Direktorat Pesantren. Juga diakuinya madrasah yang menggunakan kurikulum pesantren tanpa muatan pendidikan non-agama.
Perpaduan kelima ialah diangkatnya Presiden Soekarno menjadi Waliyyul Amri Dharuri bis Syaukah yang memberi Presiden posisi yang dikehendaki oleh fikih. NU yang memprakarsai proses itu dituduh menjilat Presiden Soekarno.
Perpaduan keenam ialah masuknya hukum Islam kedalam UU Perkawinan pada 1973/74 dimana peran ulama NU dibawah Rais Aam KH Bisri Syansuri (yang merupakan murid Hadratussyaikh) amat menonjol. Ini lalu diikuti dengan UU Peradilan Agama, lalu UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Wakaf dan UU Haji.
Perpaduan ketujuh ialah pasal 28 J UUD hasil amandemen yang memadukan HAM universal dengan agama dan budaya. Perpaduan kedelapan ialah perpaduan budaya Islam dengan budaya lokal/nasional seperti qasidah, sholawat, jilbab. Perpaduan ini tidak lepas dari peran alumni pesantren yang umumnya mengikuti pemikiran Hadratussyaikh.
KH Hasyim Asy’ari Sebagai Pendidik
Menurut Hadratussyaikh, tujuan pendidikan ialah pemahaman terhadap pengetahuan dan pembentukan karakter yang baik, yang penuh dengan pemahaman secara benar dan sempurna terhadap ajaran-ajaran Islam serta mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten. Beliau selalu mengatakan bahwa santri yang baik ialah santri yang bisa menjalankan apa yang dipelajari di pesantren di dalam kehidupan sehari-hari. Jadi pengetahuan agama yang sudah dipelajari harus diterapkan atau dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan pendidikan ini mampu diwujudkan jika santri/siswa terlebih dahulu mendekatkan diri kepada Tuhan. Ketika berproses dalam pendidikan, santri harus mampu terhindar dari unsur-unsur materialisme, seperti kekayaan, jabatan, popularitas dll. Menurut beliau, jika ilmu tidak dicari demi untuk kepentingan agama, maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu tiba.
Ketika tujuan mencari ilmu itu menjadi cacat dalam arti tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka niat orang yang mencari ilmu itu juga menjadi rusak. Hal ini karena mencari ilmu sebagai perantara untuk mencari kemewahan dunia, baik untuk mencari harta atau mencari jabatan. Inti pendidikan menurut beliau ialah menolong orang yang tidak tahu dan membetulkan orang yang melakukan kesalahan. Karena itu etika yang baik perlu dipelajari santri ketika sedang belajar. Guru juga harus tahu etika mengajar. Hal ini diperlukan agar puncak ilmu mampu diraih guru dan murid dengan baik.
Puncak ilmu adalah amal karena amal adalah wujud dari ilmu itu. Pemanfaatan ilmu dalam kehidupan sehari-hari adalah buah dari ilmu itu, sekaligus sebagai bekal manusia saat kelak menghadap Allah SWT. Kalau kita mau jujur, tidak banyak lagi saat ini yang mengikuti sepenuhnya prinsip yang ditekankan oleh Hadratussyaikh. Tampak cukup jelas bahwa santri, baik siswa maupun mahasiswa memerlukan ijazah formal yang diperlukan dalam merintis karir.
Pendidikan hendak membentuk manusia sempurna yang tercermin pada sosok Nabi Muhammad SAW, maka hendaknya materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa juga memberi ruang terhadap tokoh-tokoh yang patut diteladani dalam sejarah hidup mereka, khususnya Nabi SAW dan para sahabat. Selain shalat, Hadratussyaikh juga memberi penekanan pada kebiasaan membayar zakat sesuai dengan perintah agama Islam. Tentu pemikiran pendidikan Hadratussyaikh terlalu panjang untuk dimuat secara lengkap di sini.
Melihat konsep pendidikan yang diajukan Hadratussyaikh seperti di atas dan juga konsep pendidikan Ki Hajar Dewantoro, tampaknya tidak nyambung dengan kenyataan yang kita saksikan di dalam kehidupan pendidikan kita sehari-hari. Tampak bahwa agama lebih ditekankan pada aspek kognitif dan aspek afektif secara tidak sengaja terabaikan. Kita juga melihat kenyataan bahwa kejujuran yang merupakan inti dari akhlak, tidak banyak kita temukan di dalam masyarakat. Agama lebih menekankan pada ibadah mahdhoh atau ritual dibanding ibadah sosial.
Yang amat menarik ialah perilaku dan akhlak Hadratussyaikh yang amat luar biasa. Tampaknya konsep pendidikan di atas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh ialah kisah berikut ini:
Hadratussyaikh secara rutin mengadakan pengajian kitab Bukhari Muslim setiap bulan Ramadan yang dimulai sekitar tanggal 20 Sya’ban dan berakhir pada sekitar 20 Ramadan. Beberapa Kiai yang dulu pernah didatangi Hadratussyaikh untuk belajar di pesantren mereka, ternyata lalu ingin belajar pada Hadratussyaikh. Tentu saja Hadratussyaikh menolak, tetapi para Kiai itu juga ngotot untuk ikut mengaji. Akhirnya disepakati bahwa para Kiai yang dulu pernah menjadi guru Hadratussyaikh itu bisa ikut mengaji dengan syarat beberapa Kiai itu tidak usah memasak dan mencuci baju sendiri, mereka akan dilayani oleh para santri Tebuireng.
Pada suatu malam setelah para Kiai itu tidur, ada seseorang yang mengambil pakaian kotor mereka. Salah seorang Kiai bangun dan melihat bahwa sosok yang mengambil pakaian kotor itu seperti Hadratussyaikh. Kiai itu penasaran dan lalu mengejarnya. Setelah dicari, ternyata yang mengambil baju-baju kotor itu dan mencucinya sendiri adalah Hadratussyaikh. Si Kiai tadi lalu meminta supaya Hadratussyaikh berhenti mencuci baju-baju kotor itu, tetapi Hadratussyaikh tetap bersikeras untuk meneruskan mencuci. Kata Hadratussyaikh, ini adalah bakti kepada para Kiai yang telah mendidik beliau. Kiai “mantan” guru Hadratussyaikh itu menangis dan mereka berpelukan.
Perlu juga dicatat bahwa sejumlah santri Hadratussyaikh saya kenali sebagai ulama yang akhlaknya bagus dan punya prinsip. Yang saya saksikan sendiri ialah perilaku KH Bisri Syansuri yaitu ayah dari ibu saya. Beliau adalah Kiai yang punya prinsip dan berani menyatakan prinsip itu secara tegas tetapi disampaikan dengan bahasa yang sopan dan santun. Beliau selalu menghormati siapa saja yang bertamu. Beliau adalah orang yang jujur dan menjaga kebersihan harta. Kiai Bisri sering sekali berbeda pendapat dengan Kiai Wahab yang kebetulan adalah kakak ipar beliau.
Walaupun sering berbeda pendapat, hubungan kakak dan adik ipar itu amat baik. Itulah contoh nyata tentang bagaimana kita harus bersikap terhadap orang yang berbeda pendapat, perbedaan itu tidak harus membuat hubungan pribadi kita tidak baik. Saya pikir kedua Kiai besar itu bisa bersikap seperti itu karena mengikuti ajaran Hadratussyaikh. Kiai lain murid Hadratussyaikh yang perilakunya bisa kita teladani, kisahnya saya dengar dari mereka yang menyaksikan, ialah KH Syafaat dari Blokagung Banyuwangi.