Jamak diketahui, di dalam kalender Islam itu ada dua belas bulan. Jumlah tersebut secara jelas disinggung oleh Allah di dalam al-Quran sebagaimana berikut:

 إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus.” (Q.S. al-Taubah: 30)

Dari dua belas bulan yang disebutkan, ada empat bulan yang secara jelas oleh Allah dianggap sebagai bulan-bulan mulia. Di mana, masyarakat Arab zaman dahulu sadar untuk meniadakan bentuk-bentuk kemaksiatan. Dan juga, mereka sepakat untuk melakukan gencatan senjata.

Penamaan Bulan Safar

Salah satu bulan yang mendapat perhatian khusus oleh agama Islam adalah bulan Safar. Melihat urutan yang ada di dalam kalender Islam, bulan Safar adalah bulan yang terletak setelah bulan Muharram. Bulan Safar sendiri bukanlah dari kategori empat bulan yang dimuliaakan. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Berbicara seputar penamaan dengan bulan “Safar,” sebagian ulama memberikan beberapa alasan sebagaimana berikut,

Pertama, bulan itu disebut “Safar,” menimbang kondisi kota Mekah pada bulan tersebut terasa sepi (Isfaar). Hal ini dikarenakan, pada zaman dahulu, penduduknya secara serentak melakukan perjalanan ke luar kota Mekah di bulan Safar.

Kedua, berkaitan dengan konteks perang yang dilakukan masyarakat zaman dahulu. Mereka menamai bulan ini dengan sebutan “Safar,” karena mereka biasa menyerang suku-suku dan meninggalkan mereka dalam keadaan tidak memiliki harta sama sekali (sifran).

Masyarakat Arab Jahiliyah dan Bulan Safar

Sebelum Islam datang, masyarakat Jahiliyah sangat membenci bulan Safar. Catatan sejarah menunjukkan bahwa mereka memperlakukan bulan Safar berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Untuk memperjelas keterangan tersebut, kiranya kita bisa mengklasifikasi penjelasan sebagaimana berikut:

Pertama, ke-ngawur-an masyarakat Arab dalam memposisikan bulan Safar. Mereka menempatkan posisi bulan Safar pada posisi bulan Muharram. Di mana secara urutan, setelah Zulhijah sebenarnya adalah bulan Muharram. Namun, kenyataannya mereka membaliknya. Memposisikan bulan Safar pada posisi bulan Muharram.

Hal ini bisa kita lihat di dalam firman Allah Swt. sebagaimana di bawah ini,

إِنَّمَا ٱلنَّسِىٓءُ زِيَادَةٌ فِى ٱلْكُفْرِ ۖ يُضَلُّ بِهِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يُحِلُّونَهُۥ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُۥ عَامًا لِّيُوَاطِـُٔوا۟ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ فَيُحِلُّوا۟ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ ۚ زُيِّنَ لَهُمْ سُوٓءُ أَعْمَٰلِهِمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْكَٰفِرِينَ

Sungguh, mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang kafir dengan hal itu. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya. Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Setan menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Q.S. at-Taubah: 37).

Kedua, mereka meyakini bahwa melaksanakan umrah di bulan-bulan Haji (Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah) adalah salah satu bentuk kemaksiatan yang paling hina. 

Ketiga, masyarakat Arab Jahiliyah memandang bahwa bulan ini adalah bulan sial. Imbas yang ada adalah, mereka biasa menunda suatu pekerjaan atau acara tertentu, setelah bulan Safar selesai. Akibat dari kepercayaan tersebut, mereka tidak berani mengadakan suatu acara atau melakukan suatu pekerjaan tertentu di bulan Safar.

Datangnya Cahaya Islam    

Islam datang dalam rangka meluruskan pemahaman dan keyakinan yang dirasa salah pada zaman itu. Salah satu yang menjadi fokus dakwah Islam adalah seputar keyakinan masyarakat Jahiliyah terhadap bulan Safar.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad pernah berkata:

لاَ عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

Tidak ada kesialan karena ‘Adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada Thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada Hammah (menganggap sial ketika ada burung terbang di malam hari) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan sial).” (H.R. Bukhari).

Dari keterangan di atas, kita bisa memahami bahwa pandangan masyarakat Jahiliyah itu tidak dibenarkan oleh agama Islam. Agama Islam berpandangan bahwa tidak diperkenankan menganggap suatu bulan tertentu, sebagai bulan sial. Semua bulan sama. Tidak ada yang bisa memberikan suatu bahaya atau manfaat, kecuali hanyalah Allah Swt.

Kesimpulan

Di dalam agama Islam, tidak ada istilah hari atau bulan sial. Semua hari sama, semua bulan sama. Mungkin perbedaan muncul dalam hal keutamaan, semisal hari Jum’at yang memiliki derjata keutamaan beda dengan hari-hari lain.

Islam meyakini bahwa yang bisa mendatangkan manfaat maupun bahaya hanyalah Allah Swt. Tidak ada yang lain, hanyalah Allah. Jadi, keyakinan dan pemahaman yang dimiliki masyarakat Jahiliyah zaman dahulu jelas tidak bisa dibenarkan.

Dan hari ini, ketika masih ada sebagian masyarakat yang meyakini bahwa ada hari sial atau bulan, atau bahkan tahun, jelas keyakinan mereka tidak bisa dibenarkan. Jangan sampai keyakinan zaman Jahiliyah dahulu yang dianggap salah oleh agama Islam, masih diyakini oleh sebagian masyarakat zaman sekarang. Sekian, terima kasih!


Sumber:

Lisan al-‘Arab karangan Imam Ibnu Mandhur.

Faidah fi Syahr Safar karangan Imam Muhammad Shalih al-Munajjit.


Ditulis oleh Moch Vicky Shahrul Hermawan, Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang