Oleh: Dimas Setyawan*
Hadirnya penguruan tinggi Ma’had Aly di tengah maraknya masyarakat berlomba-lomba memilih perguruan tinggi yang bergengsi, menjadikan tantangan tersendiri bagi para civitas Ma’had Aly dan juga para Mahasantri (sebutan bagi mahasiswa Ma’had Aly) sebagai lembaga yang berfokus pada kajian agama.
Melansir dari website Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, saat ini terdapat 74 Ma’had Aly yang telah tersebar di berbagai provinsi dan kota di Indonesia. Angka tersebut akan terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu serta antusias pesantren-pesantren dalam mendirikan pendidikan tinggi tersebut.
Sejatinya pendirian Ma’had Aly berangkat dari sebuah kerasahan para kiai dan ulama Indonesia, terhadap minimnya geliat santri dalam mendalami agama. Sebagaiamana yang diungkapkan oleh KH. R. Ahmad Azaim Ibrahimy Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyah Sitobondo. Bahwasanya, salah satu pesan yang disampaikan oleh Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada KH. As’ad Syamsul Arifin ialah agar dapat mendirikan sebuah lembaga yang mampu mencetak para ahli-ahli fiqh di masa depan. Hal tersebutlah yang mendorong KH. As’ad Syamsul Arifin mendirikan Ma’had Aly Salafiyyah Syafiyyah Situbondo pada tahun 1980, sebagai cikal bakal Mahad Aly pertama di Indonesia.
Meskipun telah berdiri pada tahun 1980an, perjalanan Ma’had Aly sebagai lembaga yang formal berbasis pesantren baru diakui oleh pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 71 tahun 2015. Keputusan tersebutlah menjadi langkah serta babak baru legalitas Ma’had Aly dalam pendidikan nasional yang memiliki kesamaan status perguruan tinggi di bawah naugan Kementrian Agama Republik Indonesia.
Peresmian Ma’had Aly sebagai lembaga perguruan tinggi yang diakui oleh negara harus memiliki regulasi serta persyaratan yang cukup ketat. Salah satunya adalah model satu prodi di setiap masing-masing Ma’had Aly yang diharapkan menjadi pusat kajian takhasus (spesialisasi) yang sesuai dengan kajian keilmuan di setiap pesantren nya.
Ambilah contoh seperti Ma’had Aly Tebuireng, yang semula berfokus pada takhasus Fiqh dan Ushul Fiqh, berubah menjadi takhasus Hadis dan Ilmu Hadis, yang mana perubahan tersebut melihat dari sosok Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai ulama hadis tersohor di Indonesia. Kemudian ada Ma’had Aly Salaffiyah Syafi’iyah, yang mengambil program takhasus Fiqh dan Ushul Fiqh dan lain sebagainya.
Nuansa Spirit Timur Tengah dan Islam yang Tengah
Tak banyak ulama-ulama Timur Tengah yang berhasil menyelesaikan permasalahan kebangsaannya. Bahkan tak sedikit kita menyaksikan konflik hingga berujung pertumpahan darah yang terjadi di negara Timur Tengah, dengan permasalahan sangat sederhana yakni agama.
Sebagaimana data yang tercatat, kurang lebih terdapat 180 suku bangsa Arab. Mereka hidup terbagi-terbagi dengan beberapa negara, beberapa agama, adat dan istiadat setempat. Satu adat dengan yang lainya berbeda. Tapi dalam kehidupan bangsa Arab, mereka terkenal dengan keunikannya yaitu memakai satu bahasa. Bahasa yang digunakan ialah bahasa Arab yang telah menjadi dasar alat komunikasi keseharian.
Indonesia dengan beraneka ragam budaya, bahasa, adat yang berbeda. Dan dengan 6 agama yang telah diakui, menjadikan bangsa Indonesia menempati posisi negara muslim terbesar di dunia setelah mengalahkan Malaysia yang berada di urutan kedua.
Dengan banyaknya penduduk muslim tersebut, membuat dunia seakan terpangah dengan keharmonisan beragama yang terjadi di Indonesia. Meskipun berbeda agama dan keyakinan, bangsa Indonesia tak pernah jatuh dalam pusaran konflik berkepanjangan, dalam teks permasalahan agama dan bangsa.
Sebagaimana gagasan awal pendirian Ma’had Aly yang bertujuan untuk dapat mencetak kader-kader ulama di masa depan, diharapkan institusi pesantren yang memiliki lembaga Ma’had Aly menghadirkan nuasa spirit keilmuan timur tengah dengan berfokus pada kajian-kajian kitab klasik. Tetapi dengan catatan tidak melupan kultur keislaman Indonesia yang ramah sebagai indetitasnya.
Sehingga pada akhirnya lulusan Ma’had Aly diharapkan melahirkan ulama atau kiai yang kontekstual dan moderat terhadap problematika umat Islam di Indonesia. Yang tentunya dengan menghadirkan nilai-nilai Aswaja dan Islam yang mengedepankan kerukunan dan kedamaian dari gempuran paham radikal, tekstual, bahkan garis keras.
*Alumni Mahad Aly Hasyim Asy’ari.