Oleh: Inggar Saputra*
Setiap manusia memiliki dua peran dalam hidupanya, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai individu, manusia diberikan egoisme dan prasangka dalam kehidupannya. Keduanya kadang mampu dikontrol dengan baik. Tetapi jika tidak mampu dikendalikan maka menjadi amarah berujung konflik.
Sebagai makhluk individu, konflik terjadi dalam pergulatan batinnya. Seringkali konflik dalam diri memicu stress, yang berujung pada tindakan destruktif. Misalnya bunuh diri, memarahi diri sendiri dan mudah menyalahkan orang lain. Semakin gagal mengendalikan diri, kita akan cenderung emosional dalam menjalani hidup.
Dalam kapasitas sebagai makhluk sosial, kita berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi pada dasarnya melibatkan pesan, pengirim pesan (Komunikator) dan penerima pesan (komunikan). Dalam komunikasi melibatkan proses dua orang atau lebih, serta interaksi yang berlangsung dua arah.
Komunikasi merupakan cara terbaik kita menyampaikan pesan kepada orang lain. Dengan bicara, bahasa tubuh, simbol gambar, kita sedang membagikan informasi kepada orang yang diajak bicara. Tanpa komunikasi, kehidupan akan cenderung hambar dan dipenuhi pikiran negatif.
Dalam berkomunikasi, khususnya sebagai makhluk sosial kita tentu menemukan adanya konflik. Satu sisi konflik dianggap negatif, sebab menimbulkan perpecahan bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Tetapi sisi lain, konflik jika dikelola baik dapat menguatkan kesolidan organisasi.
Untuk skala interaksi sosial yang besar, konflik yang sering terjadi di Indonesia adalah konflik kesukuan, politik dan agama. Sikap kesukuan yang berlebihan seringkali memicu konflik, sebab menganggap sukunya paling hebat. Kenyataan ini membuat kita memandang rendah orang lain dan jika pihak lain tidak terima, maka lahir konflik antar suku.
Sementara itu konflik politik dipicu pada realitas perbedaan kepentingan dan pandangan politik. Di Indonesia, paska pemilu 2019 kita melihat pembelahan masyarakat akibat beda pandangan politik. Lahir dua kelompok besar yang saling memberikan stigma negatif kepada lawan politiknya.
Konflik agama agak unik dan berbeda. Dalam sebuah kesempatan, konflik agama dapat dipicu perbedaan pandangan antar umat seagama. Ada individu dan kelompok yang seringkali memandang pemahaman agamanya paling benar. Sehingga mudah sekali mencap salah dan mengkafirkan keyakinan berIslam kelompok lainnya.
Pada kesempatan berbeda, ada konflik yang melibatkan antar umat beragama. Misalnya keyakinan beragama Islam kalangan tertentu yang seringkali menganggap agama lain seperti Kristen sebagai musuh. Mereka memahami agama secara sempit, sehingga mengunggulkan ego beragama dengan meminggirkan keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara.
Merespons konflik di masyarakat, kita dapat menggunakan psikologi positif dalam menyelesaikan konflik. Psikologi positif adalah aliran dalam ilmu psikologi yang menilai hidup manusia itu sesuatu yang berharga dan memiliki hal yang baik. Fokus psikologi positif adalah pengalaman dan karakter positif yang ada pada individu.
Karakter manusia pada umumnya akan mudah marah, kecewa, sakit hati jika ada orang lain yang melalukan kesalahan kepada dirinya. Jika emosi itu gagal dikelola akan menghasilkan dendam kepada pelaku. Kondisi ini tentu berdampak negatif kepada kesehatan mentalnya.
Untuk itu, dibutuhkan ilmu psikologi positif yang sudah ada dasarnya dalam Islam yaitu memaafkan. Dampak sikap pemaaf sangat luar biasa, misalnya menghasilkan ketenangan batin. Meski tak mudah, seseorang yang pemaaf ditambah membudayakan dzikir kepada Allah, hatinya akan tenang.
Dalam psikologi positif, memaafkan bertujuan memberikan perubahan positif pada individu. Memaafkan membuat kita perlahan melupakan trauma masa lalu. Kemudian menatap masa depan lebih optimis dan bahagia lahir batin.
Banyak cara menghadirkan proses maaf baik secara langsung menemui pihak yang berkonflik maupun dengan menulis. Terapi menulis dapat menjadi salah satu media memaafkan kesalahan orang lain. Dengan menulis di kertas, kita sedang berusaha berdialog dengan dirinya sendiri, mencari solusi terbaik melupakan trauma masa lalu.
Melalui terapi menulis, kita sedang mengubah perasaan dan pikiran negatif menuju arah positif dengan medium kertas. Tulisan dapat menjadi cara efektif ketika kita tidak mau bertemu langsung dengan sumber masalah. Dengan tulisan, pelan kita diajak mengekspresikan agar pikiran positif masuk dalam alam bawah sadar, kemudian menghapus pikiran negatif dalam diri.
*Penggiat Literasi Rumah Produktif Indonesia.