KH. Mustain Syafi’i saat menjelaskan manaqib masyaikh Tebuireng dalam peringatan Haul ke-14 Gus Dur, di Pesantren Tebuireng. (Foto: mir)

Tebuireng.online– Berbagai rangkaian dilaksanakan dalam haul Gus Dur yang ke-14, diantara adalah pembacaan manaqib atau biografi singkat pengasuh dan masyaikh Pesantren Tebuireng, yang dibacakan oleh Dr. KH. A Musta’in Syafi’i, di Maqbaroh Pesantren Tebuireng, pada Sabtu (6/1/2024).

Dalam kesempatan tersebut, KH. Musta’in mengungkapkan bahwa Hadratussyaikh selain ahli Hadis beliau juga hafal bahkan mutqin dalam al-Quran, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad al-Maghribi dalam kitabnya al-inayah.

“Ketika belajar di mekah, bersama temen-temannya berikrar dihadapan ka’bah untuk memperjuangkan negri ini menjadi merdeka. Kemudian meng-evaluasi kenapa perjuangan para ulama, para pejuang dulu ko belum berhasil memerdekakan, yang di sorot adalah pahlawan atau pangeran di Ponorogo,” cerita Yai Taun.

Beliau melanjutkan, ternyata pangeran di Ponorogo itu adalah Abdul Hamid Ontowiryo, berjuang untuk memerdekakan ini disertai seratus delapan puluh kiai, tiga belas yang sudah haji, lima belas dari habib, dua belas penghulu. Makanya di museum Solotigo ada mushaf, tasbih, ada kitab Fathul Qorib.

“Itu menunjukan bahwa di Ponorogo itu memang tidak pernah lepas dari al-quran, saat berjuang juga membaca al-quran juga ke mana-mana. Terus kenapa ada tasbih? Karena beliau ini termasuk mursyid thoriqoh qodiriyah naksabandiyah. Kenapa ada fathul qarib? Ternyata beliau ikut madzhab as-syafi’e,” tutur pengajar Tafsir Quran itu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pakar Tafsir pesantren Tebuireng ini juga bercerita bahwa Mulai tahun 1825-1830, belanda kalang kabut sampek mempunyai hutang terhadap bank dunia namun belanda belum tumbang pada waktu itu.

“Lalu Hadrotus Syaikh menganalisis, kalo begitu diubah saja strateginya. Perjuangannya bukan melawan, tapi membangun kekuatan infrastruktur di negeri sendiri melalui tiga pilar :

  1. Pendidikan
  2. Ekonomi
  3. Organisasi

Bisa dibayangkan, menguatkan di sektor pendidikan, subhanallah sudah tidak perlu diragukan lagi. Di organisasi, dulu ada namanya nahdatul wathon, kemudian nahdatuth tujar lalu taswirul afkar dilebur menjadi satu menjadi Nahdhotul Ulama (NU).

Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pernah mewakafkan tanah, di Jombok Jombang. Tapi mewakafkan tanah bukan untuk buat masjid atau pondok, melainkan untuk pasar. Itu menunjukan penguatan ekonomi yang hebat, waktu itu Hadratussyaikh tidak pernah berfatwa untuk mengangkat senjata melawan belanda. Ko’ ada resolusi jihad? Resolusi jihad itu terjadi setalah kemerdekaan, untuk mempertahankan kemerdekaan, bukan untuk melawan dan berhasil,” ungkapnya.

Menurut beliau Hadratussyaikh selain kealimannya beliau juga menempatkan ilmu keulamaannya di atas politik. Itu bisa disaksikan ketika Gubernur Belanda, Vandherflas bersama Ir. Carel Smith, merayu Hadratussyaikh untuk bergabung sebagai mufti untuk mendamaikan, mengambil hati para ulama.

Ketika Vandherflas bersama Ir. Carel Smith ini, berbincang-bincang tiba-tiba terdengar suara anjing (menggonggong), Hadratussyaikh tanya
“Apa tuan membawa anjing?”
Iya (jawabnya).
“Sekarang dimana?”
Itu di luar di gerbang.
“Kasian itu kepanasan, bawa kemari.”

Akhirnya anjing itu dimasukkan ke dalam dan pembicaraan justru malah terjadi bukan membicarakan ajakan belanda, dislimur-slimur (ke pimbicaraan tentang anjing) sampek habis, hingga belanda merasa ko pembicaraan politiknya dirasa tidak direken, masak pembicaraannya dianggap lebih najis dari anjing dan akhirnya mereka pergi.

“Jika najisnya anjing disiram menurut cara fiqih sudah selesai, suci. Coba dipikir bagaimana najisnya pemikiran seroang ulama yang tunduk pada pemikiran belanda dan itu menjadi cacat. Bagaimana tobatnya dan bagaimana menyucikannya, itulah jawaban Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, dan untuk mempertahankan jawabannya ini Hadratussyaikh menyuruh santrinya agar puasa tiga hari, bukan untuk memenangkan menjadi mufti, tapi untuk tetep tidak mau bergabung dengan penawaran belanda tersebut.” pungkas Yai Musta’in.

Pewarta: Faizal