Puisi oleh: Rif’atuz Zuhro
Jingga
Jingga, perpaduan mata Maha sempurna
Pesona alami tersirat rapi membasahi muka bumi
Ayu nan elok persembahan jari pertiwi
Lukisan petuah sejarah nenek moyang
Jingga, masih lestari abadi
Ruwatan suci hamba berserah diri, sahaya
Lahir dengan suci, begitu pun pergi, tetap Suci!
Jingga, nama sejuta cinta
Berkelok kelok menuju perabadian sempurna
Merekah sayup, dan ruwah perlahan lahan
Di sini, tempat peraduan pelabuhan kata kita
Jombang, Maret 2017
Diam
Diam, hanya bisa diam
Kedalaman, kebiruan lautan tak berarti isyarat Tuhan
Atau karam!
Karang yang parang
Layang, pandang hanya meminang masa-masa hitam
Bersuci, berdiam tanda tak melupa
Jika laku sudah tak mewakili
Jasad hanya terkunci
Bersaksi dengan keterasingan
Aku asing, usang
Berdebu tersedu-sedu
Tawanan sudah lepas, tak ada lagi yang menakutkan
Hanya hikayat yang akan tetap hayat
Meski dengan kepalang kita berperang
Tak akan ada kemenangan, apalagi kekalahan
Jombang, November 2016
Renung
Kisah nyata kusebut peluka
Kasih biru telah waktunya menguning dan merunduk
Dewasa akan segera bak padi, hanya tinggal memetik ranumnya
Esok hari bahaya karam menawar luka, Gagak bercula tak tahan ditanggung
Kuasa, lebih kuasa Sang Maha Agung
Sekuat apapun kisah tak lagi menjadi dongeng
Laila berengkarnasi berpindah dimensi menyelip datang di masa dewasa
Kuasa Rajaku lebih Mendaya
Laila tak berdaya, terbaring sendu bercucuran air hangat
Bersama lirih tak terbedayakan, entah tertipu, entah takdirnya yang malang
Akal mencapai ambang batas, logika tak dapat memutar isi
Rasa berasa terkeramasi, karsa lambat laun memudar pertahanan
Cinta tuna daksa, tak berkuasa menguasai Sang Penguasa
Penguasa memang penguasa, Berkuasa atas takdir
Menentukan garis takdir yang berliku
Memoles elok garis yang membentang jabar tenggorokanku
Menyumbat pembuluh nadi cintaku
Merenggut fana yang terabadikan
Jombang, Juni 2016
Penulis adalah wartawan Tebuireng Online yang aktif di PMII Jombang