Oleh: Moehammad Nurjani*
KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab kita sapa Gus Dur, adalah salah tokoh bangsa yang berjuang paling depan melawan radikalisme agama. Ketika radikalisme agama sedang kencang-kencangnya bertiup, Gus Dur menentangnya dengan berani. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sendiri bila harus berhadapan melawan kekerasan yang dipicu agama. Gus Dur menentang semua kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dia juga pejuang yang tidak mengenal hambatan.
Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok minoritas, baik dalam kalangan umat muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Kristen dan Katholik serta etnis Tionghoa. Tidak hanya Indonesia, dunia juga mengakuinya. Namun, sikap Gus Dur yang memberi teladan perihal Pluralisme tersebut tidak serta merta disepakati oleh semua pihak.
Ketika panggilan Yang Kuasa menghampirinya, banyak yang merasa kehilangan. Tidak hanya para pendukungnya, karena bicara tentang Gus Dur tak bisa hanya dalam kategori pendukung dan bukan pendukung. Bicara tentang Gus Dur tak akan lepas dari sebuah peradaban. Sekali lagi tidak hanya para pendukung, tapi masa depan bangsa Indonesia atau dunia internasional pun kehilangan dia.
Dengan kepergian beliau menghadap ila Rabbihi al-a’la kita bisa mengenang seorang Guru Bangsa yang merupakan fenomena terindah dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Satu sisi lain, kita juga bisa mengenang seseorang yang begitu tinggi moralitasnya dalam memandang kehidupan secara tulus, sederhana, jujur, dan penuh kebersahajaan. Tak hanya itu, kita bisa mengenang seorang sahabat yang hangat menyapa, lucu dalam canda, dan murah hati kepada sesama yang membutuhkan.
Siapa yang tidak mengerti slogan khasnya “Gitu aja kok repot”, yang terdengar ringan di telinga siapa saja, bahkan orang awan sekalipun. Slogan ini sesungguhnya mempunyai makna yang cukup dalam. Jika ditafsirkan dari bahasa Arab, yakni Yasir wa La Tu ‘assir, yang mempunyai arti “Permudah jangan dipersulit.”
Ada 4 tokoh nasional yang digadang pantas menyandang predikat punokawan reborn. Pertama Gus Dur yang dikiaskan sebagai Ki Semar. Sebagai seorang bapak, beliau memberikan petuah-petuah bijak kepada masyarakat ketika menjabat menjadi presiden. Begitu disegani oleh siapapun lawan politiknya.
Selanjutnya ialah Ahmad Musthofa Bisri alias Gus Mus yang juga teman karib Gus Dur ketika masih hidup. Gus Mus diibaratkan seperti Gareng dengan karakter bijaksana dalam mengambil keputusan (tidak grusa-grusu). Gus Mus merupakan seniman lukis dan juga penyair yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang harmonis penuh cinta dan kasih.
Kemudian ada Cak Nun yang dikiaskan menjadi sosok Petruk dengan kelebihan berbicara di depan khalayak umum. Sedikit nakal dan cerdas dalam menjabarkan sesuatu. Menggagas forum maiyah yang sudah tersebar di berbagai daerah, Cak Nun juga seorang seniman atau budayawan yang pernah aktif di lingkungan politik nasional.
Terakhir si bungsu Bagong yang disematkan kepada Sudjiwo Tedjo. Meskipun tidak berangkat dari kalangan santri seperti ketiga tokoh lainnya, Sudjiwo Tedjo kerap melahirkan buku-buku tasawuf. Ia tidak terlalu tergiur pada bingar-bingar kehidupan dunia dan popularitas.
Seperti halnya punokawan dalam cerita pewayangan, Gus Dur, Gus Mus, Cak Nun, dan Sudjiwo Tedjo juga sering berseloroh di forum-forum pengajian ataupun seminar. Di tengah ramainya kampanye punokawan reborn, semoga masyarakat bisa meneladani gairah berpunokawan dalam dirinya masing-masing.
Punakawan terus bertransformasi dalam berbagai wujud. Punakawan tidak hanya sekedar cerita masa lalu, melainkan harus terus dimunculkan dalam setiap zaman. Penghargaan kepada siapa saja yang mampu memberikan konstribusi di tengah masyarakat.
Menukil maqalah dari Almagfurlah RKH. Moh Badruddin Anwar, “Dunia tidak bisa dicapai dengan lamunan. Tapi bisa dicapai dengan pekerjaan dan perbuatan”. Dari beliau, semoga kita dapat mengemban cita-cita dan meneruskan perjuangannya. Selamat Jalan Guru Bangsa.
__________________________________________________
*Mahasantri Ma’had Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo