Oleh: Wilda Chovivah Allaily*
Saat ini matahari sedang terik-teriknya bahkan jika kain basah diletakkan di bawah teriknya akan kering seketika. Dan lihatlah, dari ujung jalan sana, terlihat seorang yang umurnya sekitar lima puluhan tahun mendorong gerobak sayur. Mak Kus panggilannya.
“Yur sayur!” teriaknya lantang berharap ada orang yang membeli dagangannya. Biasanya hari libur seperti ini sepi, orang lebih memilih berbelanja sendiri ke pasar atau supermarket. Akhirnya Mak Kus pulang dengan sisa sayur yang beberapa sudah layu.
Mak kus memarkirkan gerobaknya di halaman rumah seraya memanggil Elis, putri semata wayangnya.
“Elis, bantu mamak nak!” Mak Kus duduk di pelataran sambil mengibas wajahnya dengan kipas yang selalu ia selipkan di gerobak.
“Iya, bu,” Elis ke luar dari dalam, segera menurunkan dagangan ibunya yang sudah tidak bisa dijual dan menata yang masih bisa dijajakan besok. Di sela letihnya Mak Kus menghitung hasil jualan hari ini, dari pintu Elis keluar dengan secangkir kopi susu kesukaan mamaknya.
“Elis, ini untuk jajanmu besok.” Diserahkanya lima ribuan kepada Elis.
“Maaaak, Elis dua hari ini belum masukin uang ke celengan,” kata Elis sambil cengegesan. Tahu maksud purinya Mak Kus kembali menyerahkan selembar lima ribu.
“Yeeey! Terima kasih Mamak. Elis mencium mamaknya kemudian berlari ke dalam, Mak Kus tersenyum. Pasalnya dengan kedaan ekonomi yang semakin minim semenjak kepergian bapak Elis empat tahun lalu Mak Kus harus bekerja ekstra tapi putrinya tidak pernah menuntut ini itu seperti kebanyakan anak seumurannya, bahkan dengan uang seadanya dia masih mau menyisihkan untuk menabung.
Di kamar selepas memasukna uang lima ribu ke dalam celengan, terbesit dalam benaknya untuk menghitung uang di celengannya. Elis membuka tutup kaleng yang ia gunakan untuk menabung.
“Tujuh ratus…”
BRAAKK!
Terdengar benda besi menabrak dengan keras dari luar, takut terjadi apa-apa Elis langsung berlari. Dari arah dapur ternyata Mak Kus juga terbirit melihat ke luar.
Ternyata ada kecelakaan di depan rumah mereka. Korbannya kakek yang tertabrak sepeda motor. Beberapa orang berusaha membantu menghubungi ambulans sementara itu pengendara motor berusaha kabur dan dan tidak luput dari pengejaran warga.
Suasana mulai ramai, terdengar sirine mendekat. Sang kakek pun di masukan ke dalam.
“Siapa keluarga kakek ini?” Tanya salah satu petugas sebelum membawa pergi kakek. Dari banyaknya gerombolan tidak ada yang mengaku keluarganya. Mungkin saja kakek itu berasal dari wilayah luar. Tidak tega melihat kakek yang terkulai lemas dengan darah di sekitar tubuknya Mak Kus mengajukan diri sebagai keluarganya, Elis yang bingung ikut masuk ke dalam ambulans.
Sampai di rumah sakit kakek langsung di bawa ke UGD karena kondisinya sangat lemah. Seorang susuter mendekati Mak Kus.
“Maaf, ibu keluarga dari kakek?” Mak Kus masih bingung, Elis mendekati mamaknya.
“Begini ibu, jika tidak ada yang bertanggung jawab registrasi pasien. Maka tidak ada tindak lanjut,” Mak Kus semakin kaget. Bagaimana nasib kakek kalu tidak segera ditangani?
“Memangnya berapa registrasinya sus?” Elis memikirkan bagaimana mamaknya membayar registrasi rumah sakit sementara akhir-akhir ini dangannya sepi.
“Untuk Awal ibu cukup membayar 1 juta, untuk selanjutnya kami akan menghubungi pihak keluarga.” Mak Kus terbelalak. Akankah dia yang menandatangi kertas yang diajukan suster sementara dia tidak memiliki uang sebanyak itu.
Elis melihat kebingunagn di wajah mamaknya. Dia ingat baru saja membuka celengannya. Langsung Elis menyuruh ibunya menandatangani. Kemudian dia berpamitan untuk pulang mengambil uangnya karena jarak rumah sakit dengan rumahnya masih bisa ditempuh dengan jalan kaki.
Sampai di rumah, Elis mengambil semua uangnya. Dalam hatinya masih menyayangkan uangnya. Karena dia ingin mengurangi beban mamaknya untu melanjutkan ke sekolah menengah atas, tapi untuk waktu ini yang lebih membutuhkan, Elis membuang keraguannya.
Dengan nafas yang tersenggal elis menyerahkan uangnya kepada sang mamak.
“Uang apa ini Lis?”
“Tabungan Elis mak, nggak apa-apa. Kakek itu lebih membutuhkan, besok Elis bisa nabung lagi.” Mak Kus terenyuh, tanpa pikir dua kali Mak Kus segera memberikan uangnya dan kakek mulai ditindaklanjuti.
Setelah beberapa jam menunggu, Elis memilih pulang karena hari sudah mulai larut. Dan Mak Kus memlih menunggu sang kakek selesai juga keluarga kakek yang tak kunjung datang.
Jam menunjukan pukul delapan. Elis belajar pelajaran untuk persiapan ujian. Tiba-tiba seorang menggetuk kuat pintu rumahnya. Elis buru-buru membuka pintu.
“Alhamdulillah nak…!! Alhamdulillahh..!” Mak Kus histeris sambil memeluk Elis.
Elis bingung kemudian menyuruh mamaknya duduk. “Ada apa mak? Bagaimana keadaan kakek tadi?” Mak Kus menceritakan semua dengan rinci. Tak terasa air mata Elis jatuh mengikuti tangis mamaknya yang sudah dulu pecah.
Ternyata keluarga dari sang kakek adalah orang ternama, anaknya seorang pengusaha dan salah seorang anggota pemerintahan. Untuk mengucapkan rasa terima kasih atas bantuanya kepada kakek, salah satu anak dari kakek tersebut akan membiayai sekolah Elis hingga sarjana.
Beruntunglah Elis atas keikhlasan dan kesabarannya. Elis mencium tangan mamaknya dan mengajak sang mamak bersujud kepada Yang Maha Kuasa atas apa yang dilimpahkanNya.
*Penulis adalah Siswa Madrasah Aliyah Perguruan Muallimat dan Santri Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.