tebuireng.online– Sosok Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub telah pergi menuju ke alam keabadian(28-04-16). Namanya sangat harum, ilmunya luas, utamanya dalam bidang ilmu hadis. Beliau yang alumnus Pesantren Tebuireng mengikuti jejak pendirinya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dikenal ahli hadis. Kepakarannya dalam ilmu hadis ini menghantarkannya menjadi salah satu orang yang amat disegani di republik ini. Wajar juga jika pernah mendapatkan amanah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
Sebagai seorang pengajar, guru, dan kiai di Pesantren Darus Sunnah, tentu menimbulkan kesan mendalam bagi santri-santrinya. Kenangan yang tidak bisa dipisahkan dari ingatan, tentang seorang guru, kiai, dan tokoh agama yang menjadi tauladan para santri. Berikut ungkapan tiga santri Pesantren Luhur Darus Sunnah, Juman Rofarif, Alvian Iqbal Zahasfan, dan Dr. H. Arya Bagus Aji Shofin, mengenang Almarhum Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub.
“Saya berhasil masuk ke pesantren luhur asuhan Pak Kiai di antaranya karena kebaikan Gus Haidar Idris dari Jember. Waktu dipanggil ke ndalem, Pak Kiai tanya asal saya. ‘Brebes,’ jawab saya. ‘Brebes mana?,’ tanya Pak Kiai lagi. ‘Jawa Tengah,’ jawab saya. Haiyyah! Waktu itu saya agak segan di hadapan Pak Kiai hingga bikin saya salah tingkah dan akhirnya salah jawab. ‘Brebes Jawa Tengah Indonesia, kan?,’ kata Pak Kiai. ‘Maaf, maaf! Brebesnya di Bumiayu, Linggapura,’ kata saya. Pak Kiai Ali dari Batang, tetanggaan agak dekat dengan Tegal dan Brebes. Jadi cukup bodoh jika saya menjawab Brebes Jawa Tengah,” tutur Juman Rofarif, salah satu santri beliau di Darus Sunnah.
Juman juga mengatakan, di pondok, Kiai Ali Musthofa Ya’kub amat disegani. sebagai seorang pengasuh selalu menanamkan akhlak terpuji dan kedisiplinan. “Pak Kiai akan meminta berwudu kepada santri yang ketahuan ngantuk saat pengajian subuh. Jika sudah wudu kemudian masih ngantuk juga, biasanya santri akan disuruh berdiri di depan. Pengajian subuh dilakukan secara lesehan. Jadi jika ada santri yang dihukum berdiri otomatis jadi tontonan santriwan dan santriwati. “Betapa beliau menjunjungtinggi norma sosial di pondok guna memberikan pelajaran kepada santrinya untuk menjadi baik.
Santri beliau yang lain, Alvian Iqbal Zahasfan mengatakan, bahwa Kiai Musthofa Ya’kub adalah sosok yang alim, istiqomah, tegas, tawadhu’ dan memilki kepercayaan diri yang luar biasa. Sosok kyai penulis yang produktif. “Setidaknya buku beliau yang terbit ada 49 dan satu buku beliau yang belum terbit dalam bahasa Arab,” cerita alumnus Darus Sunnah tahun 2005-2009 itu.
“Kemarin sekitar tanggal 25 April 2016 saat saya pulang ke Indonesia dan sowan ke beliau saya dihadiahi bukunya yang belum diterbitkan judulnya “At-Thuruq As-Sahihah fi Fahmi As-Sunnah An-Nabawiyah”. Lalu saya sampaikan kalau saya mohon izin ingin mencoba menawarkan penerbitannya ke penerbit-penerbit di Dunia Arab khususnya Maroko dan Beirut. Lalu beliau mengizinkan. Mohon doanya kawan-kawan semua semoga buku beliau bisa diterbitkan di Dunia Arab,” lanjut Rais Syuriah PCINU Maroko itu.
Ia merasa bersyukur pernah nyantri kepada beliau dan mengaji Kutubus Sittab (enam kitab induk hadis) bakda shubuh yang diasuh langsung oleh beliau. Bedanya dengan sekarang karena beliau sudah lanjut usia hanya mengajar Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, kitab lainnya diajarkan oleh para Musyrif. “Perbedaan yang menarik yang saya lihat para santri yang ngaji dan shalat jamaah sekarang harus memakai baju putih dan peci putih. Itu bagus dan mungkin kebijakan Pak Kiai. Putih itu bersih,” tungkasnya.
Ia menuturkan, dalam pengajian Kutubus Sittah beliau bukan hanya mengajar tapi juga mendidik, contohnya ketika ada yang tidur beliau panggil namanya dan dihukum dengan berbagai hukuman; berdiri, wudhu, membaca suatu kalimat sampai 10 kali dan lain sebagainya. Terkadang beliau juga bercanda saat mengabsen nama-nama santrinya ataupun saat membahas suatu pembahasan kemudian si santri keliru menjawab.
Pesan yang terbanyak dan tersering yang ia dengar dari beliau adalah “Wala tamutunna illa wa antum katibun”, artinya jangan kau mati kecuali jadi penulis. Pesan beliau ini terinspirasi dari QS. Ali Imran: 102 “Jangan kau mati kecuali kau muslim”.
Shalat berjamaah menurut beliau adalah merupakan penilaian selain kepandaian secara intelektual dan tentunya ketaatan dalam mematuhi aturan Pesantren Darus Sunnah. Beliau membagi aktifitas santri di pesantren menjadi tiga: Dirasah, Jamiyah, dan Tasliyah.
Dirasah artinya bahwa belajar harus diprioritaskan dari kegiatan lain dan menjadi yang paling utama. Jamiyah artinya bahwa organisasi perlu diikuti tapi dia harus tunduk di bawah kepentingan dirasah. Maka jika ada kumpul-kumpul organisasi yang bertabrakan dengan dirasah maka kumpul-kumpul itu harus ditinggalkan. Tasliyah artinya rekreasi, bagi beliau tasliyah ‘haram’ hukumnya mendahului dirasah dan jamiyah. Tetapi jika melulu dirasah dan jamiyah tentu membuat penat, maka beliau persilahkan santrinya rekreasi atau wisata ke tempat-tempat yang indah dan menyenangkan.
Dr. H. Arya Bagus Aji Shofin, salah satu alumnus Darus Sunnah, juga mengingat betul perintah untuk memiliki karya tulis tersebut. Sepengetahuannya, jargon “Wa la tamutunna illa wa antum katibun” sering disampaikan oleh belau. “Yang sering beliau contohkan adalah istikamah shalat berjamaah dan menjaga kebersihan,” ungkap alumnus Maroko tersebut.
Soal kebersihan dan kesehatan santri, beliau sangat detail dan teliti. Sampai-sampai, warna handuk santri kecil, tingkatan tsanawiyah kelas satu saja, beliau minta warnanya disamakan dan dicantumkan nama pemiliknya, agar tidak terkena penyakit kulit. Hal itu adalah bentuk perhatian beliau terhadap kenyaman, kebersihan dan kesehatan santri.
Pukul 06.00 WIB pagi tadi (28/04), sosok kharismatik, alim, santun, tawadhu’, perhatian terhadap santrinya, ahli hadis, pecinta Rasulullah, dan panutan umat itu telah tiada, berpulang ke rahmat Allah, menuju ketenangan tiada tepi. Selamat Jalan Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub! (abror)