ilustrasi

Max Weber, seorang sosiolog Jerman abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia merupakan salah satu tokoh penting dalam ilmu sosiologi. Weber mengembangkan teori tentang berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk agama dan lembaga-lembaga keagamaan. Maka dalam klasifikasi diskursus sosiologi, Weber tergolong dalam diskursus sosiologi agama.

Sebagai fakta atas laku keagamaan, pesantren memiliki sisi unik tersendiri jika dilakukan kajian sosio-kultural. Pasalnya, keterpisahan sistem dengan dunia luar diamini pesantren sendiri. Dengan kata lain, pesantren memiliki sistem sendiri dan berpisah dengan realitas di luar pesantren.

Pesantren sebagai Lembaga Keagamaan dan Otoritas

Dalam perspektif Weber, pesantren dapat dipahami sebagai lembaga keagamaan yang memiliki otoritas sosial. Otoritas adalah kemampuan untuk mempengaruhi tindakan dan perilaku orang lain berdasarkan pengakuan atas status atau posisi yang dimiliki. Pesantren sebagai lembaga keagamaan memiliki otoritas moral dan spiritual atas para santri, guru, dan anggota komunitasnya. Sedikitnya Weber memiliki konsepsi ‘otoritas’ yang dibedakan menjadi tiga yakni, otoritas tradisional, otoritas karismatik, otoritas legal-reasional.

Pertama, otoritas tradisional. Weber menyebut tipe otoritas tradisional muncul dari tradisi dan ketokohan leluhur (Hansen, 2001). Dalam pesantren, otoritas tradisional dapat dilihat dari peran kiai atau guru yang disegani di pesantren yang sangat dihormati dan diakui oleh santri sebagai pemimpin spiritual dan intelektual. Bahkan sikap hormat atau takzim yang dilakukan oleh santri dengan kiai berbeda dengan yang dilakukan oleh masyarakat dengan kiai.

Kedua, otoritas karismatik. Tipe otoritas karismatik muncul dari karisma atau daya tarik pribadi dari seorang pemimpin yang dianggap luar biasa atau berhubungan dengan kuasa yang supernatural (Ritzer, 2012). Dalam pesantren, seorang kiai karismatik dapat mempengaruhi santri melalui kekarismaanya yang dianggap memiliki hubungan khusus dengan Tuhan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ketiga, otoritas legal-rasional Weber juga membedakan tipe otoritas legal-rasional yang berdasarkan aturan dan hukum yang sah (Mudyanto, 2019). Dalam pesantren modern, otoritas legal-rasional dapat dilihat dari struktur organisasi dan peraturan yang mengatur operasional pesantren secara formal.

Keagamaan dalam Pesantren

Melalui kacamata Max Weber, agama merupakan fenomena sosial yang mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia (Weber, 1963). Pesantren sebagai lembaga keagamaan memainkan peran penting dalam membentuk keyakinan, nilai, dan norma-norma agama di kalangan santri dan masyarakat sekitar.

Pesantren memiliki peran kunci dalam memperkuat spiritualitas dan penghayatan agama di kalangan santri. Melalui pendidikan agama yang intensif dan berbagai ritual keagamaan, pesantren membantu membangun kesadaran keagamaan yang mendalam dan mengakar di hati santri. Agama juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial di pesantren. Etika agama dan nilai-nilai keagamaan membentuk norma-norma sosial dan tindakan kolektif di lingkungan pesantren, seperti disiplin, kesederhanaan, dan rasa tolong-menolong.

Perubahan Sosial dalam Pesantren

Weber memahami perubahan sosial sebagai hasil dari interaksi antara berbagai kekuatan dan faktor sosial (Weber, 1963). Dalam konteks pesantren, perubahan sosial dapat terjadi sebagai akibat dari modernisasi, urbanisasi, atau tantangan-tantangan sosial lainnya. Beberapa pesantren mengalami proses modernisasi dalam upaya untuk tetap relevan dan memenuhi kebutuhan zaman. Modernisasi pesantren mencakup penggunaan teknologi informasi, pengajaran bahasa asing, dan diversifikasi kurikulum untuk mengatasi tantangan globalisasi. Hal ini melahirkan model-model pesantren baru seperti, pesantren modern, pesantren enterpreneur, pesantren bahasa dan lain sebagainya.

Urbanisasi dan mobilitas sosial juga mempengaruhi perubahan sosial dalam pesantren. Santri yang berasal dari daerah pedesaan atau terpencil sering kali menghadapi tantangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan perkotaan dan modern. Dalam perspektif sosiologi Max Weber, pesantren dapat dipahami sebagai lembaga keagamaan yang memiliki otoritas sosial dan mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia.

Pesantren berperan penting dalam membentuk keagamaan, norma-norma sosial, dan identitas agama di kalangan santri dan masyarakat sekitar. Perubahan sosial dalam pesantren dapat terjadi sebagai akibat dari modernisasi, urbanisasi, dan tantangan-tantangan sosial lainnya. Dalam menghadapi perubahan zaman, pesantren berusaha untuk tetap relevan dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memadukan tradisi dengan tuntutan zaman. Pesantren sebagai lembaga keagamaan yang khas di Indonesia, tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial dan agama masyarakat.


Ditulis oleh Satrio Dwi Haryono, Santri Pondok Ngeboran, Boyolali