Oleh: Devi Yuliana*

“Duh minder nih, lihat temen dapat nilai bagus?”

“Orang-orang kok bahagia banget ya hidupnya”

“Hidupku kok gak ada kemajuan ya?”

Dan masih banyak lagi kalimat yang sering diucapkan beberapa orang karena sering membandingkan hidupnya dengan kehidupan orang lain. Di masa modern seperti saat ini, akses pertemanan menjadi semakin luas. Hanya dengan bermodalkan internet kita bisa langsung berteman dengan orang di berbagai negara, menjalin silaturahmi dengan berbagai kalangan, bahkan saat ini kita bisa dengan mudahnya melihat aktivitas idola kita.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun jika dilihat dari sudut pandang berlawanan, mudahnya persebaran sebuah kegiatan melalui internet justru terkadang membuat otak kita kalang kabut tatkala melihat begitu mudahnya kehidupan orang di luar sana. Hal ini sering memicu kurangnya rasa syukur pada diri kita tatkala kita mengira bahwa hidup kita tidak ada artinya dalam dunia ini. Kita sering tanpa sadar menganggap Allah tidak adil dalam mengatur hidup kita. Padahal sejatinya hanya Allah lah Dzat Yang Maha Adil dalam segala keadaan. Namun perlu waktu bagi kita untuk mengambil hikmah dari terjadinya suatu hal.

Islam sendiri mengajarkan sifat malu kepada umatnya. Dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan bahwa malu adalah sebagian dari iman

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ، وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «دَعْهُ فَإِنَّ الحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Malu adalah sebagian dari iman, namun malu seperti apa yang menjadi bagian dari iman itu sendiri? apakah malu karena tidak memiliki rumah bagus? atau malu karena tidak berwajah rupawan? tentu bukan.

Malu di sini ialah malu ketika kita berbuat maksiat. Mencuri harus malu, berbuat zalim terhadap orang lain harus malu, korupsi apalagi. Sudah seharusnya kita malu jika berbuat maksiat kepada Allah, malu jika kita durhaka kepada-Nya, malu dalam berbuat dosa.  Bukankah setiap maksiat adalah perbuatan tercela.

Lantas mengapa semakin berkembangnya zaman definisi dari malu sendiri semakin bergeser. Kita tidak malu ketika mengunggah foto mesra kita bersama pacar. Kita tak sungkan memposting aurat kita di media sosial yang mana akan bisa diekspos oleh siapapun, itulah yang disebut dosa tetap mengalir mekipun kita terlelap. Sebaliknya kita justru malu jika tidak memiliki barang branded, kita malu jika tidak punya mobil, kita malu jika belum pernah nongkrong di cafe bintang lima, misalnya. Padahal jika tak melakuakn hal tersebut pun kita tidak akan mendapat dosa.

Wahai muslim muslimah, generasi muda Islam penerus perjuangan para ulama, sudah sepantasnya kita malu akan hal-hal berbau maksiat, kita tidak perlu malu jika hidup kita sederhana, kita tidak perlu malu jika kita masih dalam waktu berproses dan belum menerima hasil. Jangan selalu mengukur hidupmu dengan postingan orang lain. Jika diniatkan untuk motivasi maka sah sah saja, namun jika kita justru minder dan tidak bersyukur atas rizki yang telah diberikan Allah kepada kita, maka lebih baik kita menutup seluruh  akses ke sosial media dan berfokus pada usaha kita. Hidup ini kita yang menjalani, bukan orang lain. Orang lain bisa berkomentar, tapi kita juga berhak untuk tidak menggubrisnya.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari

[fb_plugin comments width=”100%”]