Tebuireng.online- “Beberapa tahun ini kita melihat di Timur Tengah itu terjadi konflik antar warga di beberapa negara. Kita lihat di Libya, Syria, Yaman, dan Irak, bahkan beberapa itu secara de facto sudah tidak merupakan negara. Kenapa terjadi seperti itu?” ucap Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. (H.C.) Ir. H. Salahuddin Wahid dalam sambutan peringatan Haul ke-10 Gus Dur pada Sabtu malam (21/12/19).
Lanjut beliau, menurut seorang penulis dikatakan bahwa identitas kebangsaan mereka tidak di atas identitas agama, mazhab agama, atau etnis. Jadi tidak pernah terbentuk namanya bangsa yang betul-betul merasa sebagai suatu bangsa dan bisa bertahan menghadapi gelombang sejarah dunia yang memang luar biasa. “Timur Tengah itu terbentuk setelah khilafah Turki itu jatuh pada tahun 1924, kemudian Menteri Luar Negeri Inggris dan Prancis membuat kesepakatan membagi daerah itu. Waktu itu Amerika belum jadi super power,” ungkap beliau.
Tentu tidak ingin hal semacam itu terjadi di Indonesia. “Alhamdulillah, di Indonesia kita bisa memperkuat rasa kebangsaan. Dan bangsa kita ini sebetulnya ini dicetuskan pada tahun 1912 oleh seorang peranakan Belanda bernama Douwes Dekker bersama dua kawannya Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara,” ucap adik kandung Gus Dur ini.
Beliau menambahkan, bahwa kita tidak berbicara agama, ketika membicarkan bangsa itu. Baru ketika menyusun Undang-Undang Dasar, kita bicara ‘apa dasar negara’. Ada dua pilihan pada waktu itu, dasar negara Islam atau dasar negara Pancasila. Kalangan Islam menghendaki dasar negara Islam, sesuatu yang wajar pada saat itu. Malah aneh bila tokoh-tokoh Islam tidak menginginkan dasar negara Islam. Dan itu berjalan puluhan tahun dan baru selesai pada tahun 1984 ketika NU pada Muktamar di Situbondo.
“Kita sudah menerima Pancasila. Mayoritas bangsa kita menerima Pancasila. Beberapa minggu yang lalu kami mengadakan survey di empat pesantren besar di Jombang, 90% lebih menerima dasar negara Pancasila. Cuma, menafsirkan Pancasila itu beda-beda, dan ini yang harus disikapi dengan baik. Jadi kalau ingin Indonesia bertahan sampai kapan pun, maka antara Islam dan Indonesia itu tidak boleh tabrakan. Kita telah berhasil, saya mengambil istilah ‘memadukan keislaman dan keindonesiaan’, ini yang harus kita jaga. Jadi identitas keagamaan dan identitas kebangsaan berjalan seiring,” tutur beliau panjang lebar.
Gus Sholah juga menyinggung hal yang mungkin tidak diperhatikan orang. Kadang timbul perdebatan, misalnya ada yang mengatakan, ‘Kita tidak perlu mengislamkan Indonesia, tapi mengindonesiakan Islam’. Yang pertama kan mengislamkan Indonesia, Nusantara pada waktu itu namanya, dan itu sudah kita jalankan. Juga sudah terjadi mengindonesiakan Islam, dengan Undang-undang yang kita punya itu jelas ada paduan antara Islam dan Indonesia. Itu adalah sebuah capaian yang luar biasa, kita tidak perlu lagi berdebat apakah mengislamkan Indonesia atau mengindonesiakan Islam, proses itu terjadi bersama-sama.
Yang kedua, menurut beliau, kadang ada yang mengatakan. ‘Saya orang Indonesia yang beragama, bukan orang Islam yang berbangsa Indonesia. Hal ini juga tidak perlu. Kita tidak pernah disuruh memilih antara Islam dan Indonesia. Jadi Islam dan Indonesia tidak boleh pisah, harus jadi satu, dan itu menjadi tugas kita bersama.
“Alhamdulillah, Pesantren Tebuireng ini memiliki peran besar dalam hal itu. Jadi, diwakili oleh Pak Wahid Hasyim yang ikut di dalam menyusun Pembukaan Undang-Undang Dasar bersama Panitia Sembilan. Kemudian dilanjutkan dengan alumni Tebuireng juga, Kyai A. Shiddiq yang pada tahun 84 menyusun dokumen tentang hubungan Islam dan Pancasila. Itulah yang kemudian bisa merubah, sehingga NU menerima Pancasila diikuti oleh ormas-ormas Islam yang lain. Hal itu juga diteruskan oleh Gus Dur dan oleh kita semua. Ini adalah warisan yang harus kita pelihara, kita tidak boleh mempertentangkan lagi Indonesia dan Islam karena itu sudah paduan dari keislaman,” pungkas beliau.
Pewarta : Fitrianti Mariam Hakim
Publisher: MSA