Sumber gambar: www.arrahman.id

Oleh: Fathur Rohman*

Pendidikan merupakan kebutuhan yang primer bagi siapa saja, karena ia merupakan modal bagi seseorang untuk mengarungi kehidupan, sehingga mulai anak kecil sampai orang dewasa berusaha keras untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Lembaga pendidikan seperti sekolah merupakan salah satu institusi yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas berat ini, karena ia tidak hanya dituntut untuk mencetak manusia yang pandai dan terampil saja, tetapi juga memiliki karakter yang baik.

Bila kita mengamati sekolah sekolah penyelenggara pendidikan, kita temukan dua model sekolah dalam pengelompokan kelas belajarnya, yang pertama adalah sekolah yang menempatkan peserta didik laki-laki dan perempuan dalam satu kelas yang sama, dan yang kedua adalah sekolah yang mengelompokkan peserta didik laki-laki di satu kelas dan mengelompokkan peserta didik perempuan di satu kelas yang berbeda.

Sekolah yang menempatkan peserta didik laki-laki dan perempuan di satu kelas yang sama pada umumnya adalah sekolah-sekolah yang tidak berada di lingkungan pesantren, sedangkan sekolah-sekolah yang memisahkan antara kelas peserta didik laki-laki dan peserta didik perempuan di kelas yang berbeda pada umumnya adalah sekolah-sekolah yang berada di lingkungan pesantren.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bagi sekolah yang menempatkan peserta didik laki-laki dan perempuan di satu kelas yang sama berdalih bahwa laki-laki dan perempuan itu punya hak dan kewajiban yang sama, maka tidak boleh dibeda-bedakan, selain itu adalah alasan yang berasal dari isu luar negeri yaitu persamaan gender, emansipasi, dan lain sebagainya. Ada juga yang memberi alasan kalau sekolah model memisah antara peserta didik laki-laki dan perempuan dalam kelas yang berbeda sudah tidak zamannya lagi, atau alasan lokalitas yang mengatakan bahwa kalau dipisah nanti anak-anaknya kurang semangat belajar dan gurunya kurang semangat mengajar, selain itu masih banyak lagi alasan yang lainnya.

Sedangkan sekolah yang memisahkan antara peserta didik laki-laki dan perempuan ke dalam kelas yang berbeda biasanya dituduh karena alasan menegakkan ajaran Islam, padahal sebenarnya tidak hanya soal alasan hukum-hukum Islam atau seputar dalil-dalil ayat Al Quran, hadits, dan fiqih para ulama saja, melainkan lebih dari itu.

Diantara alasan lain pemisahan kelas laki-laki dan perempuan itu adalah karena alasan fitrah manusia di mana laki-laki dan perempuan memang sejak dilahirkan berbeda, mereka memiliki anatomi yang berbeda yang tentu saja bukan hanya bentuk fisiknya saja yang berbeda, melainkan psikisnya juga berbeda.

Sebagi contoh anak laki-laki memiliki berat otak 1400 gram sedangkan perempuan memiliki berat otak 1250 gram. Perbedaan ini akan mempengaruhi tingkat kemampuan berfikirnya. Bagaimana mungkin otak yang menjadi pusat menerima dan mencerna pelajaran yang jelas jelas berbeda disamakan di kelas dengan cara menempatkan peserta didik laki-laki dan perempuan dalam satu ruang yang sama, mendapatkan muatan pelajaran yang sama, dievaluasi, dan dinilai dengan cara yang sama, padahal jelas-jelas secara konstruksi otaknya berbeda.

Selain itu, menurut tingkat emosinal mereka juga berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan, di mana anak perempuan lebih mengedapankan prasaannya sedangkan anak laki-laki lebih kepada tindakannya. Bagaimana mungkin akan lebih efektif pembelajaran dalam satu kelas yang sama, sementara di sana ada dua kelompok peserta didik yang sangat berbeda gaya personalnya, kemudian mereka diajar dengan gaya mengajar yang sama oleh seorang guru karena mereka sama-sama berada di dalam satu ruang kelas, sehingga terkadang kita jumpai ada guru yang berkata anak laki-lakinya suka rame, bikin gaduh, dan anak perempuannya nurut-nurut. Padahal sebenarnya memang fitrahnya begitu, anak laki-laki memang kecenderungan otaknya begitu mereka lebih suka bergerak atau menggerakkan sesuatu, sedangkan anak perempuan tidak.

Selain itu, ada beberapa mata pelajaran yang memang dianggap tabu secara adat ketimuran untuk dijelaskan di hadapan peserta didik laki-laki dan perempuan ketika mereka sedang berkumpul dalam satu tempat, namun tidak dianggap tabu lagi ketika disampaikan kepada peserta didik laki laki saja atau peserta didik perempuan saja, seperti masalah pernikahan, pembuahan, adab muasyarah, proses kelahiran, cara bersuci dari hadats besar, dan lain-lainnya.

Inilah beberapa alasan kenapa para ulama dulu lebih memilih memisahkan antara laki-laki dan perempuan di kelas yang berbeda ketika belajar, tentu akan sangat lebih bijaksana secara fitrah mereka tetap dibedakan, bukan membedakan hak dan kewajiban di antara mereka, tetapi membedakan cara memproses mereka dalam dunia pendidikan sebagaimana para ulama dulu yang berusaha menjaga fitrah antara laki-laki dan perempuan dengan cara menempatkan mereka di kelas yang bebeda agar mereka bisa mencapai hasil belajar yang lebih maksimal sesuai fitrahnya.

Ternyata sejak beberapa tahun yang lalu, di negara-negara barat telah banyak sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan dengan cara memisah antara laki-laki dan perempuan di kelas yang berbeda, setelah mereka melakukan penelitian bertahun-tahun tentang hal itu dan hasilnya menunjukkan bahwa memisah antara anak laki-laki dan perempuan di kelas yang berbeda dalam pendidikan dapat mencapai hasil pendidikan yang lebih maksimal. Walaupun demikian, sampai saat ini, masih banyak ditentang oleh para pendukung gerakan gender karena dianggap melanggar undang-undang yang telah diputuskan pada zaman dahulu.

Terkadang kita merasa heran, saat kita berusaha mencontoh metode pendidikan mereka dan menganggap metode pendidikan kita telah ketinggalan zaman, ternyata mereka berbalik memperaktikkan apa yang para pendahulu kita lakukan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, seperti dalam masalah di atas.


*Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng.