Dokumentasi: santri Tebuireng saat mengikuti Apel Hari Santri Nasional. (Foto: tbi.online)

Oleh : Rokhimatus Sholekhah*

“Santri itu karakter, bukan profesi. Kalau sudah menjadi karakter, maka mau dijadikan apapun pasti akan luwes.” Hal itu disampaikan oleh ustadz Agus Muhammad Hasan Payaman Magelang dalam kajiannya di kelas madrasah. Sering kali, banyak dari kita yang mengartikan bahwa santri adalah sebuah profesi. Selain itu sering juga muncul pertanyaan, “nyantri terus, mau sampai kapan? Dapat apa?” Pertanyaan semacam ini sering mendarat di telinga para santri tak terkecuali saya.

Anggapan masyarakat bahwa santri adalah sebuah profesi membuat adanya pergeseran makna tentang santri. Dalam hal ini profesi lebih akrab dengan sesuatu yang menghasilkan uang dan hal-hal berbau penghasilan materi. Selain hal itu, sosok santri juga sering diidentikkan sebagai kalangan yang gagap teknologi (gaptek), yang ketinggalan jaman karena penampilan dan gayanya. Kehidupan di luar pesantren yang serba ada dan serba mewah membuat santri terpojokkan ketika berada di luar pesantren. Cara bergaul, cara menyikapi dunia luar dan cara menanggapi masalah antara pola pikir santri dan remaja yang bukan santri tentunya sangat berbeda. 

Kembali pada anggapan bahwa santri adalah sebuah profesi. Dalam hal ini profesi diidentikkan dengan sesuatu yang kita paham jelas soal gajinya. Sementara santri bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan uang ataupun gaji, santri adalah karakter yang mampu mengubah ngaji menjadi pelatihan profesi sekaligus.

Kebanyakan orang menilai bahwa santri yang terlalu lama di pesantren divonis tidak laku atau sulit mendapatkan jodoh. Paling miris malahan orang di luar sana mengira bahwa di pesantren, santri tidak mencari ilmu- melainkan hanya menjadi pembantu kiai. Sementara santri di pesantren menikmati prosesnya dalam mencari ilmu sembari mengamalkan dan mencari keberkahan dari ilmu tersebut.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengamalkan adalah cara agar ilmu tersebut berlanjut estafetnya dari generasi ke generasi. Sementara untuk mencari barokah dari ilmu tersebut, maka yang dilakukan adalah menjadi pelayan atau membantu kebutuhan kiai dan keluarga semampu dan sebisa kita. Stereotipe masyarakat menganggap santri hanya sebagai pelayan kiai ini kian hari kian menjamur dan meresahkan. Orang tua yang anaknya masih berada di pondok menjadi resah dan gusar oleh isu yang kurang tepat ini.

Tak jarang, beberapa orang tua bertanya langsung kepada anaknya perihal isu tersebut, dan sang anak hanya bisa mengiyakan. Dalam artian, tidak ada kata menjadi pembantu, bahkan jika ada- kata itu akan lebih menyenangkan dan membahagiakan walau harus kehilangan waktu mengaji. Mengaji memang usaha yang dapat dilihat oleh setiap orang, Namun letak keberkahan kita tak pernah mengetahuinya. 

Anggapan yang semakin hari menjadi momok bagi santri ini sedikit banyak juga berpengaruh bagi majunya pola pikir santri. Secara otomatis, PR yang harus digarap menjadi semakin banyak. Anggapan bahwa santri hanya bisa mengaji dan tanpa pangkat duniawi adalah salah satu bukti bahwa sejatinya kegiatan dan kehidupan santri sangat menginspirasi, bahkan orang-orang diluar pesantren pun sangat penasaran dan menjadikan tema seputar santri ini menjadi perbincangan hangat dimana-mana.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Gus Miftah, “kalau kita sering dibicarakan orang, orang sering membicarakan kekurangan kita, ndak apa-apa. Bahagialah, karena apa? Kekuranganmu saja menarik perhatian, apalagi kelebihanmu?” memaknai hal tersebut, perlu ditegaskan lagi bahwa anggapan tentang santri yang dinilai terlalu agamis dalam menyikapi hidup, tidak umum atau membaur dengan kehidupan di sekitarnya dan lain sebagainya adalah anggapan yang harus ditepis dan dibuktikan kebenarannya.

Santri sebagai tombak utama perjuangan bangsa juga memiliki hak dan kewajibannya dalam mengamalkan dan menularkan ilmunya. Terkadang, hal tersulit dari memiliki, mencari dan membagikan ilmu adalah seberapa mampu kita untuk mengamalkan ilmu yang kita miliki. Jadi, jika dikatakan bahwa santri adalah seseorang yang memiliki karakter atau perilaku di luar kebiasaan orang di luaran sana, maka jawabannya benar. Kami para santri memiliki tugas mengenyahkan kemungkaran dari muka bumi ini, kami berkewajiban menyampaikan amanah dari para ulama terdahulu. 

Inilah proses yang harus ditempuh, apalagi bagi santri yang sudah menjadi alumni. Kebutuhan masyarakat tentang ilmu dan amaliyah akan menuntut santri untuk mengamalkan dan membagikan ilmunya. Jadi, tidak ada profesi bernama santri. Perlu dijelaskan bahwa niat mencari ilmu tidak ada yang menyertakan dunia atau manusia sebagai tujuan akhir. Niat mencari ilmu adalah li ridaallah, izalatul jahli ‘an nafsi wa ghoirihi, menyukuri nikmat Allah berupa akal yang sehat dan badan yang kuat, meluhurkan agama Allah, dan mengikuti Sunnah Rasulullah.

Sehingga sudah sepantasnya kita berusaha menghilangkan pandangan dan anggapan bahwa santri adalah sebuah profesi yang berujung harus memiliki gaji atau hal lain yang menyangkut duniawi. Merekalah para  santri, penderek kiai, yang setia bersarung dan berpeci. Tetapi jangan dipandang sebelah mata, sebab santri bisa menjadi dan masuk ke berbagai kini kehidupan seperti guru, bangsawan, pengusaha, politikus, wartawan, dan banyak bidang lain yang juga dikuasai oleh santri termasuk menjadi konten kreator berbagai platform media era ini.

*Mahasiswa KPI Unhasy.