Oleh: Rif’atuz Zuhro
Sebaris pertanyan ‘Perempuan, Mahluk atau Benda Mati?’ cukup provokatif untuk sebagian orang yang sensitif dan bias gender. Melihat realita yang marak terjadi di lingkungan sekitar bahwasanya ada beberapa tipe visual perempuan yang menunjukkan sifat keperempuanannya, dari yang berkerudung sampai yang tidak berkerudung. Dari yang memakai baju longgar sampai yang memakai baju ketat, dari yang biasa sampai yang luar biasa. Tentunya itu menurut persepsi dari masing-masing individu. Tidak jauh berbeda dengan perempuan, laki-laki pun juga banyak yang berekspresi dan bereksperimen tentang eksplorasi visual jati dirinya.
Jika membaca fenomena saat ini seni visual baik laki-laki maupun perempuan tentunya mempunyai makna yang berbeda bagi kebanyakan masyarakat sekitar. Misal, perempuan berpakaian minim dan seksi jika berada di tengah masyarakat pedesaan tentu akan menjadi bahan perbincangan dan bahkan masyarakat memberikan lebel yang negatif terhadap perempuan tersebut, terlepas itu benar dan tidaknya lebel tersebut. Jika ditarik pada kebiasaan perempuan yang berdomisili di kota, tentu pelebelan negatif tersebut tidak sekuat dengan yang dilebelkan oleh masyarakat pedesaan. Mungkin salah satu faktor perbedaannya adalah interaksi sosialnya berbeda, yang mengakar dan menjadi hukum premordial. Secara normatif, memang tidak ada larangan setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan untuk menunjukkan identitas dirinya.
Maraknya kasus perkosaan, pelecehan seksual, dll sering kali penyebab permasalahan tersebut dibebankan terhadap perempuan yang berpakaian minim dan seksi. Padahal terlepas dari pada itu, ada juga perempuan yang berpakaian sopan, berkerudung, bahkan perempuan bercadar pun juga menjadi korban pemerkosaan atau pelecehan seksual.
Sejatinya, hasrat seksual itu muncul bukan karena terbuka dan tertutupnya bagian-bagian tubuh. Tetapi lebih terhadap mindset atau pikiran dari “pelaku” dan “korban”. Jika mindset seseorang itu sudah terpenuhi dengan pornografi dan pornoaksi maka ketika ada kesempatan untuk memanifestasikan apa yang ada dalam pikirannya, maka tidak akan membuang kesempatan tersebut. Ketika perempuan hanya dijadikan sebagai objek untuk menyalurkan hasrat seksualitas maka secara tidak langsung sudah membunuh hak hidup bagi perempuan. Sebab yang namanya hidup dia mempunyai hak untuk memilih kehidupan yang lebih baik, bukan hanya sebagai barang yang bisa dinikmati, Sebab masih banyak cara yang lebih humanis untuk sama-sama saling memanusiakan manusia.
Bahwa memanusikan manusia harus dimulai dengan bagaimana kita memaknai manusia itu sendiri. Kenapa manusia diciptakan? Untuk apa manusia diciptakan di muka bumi? Tentu penciptaan manusia mempunyai alasan yang dalam tidak hanya sekadar lahir kemudian mati.
Fungsi Islam dan Al Quran diturunkan antara lain adalah untuk membebaskan manusia dari kezaliman dan ketidakadilan. Al Quran mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut tidak menimbulkan pembedaan (discrimination) antara satu dengan yang lain, sehingga menguntungkan salah satu pihak. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung terciptanya visi pokok Al Quran (antara lain) yaitu terciptanya penempatan posisi manusia yang tepat dalam kehidupan mereka, baik dalam konteks sebagai hamba, khalifah, keluarga, sosial maupun dalam konteks lain.
Pertama, posisi laki-laki dan perempuan sebagai hamba. Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdi dan menyembah kepada Allah, sesuai firmanNya dalam QS. Al-Dzariyat: 56, terjemahnya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Kedua, peluang perempuan dalam meraih prestasi kerja Allah berfirman dalam QS. Al-Nisa: 32. Terjemahnya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Ketiga, posisi perempuan dalam kancah politik (perempuan). Ayat yang secara tekstual menyatakan laki-laki adalah pemimpin atas perempuan yakni QS. Al-Nisa: 34 : Terjemahnya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri. Ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Keempat, posisi pria dan wanita dalam pendidikan. Perintah untuk membaca “iqra” sebagai wahyu pertama merupakan bukti sejarah bahwa menuntut ilmu pengetahuan melalui aktivitas membaca merupakan pintu gerbang pembebasan kebodohan dan keterbelakangan seseorang baik secara perorangan maupun kolektif. Perintah menuntut ilmu pengetahuan tidak hanya ditujukan kepada kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena memperoleh ilmu merupakan hak asasi setiap manusia. Al Quran banyak memberikan pujian kepada laki-laki dan perempuan yang memiliki prestasi dan kompetisi dalam ilmu pengetahuan di antaranya dalam QS. Al-Mujadalah:11. Guna mendukung esensi kandungan ayat pendidikan tersebut Rasulullah telah bersabda dalam hadisnya yang sangat popular. Terjemahnya: “Mencari ilmu pengetahuan adalah wajib hukumnya atas muslim laki-laki dan perempuan.”
Hadis ini secara tekstual menunjukkan bahwa pendidikan merupakan hak bagi setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Apalagi jika pendidikan itu dikaitkan salah satu tugas pokok kaum ibu, adalah sebagai pendidik anak dalam kandungan.
Artinya dalam kehidupan ini Tuhan tentu tidak menyia-nyiakan penciptaan manusia khususnya perempuan. Tentu sebagai ciptaanNya, Tuhan juga telah memberikan potensi terhadap makhluknya dan melebihkan atas yang lain. Oleh karena itu sebelum memberi lebel negatif peran perempuan, tidak ada salahnya terlebih dahulu mempelajari tentang dalil-dalil keagamaan tentang hakikat manusia.
Penulis aktif dalam kepengurusan PMII Jombang