Ilustrasi bulan Safar

Mengutip kata dari Brilio.net, “Tiada satu pun cara yang dapat menyatukan dua insan yang sedang jatuh cinta kecuali menikah.” Memutuskan untuk melangkah ke pelaminan tentu sudah banyak persiapan yang dilakukan. Mulai dari kesiapan mental hingga materi. Tak hanya itu, sepasang kekasih juga harus lebih dulu meminta restu dari orang tua agar bahtera rumah tangga yang akan dilalui berjalan dengan lancar dan penuh berkah.

Menyatukan dua insan dan dua keluarga dengan latar belakang yang berbeda memang menjadi tantangan tersendiri. Sehingga, tak jarang muncul berbagai problematika setelah menikah. Hal itu merupakan proses perjalanan kehidupan yang harus dihadapi dengan kepala dingin.

Pernikahan memanglah suatu hal yang sakral. Entah mengapa, ketika akad sedang diberlangsungkan, sebagian dari pihak keluarga ada yang tersenyum bahagia, ada pula yang tersenyum sendu sambil mengeluarkan air mata. Seperti halnya perjodohan Cina, suku Tujia memiliki adat tersendiri sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Mereka menyebutnya Zuo Tang.

Pada tradisi Zuo Tang, wanita yang mau menikah diharuskan menangis terlebih dahulu selama 30 hari sebelum menjalani akad. Jika ia tidak menangis, maka sang ibu akan memukulinya sampai ia menangis. Karena hal tersebut sebagai pengungkapan bahwa sang wanita sedang meluapkan perasaan cintanya yang mendalam.

Membahas tentang pernikahan, identik dengan kata serius dalam menjalani kehidupan. Banyak orang-orang yang menganggap, bahwa hal tersebut merupakan momen tersendiri yang harus diabadikan. Namun, mengapa masih terjadi khilafiyyah antara satu kaum dengan yang lainnya? Menimbang, pernikahan memiliki prinsip yang sama. Tapi, kepercayaan mereka terhadap waktu pernikahan malah berbeda.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Usai menemui hari merdeka di penghujung bulan Muharram, maka kita akan memasuki bulan Shafar. Orang Jawa menyebutnya bulan Sapar. Menurut Primbon Jawa, bulan sapar ialah bulan terberat. Masyarakat Jawa pun meyakini akan hal itu. Mereka juga beranggapan, bahwa bulan Sapar ialah bulan yang terjadi banyak malapetaka, kesialan, musibah, dan cobaan.

Satu sisi lain, mereka juga meyakini bahwa orang yang memaksa menikah di bulan tersebut akan mengalami kesusahan dari segi finansial. Rumah tangga mengalami hal hal yang tidak mereka inginkan, dan parahnya lagi berbagai cobaan harus mereka hadapi dengan penuh kesabaran.

Namun, jika ditinjau dari sudut pandang islami. Pernikahan Nabi dengan Siti Khadijah saja dilaksanakan pada bulan Shafar. Toh, ketika nanti ada seseorang yang melakukan pernikahan di bulan Shafar, bukannya malah mendapat kesunnahan Ittiba’ ila fi’li an-Nabi al-Musthafa?

Mencuplik kisah pernikahan beliau. Ketika Nabi bekerja untuk memperdagangkan barang milik Sayyidah Khadijah di daerah Syam yang kala itu ditemani oleh Maisyarah khadim dari Sayyidah Khadijah. Nabi memperoleh laba yang melimpah dalam menjajakan dagangannya. Kepiawaian beliau dalam berdagang menjadikan Khadijah untuk melibatkan beliau dalam seluruh transaksi bisnis.

Pada akhirnya, saat beliau menginjak usia 25 tahun, Sayyidah Khadijah resmi sebagai istrinya yang kala itu telah berkepala empat. Momen bahagia, dan haru menghiasi seluruh penjuru dunia. Sosok agung yang menjadi utusan seluruh alam menemukan hakikat cinta yang tak akan pernah terlupakan dalam sepanjang hidupnya. Dengan mas kawin 20 ekor unta muda, yang setara kurang lebih 1,3 miliar jika dikurskan dalam nominal rupiah.

Satu sisi lain, beliau menikahkan putrinya Sayyidah Fatimah az-Zahra dengan Sayyidina Ali juga pada bulan Shafar. Sehingga, para Fuqaha’ menjadikan bulan Shafar sebagai satu dari lima bulan yang baik untuk melaksanakan pernikahan.

Nah, sudut pandang Jawa dan sudut pandang islami jika dikerucutkan pada permasalahan waktu pernikahan, maka akan bertentangan. Orang Jawa meyakini bulan Sapar sebagai bulan yang penuh dengan hal-hal sial, maka tak diragukan lagi jika mereka enggan untuk melaksanakan akad pada bulan tersebut.

Berbeda halnya dengan kaum muslim, yang antusias melaksanakan akad pernikahan pada bulan Shafar. Karena mereka menganggap tujuan menikah adalah kebaikan, bukannya kezaliman. Tak perlu meninjau waktu untuk melakukan kebaikan. Selama kita masih sanggup untuk melakukannya, mengapa harus ditunda?


Ditulis oleh Moehammad Nurjani, Mahad Aly Pondok Pesantren An-Nur II Al-Murtadlo