“Hari Jumat, menjelang saya menyampaikan khutbah (masjid di lampung), terkirimlah kabar melalui BBM bahwa KH. M. Ishaq Latief telah dipanggil menghadap Ilahi Rabbi. Hari itu merupakan saksi sejarah, perpisahan sang “Pencinta Ilmu” dengan ribuan santri yang masih haus dengan kesejukan ilmu beliau.”
Alangkah indahnya, jika bisa terus bersama sosok seperti KH. Ishaq Latif, tenang dan menyejukkan hati dan jiwa. Jikalau umur bisa ditawar layaknya sim card HP yang bisa diperpanjang masa aktifnya, mungkin saja santri Tebuireng minta diperpanjang hingga unlimited. Inilah takdir. Seperti yang sering beliau ungkapkan bahwa manusia ibarat pewayangan yang eksistensinya ditentukan oleh seorang dalang yang maha memiliki. Memang, saya bukan termasuk santri lama, yang bisa bersua dengan beliau (alm.KH.Ishaq Latief) karena baru tahun 1999 masuk Tebuireng.
Waktu itu situasi pondok masih kental dengan bangunan-bangunan tradisional sehingga ketika malam hari agak terlihat menyeramkan,maklum masih santri baru. Di awal perjalanan mondok,saya baru tau itupun info dari kakak kelas bahwa setiap ba’da isya ada pengajian kitab kuning, kiyainya sepuh tapi kocak abis. Dari situ saya penasaran masa ada kyai mbanyol sih. Malam pertama saya ikuti walupun belum punya kita nya, seingat saya waktu itu nama kitabnya ‘Tanqihul Qaul’. Pengajian yang unik, dengan suara menggelegar, perserta membanjir hingga ke pinggir kali depan pondok, ditambah banyolan yang khas sehingga membuat peserta pengajian terkesan hidup.
Setidaknya ada beberapa ciri khas beliau yang membuat dirinya menjadi kharismatik. Pertama, Istiqomah. Beliau sosok yang istiqomah, setiap hari setelah isya beliau rutin ngisi pengajian kitab,walaupun pesertanya pasang surut, bahkan tertidur. Kata beliau Sing penting ngurip-nguripi pesantren, ono bedone kuburan lan pondok. selain itu beliau juga punya jamaah di tempat kelahirannya sidoarjo.
Libur pengajian hanya malam selasa n jumat,atau mungkin ada undangan tausiyah, selebihnya beliau aktif terus, Seingat saya beliau tidak pernah meliburkan pengajian kalau hanya urusan remeh umpama ada final sepak bola, apalagi pura-pura sakit. Bahkan kalau sakit pun masih dipaksakan untuk ngaji. Dan terakhir ketika sakit keras itulah libur terpanjang sepanjang pengajian berlangsung. Kedua, sederhana. Gaya yang sederhana beliau hampir sering mengecoh santri, dengan baju khas lengan pendek, dengan percaya diri sambil menggoes sepeda ontel kesayangannya,walau sesekali bergaya anak muda dengan motor mega pro nya. gaya itu tidak memperlihatkan bahwa beliau seorang kyai yang alim. Sering santri terkecoh temasuk penulis ketika berpapasan dengan beliau antara pasar cukir dan pondok justru beliau lah yang menyapa duluan.
Tetapi perlu dicatat ketika beliau mau tampil ceramah beliau benar-benar perfeksionis, mulai warna dan kesesuain pakaian beliau sangat hati-hati dalam mengenakan, “tampil dimuka umum harus menarik dan berwibawa” ujar beliau. Selain itu urusan makan pun tidak ingin selalu makan mewah n mahal, yang rutin tempe atau tahu plus teh manis satu gelas besar. Ya sesekali makan daging ayam biasanya sate H. Fakih I dan II langganannya.
Dan menurut beberapa sumber beliau pun dengan wong cilik seperti akrab dengan tukang becak yang biasa transit depan pondok maupun pasar cukir, hampir semua kenal beliau. Ketiga, Disiplin dan kerja keras. Beliau sangat menghargai waktu, terutama berkaitan dengan ilmu, tiada kata lain selain belajar dan belajar, bahkan beliau menuturkan sendiri termasuk gila sepak bola, tapi beliau rela meninggalkan hobinya demi ilmu. Suatu ketika saya sowan setelah pengajian rutin, lagi ngobrol asyik-asyiknya, beliau langsung minta maaf pada beberapa santri yang kebetulan lagi sowan juga, untuk mengakhiri obrolan karena sudah waktunya mutholaah. Dalam bahasa manajemen beliau mampu menentukan mana sekala prioritas mana yang sekedar senang-senang. Bagaimana dengan kita, pilih ilmu atau hobby,lanjut ngobrol atau belajar?
Keempat, Bijaksana. Sikap yang satu ini mungkin jarang dimiliki oleh Kyai sepuh lainya, salah satunya tampak ketika menyampaikan pengajian, mengingat peserta pengajian di Tebuireng berasal dari berbagai daerah tentu kemampuan bahasa bervareasi (jawa, sunda, madura, sumatra, bali, papua, kalimantan dll) walau kebiasaan beliau terbiasa bahasa jawa,tapi beliau lebih memilih bahasa Indonesia kombinasi Jawa. Beliau lebih berfikir bukan selesainya kitab, tapi bagaimana isi kitab dimengerti oleh santri yang lintas kultur dan bahasa. Inilah yang di sebut dalam dunia pendidikan sebagai pendidikan transformatif. Tidak kalah hebatnya ketika beliau di ingatkan oleh santri, saat beliau keliru membacanya, beliau terima dengan lapang dada serta spontanitas beliau ucapkan ‘matur suwun mari ngene mangan’ (terima kasih habis ini makan), jawabnya dengan santai. Ini dalam konsep pendidikan disebut pendidikan partisipatif. Sungguh hebat, tak mengenyam dunia perkuliahan, tapi beliau lebih dulu mengamalkannya.
Ketujuh, Humoris. Keceriaan selalu ada disaat pengajian, ini yang membuat peserta gayeng ngaji dengan beliau, meskipun ngantuk sekejap bisa tidak ngantuk lagi. Gimana mau ngantuk setiap banyolan reaksi santri sangat histeria ada yang teriak, tiup peluit, terompet, pukul ember, almari dll. Entah mengapa sampai begitu, tapi itu faktanya. Andaikata setiap guru bisa membangkitkan gairah belajar seperti beliau, maka guru dan santri akan harmonis, mungkin saja tidak akan ada kekerasan dalam proses pendidikan, apalagi cambuk. Kedelapan, Loyalitas Tinggi. Mendengar dan melihat transaksi wakaf tanah untuk pondok, musholla, masjid dan panti asuhan sudah biasa. Tapi jarang yang melihat mewaqofkan dirinya untuk sebuah lembaga. Tapi beliau dengan tulus dan ikhlas mewakafkan sepanjang hidupnya untuk Pesantren Tebuireng, dan ini beliau proklamirkan pada saat penutupan pengajian Pesantren Ramadhan tahun 2010, waktu itu disaksikan oleh Gus. Sholah yang baru menerima tampuk kepengasuhan, dan ribuan peserta pengajian.
Memang tidak formal menyampaikannya, melainkan dengan gaya guyonan beliau yang ringan dan santai. Tapi bagi saya itu udah cukup untuk menggambarkan bahwa beliau adalah milik Santri Pesantren Tebuireng. Bukti cukup banyak, salah satunya disaat pra guru, pejabat ramai-ramai minimal kenaikan gaji, dan pangkat. Beliau tidak pernah demo, atau usul kepengasuh minta hal itu, tapi justru beliau lebih giat dan introspeksi diri, apakah sudah banyak yang disumbangkan untuk santri Tebuireng?. Maka benar ada ungkapan “jangan berfikir berapa banyak yang diperoleh,melainkan seberapa besar yang telah disumbangkan”.
Kedelapan, Alim dan pencinta ilmu. Ajining diri dumu ing lati, ajining rogo soko busono. Ini yang beliau amalkan, maksudnya setiap beliau mengisi pengajian, dan berbicara di masyarakat semua ada dasar pijakannya. Kemudian beliau sosok yang kokoh prinsip dan mentalnya. Beliau rela meninggalkan kesenangan-kesenangan yang umumnya dicari dan dirasakan semua orang. Disaat seorang laki-laki harus berkeluarga, bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya. Beliau justru semakin mesra bersama tumpukan-tumpukan kitab kuning, buku, majalah, koran, serta ditemani pena yang selalu ikut disakunya, itu semata-mata demi keluasan ilmu santrinya.
Selamat jalan guru ku, semoga kita berjumpa lagi, seperti titah engkau pada kami “anta ma’a man ahbabta”. (kamu sekalian akan berkumpul dengan orang yang kamu cintai), jika badan dapat berasua, niscaya mungkin materi bisa ku bagi, namun karena badan tak mungkin jumpa, hanya doa yang ku panjatan. Kami akan selalu berdoa, hanya ini yang bisa kami berikan, walaupun kami yakin tanpa do’a kami dengan amal dan keikhlasan yang engkau dedikasikan selama ini, itu sudah cukup untuk mendapat balasan yang terbaik dari sang Dalang Alam Semesta. Mengutip sastrawan asal madura Zawawi Imron, jangan terlena dengan asapnya sejarah, tapi jadilah apinya sejarah, yang mampu menjadi pembakar semangat kita, terlmpau banyak keshalihan beliau, pilihannya apakah kita jadikan asap atau apinya sejarah?
Imam Subhi, Alumnus PP. Tebuireng, kini tinggal Bandar lampung, 28 februari 2015