Sumber foto: https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/03/30/biografi-kh-m-munawir-krapyak-yogyakarta/

KH. M. Munawwir adalah putra KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashari. Dahulu, ada seorang ulama pejuang, KH. Hasan Bashari namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghafalkan Kitab Suci Al Quran namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhah dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah SWT mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.

Begitu pula anak beliau, KH. Abdullah Rosyad, selama 9 tahun riyadhah menghafalkan Al Quran, ketika berada di Tanah Suci Makkah, beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hafal Al Quran adalah anak-cucunya.

KH. Abdullah Rosyad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah KH. M. Munawwir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khadijah (Bantul).

Masa Pencarian Ilmu Kiai Munawwir

Guru pertama beliau adalah Ayah beliau sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes Al Quran, Sang Ayah memberikan hadiah sebesar Rp.2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

KH. M. Munawwir tidak hanya belajar qira’at (bacaan) dan menghafal Al Quran, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari para ulama di masa itu, di antaranya:

KH. Abdullah (Kanggotan – Bantul)
KH. Kholil (Bangkalan – Madura)
KH. Shalih (Darat – Semarang)
KH. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)

Setelah itu, pada tahun 1888 M beliau melanjutkan pengajian Al Quran serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (dua Tanah Suci), baik di Makkah al-Mukarramah maupun di Madinah al-Munawwarah. Adapun Guru-guru beliau di sana antara lain:

  • Syaikh Abdullah Sanqara
  • Syaikh Syarbini
  • Syaikh Mukri
  • Syaikh Ibrahim Huzaimi
  • Syaikh Manshur
  • Syaikh Abdus Syakur
  • Syaikh Mushthafa
  • Syaikh Yusuf Hajar (Guru beliau dalam qira’ah sab’ah)

Pernah dalam suatu  perjalanan dari Makkah ke Madinah, tepatnya di Rabigh, beliau berjumpa dengan seorang tua yang tidak beliau kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang hafidz Al Quran sejati. Lalu pak tua menjawab, “InsyaaAllah,” menurut KH. Arwani Amin (Kudus), orang tua itu adalah Nabiyullah Khadhir As.

Beliau menekuni Al Quran dengan riyadhah, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah riyadhah membaca Al Quran selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya.

Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

Kemuliaan Akhlak Kiai Munawwir

KH. M. Munawwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah rawatibnya. Shalat Witir beliau tunaikan 11 rakaat dengan hafalan Al Quran sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat Isyroq (setelah terbit matahari), shalat Dhuha dan shalat Tahajjud.

Beliau mewiridkan Al Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau sudah hafal, seringkali beliau tetap menggunakan Mushaf. Bahkan kemanapun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid Al Quran tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan Al Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah beliau mewiridkan Al Quran semenjak berusia 15 tahun.

Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan Al Quran, dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara Masjid) untuk bertawajjuh kepada Allah SWT. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.

Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni;

  1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
  2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
  3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
  4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
  5. Nyai Khadijah (Kanggotan – Yogyakarta)

Begitulah KH. M. Munawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istikamah, dan wibawa, dengan berkah Al Quran al-Karim.

Orang hafal Al Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertakwa kepada Allah, dan shalat Tarawih dengan hafalan Al Quran sebagai bacaannya.

Begitu besar pengagungan beliau terhadap Al Quran, sampai-sampai undangan Haflah Khatmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang Mushaf Al Quran selalu dalam keadaan suci dari hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf Al Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Munawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghafalkan Al Quran 23,5 juz.

Setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut. Juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan kopiah atau serban maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan tiap hari Jumat.

Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi, dan bersetrika. Jubah, sarung, serban, kopiah, dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, serban, dan sarung.

Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya. Jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.

Walau beliau termasuk dalam abdi dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan shalawat-shalawat, Burdah, dan tentunya Tilawatil Quran.

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis sore. Tiap berziarah, beliau membaca surat Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan doa ke hadirat Allah, biasanya dengan membaca shalawat Nariyyah 4.444 kali atau surat Yasin 41 kali.

Sebagai layaknya seorang ulama, KH. M. Munawwir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari para ulama lain, diantaranya;

1) Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah

2) KH. Sa’id (Gedongan – Cirebon)

3) KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)

4) KH. R. Asnawi (Kudus)

5) KH. Manshur (Popongan)

6) KH. Siroj (Payaman – Magelang)

7) KH. Dalhar (Watucongol – Magelang)

8) KH. Ma’shum (Lasem)

9) KH. R. Adnan (Solo)

10) KH. Dimyati (Tremas – Pacitan)

11) KH. Idris (Jamsaren – Solo)

12) KH. Abbas (Buntet – Cirebon)

13) KH. Siroj (Gedongan – Cirebon)

14) KH. Harun (Kempek – Cirebon)

15) KH. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)

16) Para Kyai dari Jombang dan Pare

17) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX

18) B.R.T. Suronegoro

19) KH. Asy’ari (Wonosobo) yang merupakan teman semasa belajar di Tanah Suci.

Selain dikunjungi, beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap para ulama yang lain, seperti kepada KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.

Beliau juga mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi anggota JEMANGAH, yakni jamaah shalat tetap yang terdiri dari 41 orang ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.

Perjuangan Dakwah Kiai Munawwir

Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan Al Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.

Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.

Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai di tempati untuk mengajar Al Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil. Konon, KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput. KH. M. Munawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca surat Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung.

Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M. Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran Al Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena haibah, wibawa beliau.

Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. M. Munawwir adalah Kitab Suci Al Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian surat an-Nas sampai surat an-Naba’, baru kemudian surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas.

Banyak di antara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran Al Quran pada khususnya.

  1. KH. Arwani Amin (Kudus)
  2. KH. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
  3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
  4. KH. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
  5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
  6. KH. Noor (Tegalarum – Kertosono)
  7. KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
  8. KH. Murtadha (Buntet – Cirebon)
  9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
  10. KH. Abu Amar (Kroya)
  11. KH. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
  12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
  13. KH. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
  14. KH. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
  15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
  16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Untuk para Mutakharrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.

Wafat dan Penerus Kiai Munawwir

Sebagaimana manusia pada umumnya, KH. M. Munawwir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur.

Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan surat Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.

Akhirnya, beliau KH. M. Munawwir wafat ba’da Jumat tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dikala beliau menghembuskan napas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca surat Yasin belum hadir.

Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan – Solo), KH. R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau KH. Ma’shum (Suditan – Lasem).

Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren.

Jenazah KH. M. Munawwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca Al Quran. Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan, dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan Klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan Pesantren.

Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci Al Quran dengan segala konsekuensinya. Almarhum KH. M. Munawwir berwasiyat, agar keluarga melanjutkan perjuangan pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan pesantren dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai yakni;

1) KH. R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Disamping menangani pengajian Al Quran, beliau juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada 1 Januari 1968.

2) KH. R. Abdul Qadir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal Al Quran dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yang disponsori oleh KH. R. Abdul Qadir, dibantu KH. Mufid Mas’ud (menantu KH. M. Munawwir), Kiai Nawawi (menantu KH. M. Munawwir) dan Hasyim Yusuf dari Nganjuk. KH. R. Abdul Qadir wafat pada 2 Februari 1961.

3) KH. Ali Ma’shum (menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj. Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943. Beliau adalah perintis dan pengasuh pengajian kitab-kitab selepas KH. M. Munawwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam rangka menimba ilmu. KH. Ali Ma’shum wafat pada 1989.


Referensi: https://kumpulanbiografiulama.wordpress.com/2013/03/30/biografi-kh-m-munawir-krapyak-yogyakarta/

Disadur dari buku yang berjudul “Manaqibus Syaikh: K.H.M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta” yang diterbitkan oleh Majlis Ahlein (Keluarga Besar Bani Munawwir) Pesantren Krapyak, keluaran tahun 1975.