Oleh: Salma Anindria Putri*
Mencintai dan dicintai. Cinta bagaikan partikel kecil yang hidup dan menyelinap dalam setiap kalbu insan. Cinta membutuhkan kehidupan, begitupun kehidupan pastilah membutuhkan cinta. Keduanya serupa persatuan simbiosis mutualisme yang saling erat berbagi keuntungan. Cinta membutuhkan kehidupan sebagai media ia untuk terus hidup dan tumbuh. Sedangkan Kehidupan membutuhkan cinta untuk penguat harapan setiap nafas yang bersemayam dalam tubuh.
Dalam hidup, manusia tidak akan pernah bisa alpha dari sebuah cinta. Manusia akan terus bergantung dengan cinta untuk mempertahankan kehidupannya. Mengapa begitu?
Kau tahu, sakit tapi terus bertahan? Kau tahu, dilukai tapi terus memaafkan? Kau tahu, menyembah dalam bentuk beribadah? Iya, itulah cinta. Dan Tasawuf adalah raja dari segala cinta. Tasawuf menamakannya sebagai rahmat Allah yang terus mengalir seluas samudra yang tak terbendung karunianya.
Cinta tak pernah lekang didefinisikan oleh banyak manusia, tapi tak satupun manusia yang berhasil sempurna mendefinisikannya. Sebab cinta adalah bahasa intuisi, ia adalah hati yang senantiasa berbicara.
Di dunia ini, tak satupun manusia yang berhasil hidup tanpa cinta, entah disadari ataupun tidak, nafas yang senantiasa berhembus adalah bentuk dari cinta, perjuangan untuk senantiasa hidup adalah bentuk dari cinta, dan memaafkan untuk terus tumbuh juga merupakan hakikat dari cinta.
Cinta tak selamanya tentang lawan jenis. Kadang ia juga berwajah pertolongan, memaafkan, memberi, pertemanan, persaudaraan, dan kekeluargaan. Cinta adalah sebagian dari akhlak, adab, dan tata krama yang sangat indah dan santun. Cinta akan mendorong setiap manusia untuk berani berkorban, merelakan, dan memperjuangkan.
Sebagaimana yang dikutip oleh penulis dalam kitab Hikam karya sang Ulama Sufi legendaris syekh Ibn Atthaillah As-sakandary, beliau melafadzkan qoulnya dengan begitu indah
ليس المحب الذي يرجو من محبوبه عوضا او يطلب منه عرضا. فان المحب من يبذل لك
Bukanlah seorang pecinta jika ia meminta balas, sang pecinta adalah ia yang senantiasa menyerahkan segalanya untukmu.
Qoul itu merujuk bahwa cinta adalah murni sebuah pengabdian tanpa harap pembalasan. Iya, seperti pengabdian kepada Allah, mengabdilah dalam wujud cinta yang begitu tulus, menghambalah dengan penuh cinta yang tak akan pernah pupus. Begitulah kiranya apabila cinta telah menjamah dunia tasawuf dan percintaan terhadap sang tuhan.
Begitupun cinta dalam perspektif Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Bahwa cinta adalah sebuah pengagungan dalam hati yang mencegah untuk tunduk kepada selain yang dicintai, senantiasa menomorsatukan yang dicintai, dan akan selalu ridho terhadap yang dicintai. Ibn Qoyyim berpendapat bahwa cinta akan sangat erat dengan kerinduan. Rindu adalah perasaan yang mengalir untuk terus mencari yang dicintai. Rindu akan terus berjalan mencari kekasihnya sampai ia benar menemukannya.
Kiranya sungguh begitulah perjalanan sosok pecinta tuhan yang tak berkesudahan mengagungkan asma’Nya dengan penuh cinta dan kesetiaan tiada dua. Pecinta yang selalu haus dan penuh kerinduan tak dapat tertahan untuk mencari tuhan dan bertemu menyatu dengan tuhan.
Ibn Qoyyim juga membagi rasa cinta menjadi beberapa tingkatan, tingkat pertama adalah al-‘alaqah yakni rasa ketergantungan yang berada dalam hati kepada yang dicintai. Tingkat kedua al-shababah yakni kerinduan hati yang dipenuhi perasaan untuk terus mencarinya. Ketiga adalah al-gharam yaitu cinta yang selalu melekat dihati, hidup dan berdegup dihati yang begitu dalam. Keempat adalah al-‘isyq atau perasaan dimabuk cinta asmara. Kelima adalah al-tatayyum yang berarti kepatuhan buta, tiada yang memiliki kesempurnaan selain yang dicintai.
Sementara dalam bingkai yang lain, cinta diartikan oleh para filosof, yang salah satunya adalah Paul Tillich, sosok filosof aliran eksistensialis yang berasal dari Jerman, bahwa dia mengatakan cinta adalah suatu hal yang memiliki kekuasaan penuh dalam menggerakkan kehidupan. Cinta layaknya sebuah motor utama yang menggerakkan roda kehidupan. Menurutnya, kehidupan yang disebut merupakan kehidupan nyata dunia ini.
Singkatnya, Tillich mengemukakan bahwa tiada yang abadi tanpa adanya sebuah dorongan berupa cinta. Cintalah yang menjadi sumber kekuatan, sumber pemberdayaan untuk terus hidup, maju, dan bangkit dalam menjadi kehidupan serta pengabdian kepada sang Ilahi maha pencipta alam.
Begitupun demikian, yang disampaikan Fakhrudin Faiz saat ia mengisi suatu seminar di Jombang pada 9 September 2023 silam, cinta merupakan anugerah, maka cinta adalah amanah. Proses dalam mencintai itulah yang menjadikannya berupa amanah.