Oleh: Seto Galih P*
Berkenaan dengan makna wasathiyyah, dalam kitabnya Ibnu ‘Asyur mendefinisikan kata ”wasath” dengan dua makna. Pertama, definisi menurut etimologi, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Kedua, definisi menurut terminologi bahasa, makna wasath adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan dalam hal tertentu.
Adapun makna ”ummatan wasathan” pada surat al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil dan terpilih. Maksudnya, umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah swt. telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi ”ummatan wasathan”, umat yang sempurna dan adil yang menjadi saksi bagi seluruh manusia di hari kiamat nanti.
Islam merupakan syariat yang komprehensif. Ia bukan saja mengatur hubungan antara pencipta dengan makhluk, bahkan hubungan sesama makhluk turut dititikberatkan. Hubungan sesama makhluk ini termasuk hubungan antara muslim (orang Islam) dengan non muslim (orang yang bukan Islam). Dalam menghadapi era kemajuan masa kini, hubungan sosial antara orang Islam dengan yang bukan Islam menjadi semakin kompleks. Hubungannya bersifat pasang surut. Berbagai isu serta salah paham timbul. Skenario ini menyebabkan tercetusnya perselisihan paham serta konflik dan menguji tahap hubungan sosial antara orang Islam dengan orang bukan Islam.
Dalam konteks Malaysia, konflik antara agama adalah senada dengan konflik antara etnik dan kaum. Ini karena penentuan agama secara definitif berkait rapat dengan jenis etnik dan kaum. Secara umum, dalam berinteraksi dengan non muslim, terdapat beberapa pendekatan utama. Ada yang terlalu keras hingga menafikan sembarang hubungan baik dengan non muslim yang mana mereka dianggap sebagai kafir harbi (boleh diperangi) dan ada yang terlalu lembut membina hubungan yang rapat dengan mereka. Diantara dua pendekatan yang ekstrem ini, pendekatan wasathiyah (tengah-tengah) merupakan manhaj (metode) yang sederhana dalam berhubungan dengan non muslim.
Pendekatan ini menolak sikap ekstrem keras yang senantiasa berkonflik dengan non muslim dan sikap terlampau lembut yang cenderung cenderung mengamalkan pluralisme agama (semua agama adalah benar dan tidak berbeda antara penganut agama satu sama lain).
Sumber lain dari Ibnu Faris menjelaskan dalam kitab “Maqayisul-Lughah” bahwa rangkaian huruf ( و س ط ) menunjukan makna adil dan pertengahan. أعدل الشيئ (perkara yang paling adil) adalah أوسطه (yang paling tengah). Allah Swt. Berfirman, “…sebagai umat yang pertengahan.” (Al-Baqarah:143). و س ط القوم adalah kaum yang paling mulia dan paling bermartabat (Al-Hasyr : 6).
Makna wasathiyah secara istilah, adalah sebuah kondisi terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sisi/sikap yang ekstrem, sikap berlebih-lebihan dan melalaikan. Wasathiyah juga bisa diartikan dengan kondisi seimbang dan setara antara dua sisi; di mana satu sisi/ aspek tidak melampaui aspek yang lain; sehingga tidak ada yang berlebihan dan tidak pula melalaikan, tidak melampaui batas dan mengurangi. Namun, makna wasathiyah adalah sikap mengikuti yang lebih utama, lebih pertengahan, lebih baik dan lebih sempurna.
Makna dari wasathiyah itu sendiri adalah secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam buku ‘Mufradât Alfâzh Al-Qur’ân’ menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.” Istilah wasathiyah ini biasanya digunakan dengan menggunakan dasar dalil dari Q.S Al-Baqarah: 143 sebagai berikut:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Yang artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam); umat pertengahan (yang adil dan pilihan)[4] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya melainkan agar Kami mengetahui[5] siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang[6]. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah[7], dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu[8] [9]. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, “Kata Wasathiyah juga diungkapkan dengan istilah tawazun (seimbang). Yang kami maksudkan adalah bersikap tengah-tengah dan seimbang
antara dua aspek yang saling berseberangan; di mana salah satu aspek tidak mendominasi seluruh pengaruh dan menghilangkan pengaruh aspek yang lain; di mana salah satu aspek tidak mengambil hak yang berlebihan sehingga mempersempit hak aspek yang lain.
Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi. Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi SAW, bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil. Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu (QS Ali Imrân [3]: 110):
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Yang bermaksud: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Ketiga, wasath berarti yang paling baik. Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang baru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama) (Tafsîr Al-Râzî, Jilid. II, hal. 389-390).
*Siswa Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah Tebuireng Jombang.