Oleh : Muhammad Septian Pribadi*

Pesantren Nurul Jadid Paiton adalah salah satu pesantren besar di provinsi Jawa Timur. Meski masih terbilang pesantren baru yang didirikan pada tahun 1950 oleh KH. Mun’im Zaini, pesantren ini mengalami peningkatan yang pesat dan signifikan. Baik dari segi kuantitas santri, kualitas keilmuan dan sarana-prasarana pesantren.

Awal mulanya pesantren yang berdomisili di desa Karang Anyar ini adalah tempat yang sering digunakan untuk pemujaan roh nenek moyang. Masyarakat di desa yang aslinya bernama Tanjung ini masih mengganut ajaran Animisme dan Dinamisme ketika itu. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa pohon yang tidak boleh ditebang dan diyakini mampu melindungi desa dan masyarakatnya. Selain itu ditemukan juga ritual sesajen yang diberikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut.

Masyarakat Karang Anyar ketika itu merupakan daerah tertinggal, terbelakang dan jauh dari peradaban. Terbukti dari maraknya praktik perjudian, prampokan, pencurian dan tempat Pekerja Seks Komersial (PSK). Hampir sebagian masyarakat di daerah tersebut menggantungkan hidup pada kekayaan alam, sehingga ketika dianggap alam sudah tak bisa dimanfaatkan mereka berpindah ke daerah yang lain.

Seiring berjalannya waktu dan kehadiran KH. Mun’im Zaini di tempat tersebut, perlahan merubah peradaban desa Karang Anyar yang awalnya tertinggal menjadi daerah yang beradab dan maju. Berdirinya pesantren Nurul Jadid menjadi tonggak awal penyebaran Islam di Karang Anyar. Hal ini sesuai restu dan dawuh dari KH. Syamsul Arifin, ayah KH. As’ad Syamsul Arifin untuk mendirikan pesantren di daerah Karang Anyar tersebut.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kini Nurul Jadid menjadi Pesantren yang disegani di tanah Jawa. Sebut saja IAI Nurul Jadid, STIKES Nurul Jadid, STT (Sekolah Tinggi Teknologi) Nurul Jadid, dan institut sekolah yang lain-lainya dari tingkatan Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah, SMA, SMP dan SMK sebagi bukti progres cepat dan terencana dalam waktu yang singkat.

Selain mendirikan lembaga formal, Pesantren Nurul Jadid juga membentuk lembaga non-formal yang menjadi unggulan dalam bidang agama salah satunya adalah Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton.

Wilayah Mahasantri dan I’dad

Pukul 03.00 dini hari mengawali suasana Komplek Al-Amiri wilayah J yang berada di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Para mahasantri berduyun-duyun mengawali hari dengan melakukan shalat Tahajud bersama di Musholla hingga menjelang waktu Subuh. Kegiatan ini menjadi rutinitas wajib bagi mahasantri yang menempat di komplek tersebut.

Komplek yang dipimpin langsung oleh KH. Romzi Mannan Al-Amiri S.Hi, M.Hi ini merupakan wilayah khusus untuk mahasantri yang menuntut ilmu di Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton. Berdiri pada tahun 2006 dengan konsentarsi da’wah kemudian vakum untuk beberapa tahun. Barulah pada tahun 2009 bangkit kembali dengan konsentrasi baru, yaitu Fiqh.

Sebagian mahasantri menyebut wilayah ini sebagai wilayah satelit. Pasalnya hampir setiap kebijakan diambil oleh Mudir dan Mushrif komplek mahasantri tersebut tanpa campur tangan pengurus lain kecuali kebijakan umum dari pondok pusat yang harus diikuti.

Wilayah Satelit merupakan sebutan khusus yang disematkan sebagai bentuk kemadirian dalam memanage kegiatan para mahasantrinya. Mereka diajarkan untuk membentuk komitmen dan jadwal sendiri yang kemudian dipertanggung jawabkan sendiri pula. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Tuhan dalam wahyunya bahwa setiap manusia adalah pemimpin dan akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya kelak. Paling tidak mahasantri diwajibkan untuk mampu memimpin dirinya sendiri.

Dalam satuan lembaga Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton ini juga ada program I’dad sebagai wadah para calon Mahasantri yang tidak lolos dalam tes seleksi masuk Ma’had Aly. Sehingga bagi pendaftar yang masih teguh pendiriannya untuk belajar di Ma’had Aly Nurul jadid dan tidak lolos, tidak perlu berputs asa karena masih bisa terus mengasah keilmuannya di program I’dad.

Selain itu, program I’dad selama 2 tahun yang terbagi menjadi I’dad A dan B ini dipersiapkan juga bagi santri yang ingin mempersiapkan diri masuk Ma’had Aly. Meski program I’dad berdiri pada tahun 2012, waktu demi waktu tidak hanya Ma’had Aly yang banyak diminati tapi program I’dad juga tidak luput dari serbuan para peminat. Hal ini dibuktikan dengan semakin bertambahnya penghuni program I’dad itu sendiri setiap tahunnya.

Program I’dad ini yang kemudian berperan besar dalam persiapan calon mahasantri atau santri dalam keberhasilan naik pada jenjang lebih tinggi, yaitu Ma’had Aly. Adapun program I’dad ini berasal dari ide para penggurus yang melihat realita banyaknya pendaftar yang tidak lolos tes Ma’had Aly yang sangat ketat tersebut. sehingga dalam praktiknya, I’dad memberikan pendidikan yang mayoritas tentang ilmu alat, baik Shorof atau Nahwu sebagai bekal nantinya dalam mengikuti seleksi masuk Ma’had Aly dan memahami literasi arab dengan baik dan benar.

Rutinitas Ma’had Aly Nurul Jadid Paiton

Setelah shalat Tahajud, disusul shalat Subuh berjamaah dan selanjutnya para mahasantri menimba ilmu berupa pengajian rutin kitab Ihya’ Ulumuddin di musholla yang ada di komplek tersebut. serasa tak memiliki rasa bosan pukul 05.30 diteruskan mengkaji kitab Al-Hikam di masjid pusat hingga jarum jam menunjukkan pukul 07.00 pagi.

Baru setelah itu para mahasantri yang dididik penuh dedikasi ini bersitirahat untuk mempersiapkan kuliah di musholla komplek pada pukul 08.00. Uniknya sebelum kegiatan perkuliahan di Ma’had Aly dimulai pada pukul 09.00, para mahasantri berduyun-duyun dan penuh semangat menyanyikan lantunan nadhoman Alfiyah dan Tasrif Shorfiyah hingga perkuliahan siap masuk pada pukul 09.00 pagi. Perkuliahan dilanjutkan dengan syawir atau diskusi tentang hukum-hukum Islam (Fiqh) hingga pukul 10.30 siang.

Tak berhenti disitu, para mahasantri yang terdiri dari putra dan putri ini melanjutkan studi mereka di perkuliahan formal Nurul Jadid, salah satunya IAI Nurul Jadid hingga matahari hampir tenggelam pukul 15.00 sore. Perlu diketahui juga Ma’had Aly Nurul Jadid ini menerapkan sistem Boarding Scholl dengan mewajibkan stay di asrama bagi para mahasantrinya, sehingga memungkinkan untuk proses edukasi yang full time dan terkendali.

Selepas perkuliahan formal, para mahasantri di komplek al-Amiri/Wilayah J kembali menimba ilmu bersama pengasuh, KH. Zuhri Zaini via Masjid utama Pesantren Nurul Jadid. Seakan tidak memiliki rasa lelah para mahasantri tetap teguh menuntut ilmu hingga menjelang shalat Maghrib.

Shalat Maghrib ditunaikan berjamaah, diteruskan lagi mengaji al-Quran secara team, yang setiap team dibimbing oleh satu Mushrif sebagai gurunya, sampai waktu Isya’ tiba dan shalat berjamaah pun sebagai agenda wajib bagi mahasantri.

Menuntut ilmu memberikan kebahagian tersendiri bagi Mahasantri Ma’had Aly Nurul Jadid, seakan merasa dahaga akan samudra ilmu, kegiatan menimba ilmu dilanjutkan kembali sampai pukul 21.30 dengan menghadirkan dosen-dosen yang ahli dalam bidangnya.

Secara ekslusif, Ma’had Aly Nurul Jadid menerapkan konsentarasi pada Fiqh dalam kurikulumnya. Sebut saja beberapa pelajaran yang diedukasikan antara lain: Ayat al-Ahkam, Musthalahu al-Fiqhiyah, Fiqh Ibadah, Fiqh Siyasah, Fiqh Mu’amalah, Fiqh Muqarin, Afkarul Fiqhiyah serta mata studi yang lain-lainya. Sehingga diharapkan nanti para mahasantri mampu menguasai bidang Fiqh secara Kaffah.

Kematangan sebuah hidangan tergantung keahlian sang pemasak. Falsafah ini yang kemudian dipahami betul oleh Mudir sekaligus pengsauh komplek mahasantri, KH. Romzi Mannan al-Amiri. Sehingga penerapan kebijakan kurikulum pendidikan tidak sebatas pada program Ma’had Aly semata, tetapi juga diterapkan dalam kegiatan asrama.

Salah duanya adalah program diskusi yang dilakukan oleh mahasantri Ma’had Aly setiap malam, pada pukul 22.00 sampai 24.00 malam. Dan kedua adalah program sorogan dari pukul 24.00 sampai 01.00 dinihari. Dalam pandangan imunitas tubuh tentu kegiatan hingga larut malam seperti ini dapat berdampak kelelahan bagi mahasantri. Akan tetapi anehnya, para mahasantri tetap merasa semangat dan terus belajar meski jadwal belajar telah usai. Inilah yang kemudian lahir sebuah pemahaman bahwa kegiatan yang dilakukan secara terus menerus akan melahirkan sebuah kebiasaan. Memang, kebiasaan belum tentu baik tapi kebaikan harus dibiasakan.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan aktif di Sanggar Komunitas Penulis Muda Tebuireng (Kepoedang)