Oleh : KH. A. Musta’in Syafi’ie
إِنَّ الْحَمْدَلِلهِ . نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ . وَ نَعُوْذُ بِهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَىآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا أَمَّابَعْدُ.
فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ . اِتَّقُوْ اللهَ ,اِتَّقُوْ اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. أَعُوْذُبِاللهمِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لَّا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُود . صدق الله العظيم
Seorang non-muslim menggugat ritual ibadah haji dengan menuduh haji itu seperti main-main. Mubeng-mubeng mengelilingi kabah, lari-lari kecil dari satu bukit ke bukit yang lain, kemudian wukuf kayak bercamping. Saat itu kami juga bertanya, pertandingan sepak bola sampai ada piala dunia. Sepak bola itu main-main atau serius. Barangkali bagi pemain bola, termasuk pemilik klub, pelatih, pemain bola itu sangat serius.
Adu strategi, tidak boleh main-main. Kalau ada indikasi pengaturan skor, sepak bola gajah maka terkena hukum diskualifikasi. Bagi mereka, permainan bola itu serius tapi menurut saya tidak. Daripada rebutan bola satu, lebih baik mereka dikasih bola masing-masing biar puas menendang bola. Non muslim itu agak marah, lalu saya sampaikan begitu pula ibadah haji.
Bagi kalian itu kemungkinan main-main, tapi kami sebagai seorang mukmin dan muslim ibadah haji itu ibadah yang serius. Penuh dengan simbol-simbol teologis, penuh dengan makna. Justru disitulah banyak pelajaran, banyak praktek, bagaimana hidup di akhirat nanti. Maka Arafah menjadi miniatur. Bagaimana orang tidak bisa terpental dari Ka’bah, harus berpusar terus keadaan apapun. Keimanan yang hebat dan lengket. Maka dia mengerti bahwa ibadah haji dalam pandangan agama adalah serius.
Kini persoalannya, bagaimana kita dalam beribadah. Saya masih menggunakan analogi sepak bola, mudah-mudahan menjadi perbandingan. Tanyakan pada pemain top dunia, seperti Christiano Ronaldo,Leonal Messi, Neymar, atau siapapun. Kenapa pemain bola itu ketika masuk di lapangan kok tidak membawa handphone. Tanyakan kepada mereka, jawabannya pasti satu. Karena khawatir mengganggu konsentrasi bermain bola. Biar focus, trik-trik yang dimiliki dan kelihaian bisa keluar semua.
Baik, kalau begitu ini saja kita contoh. Jika seorang mukmin masuk masjid, seharusnya beribadah murni konsentrasi untuk ibadah dan i’tikaf. Seharusnya tidak boleh membawa handphone. Masak kalah dengan seriusnya sepak bola. Masuk masjid, seharusnya lebih serius. Mutlak I’tikaf, kalau membawa karena itu dibutuhkan, maka harus disilentkan. Masih saja pegang handphone saat khutbah, saat di masjid. Jangan salahkan kalau ada orang mempertanyakan keimanan anda. Keseriusan anda untuk khusyuk ibadah dalam masjid, pemain sepak bola saja tidak ada yang bawa handphone masuk lapangan.
Untuk itu, isyarat dan simbol dalam ibadah haji yang penuh makna sangat banyak, dan saya mengambil satu saja. Yaitu al wukuf fi arafah. Al hajju arafah. Wukuf itu artinya berhenti sejenak. Tenang sejenak dan arafah itu padang Arafah. Arafa ya’rif ma’rifah mengetahui, dimana seorang beriman dengan kesibukannya dan semua sepak terjangnya selama ini, kemungkinan ada yang kurang, ada yang melenceng, maka saat wukuf harusnya off semua.
Semua yang ada diluar dirinya harus dimatikan, waqof iku mandek. Semua selain kekhusyukan dalam wukuf harus berhenti. Yang ada hanyalah wukuf dihadapan Allah. Masuk masjid, wukuf dihadapan Allah saja tidak yang lain. Dengan demikian, konsentrasi wukuf itu tujuannya adalah Arafah. Untuk sejenak melihat, muhasabah, menghitung-hitung, dan memperhatikan diri sendiri.
Pertama diperkenankan sejenak saja untuk melihat diri sendiri, oleh karena itu para sufistik di Jawa ini menyebutkan dadi wong iku isok nggeguyu awake dewe. Kalau orang sudah bisa menertawakan diri sendiri, bahwa dirinya itu sesungguhnya tidak bernilai, maka tidak pantas untuk berbuat yang berlagak bisa. Nggeguyu awake dewe.
Betapa pentingnya falsafah wukuf ini kita pakai di dalam amal keseharian kita, berhenti sejenak. Melihat diri sendiri. Orang sering kemungkinan mengadakan acara-acara seperti di tv, sibuk mencari skenario demi mengisi acara sentilan sentilun, menyentil sana menyentil sini, dan merasa sukses apabila sentilannya itu mengena dan dipuji-puji orang. Tapi pelajaran dari ibadah wukuf, tolong pelaku sentilan sentilun itu wukuf sejenak. Untuk menyentil diri sendiri.
Orang sering menyentil orang lain, tapi belum pernah wukuf menyentil diri sendiri. Dengan memperhatikan ‘arafa terhadap diri sendiri, refrensinya adalah selanjutnya ‘arafa mengerti tentang tuhannya. Mungkin beberapa waktu di beberapa tempat, tidak diperhatikan. Maka sejenak sajalah berhenti, untuk bersowan-sowan dihadapan Tuhan. Sehingga dirinya,nafsuhu, bisa menyatu dengan tuhannya, rabbahu.
Lebih-lebih di dunia hiruk pikuk yang syahwat. Kesenangan, hobi, berkuasa, dan lain-lain. Lihat di negeri ini sekarang, saya ambil kasus seperti di DKI Jakarta. Sepertinya agama menjadi tidak penting, Tuhan menjadi tidak penting, Allah swt menjadi tidak perlu untuk dijadikan rujukan saat berpolitik. Dimana keimanan dia itu bisa mengerti, ‘arafa. Bahkan kebanyakan partai politik, termasuk orang muslim sendiri, sudah meninggalkan Tuhan untuk tidak dijadikan dasar berpolitik. Sehingga gak harus muslim seng penting begini-begini.
Dan lebih konyol lagi, tokoh dari pemuda Ansor, kurang apa nahdliyinnya. Dengan enak siap menjadi ketua tim sukses calon yang non-muslim. Fenomena seperti ini, perlu keimanan kita itu perlu wukuf sebentar. Untuk melihat diri sendiri mengoreksi apakah Tuhan sudah ditinggalkan?. Mohon maaf, barang siapa yang mengatakan, “politik yo politik jangan mengatasnamakan agama, jangan membawa-bawa tuhan”, mohon maaf ini bukan kata-kata orang muslim. Ini bukan kata-kata orang beriman.
Itu adalah kata-kata para penguasa nonmuslim, karena mereka ingin memisahkan agama kita dengan prilaku kita. Padahal yang namanya muslim menurut al Quran, seorang muslim harus tegas berani berkata innani minal muslimin. Di pasar, bisnis, harus tegas berprilaku innani minal muslimin. Di politik harus mengikrarkan diri innani minal muslimin. Di pendidikan harus mengatakan innani minal muslimin.
Tapi hebatnya para non-muslim itu bisa menyusup di ilmuan-ilmuan kita, para intelektual kita. ‘Jangan bawa-bawa masjid, jangan bawa-bawa al Quran, jangan bawa ayat suci untuk berpolitik. Terus opo seng digawe dasar. Apakah kita rela, orang non-muslim menguasai kita, lalu menghabisi kita. Dan itu pasti, wallahi pasti. Sekali wa lan tardho orang yahudi nasrani tetap lan tardho.
Perlu saya ingatkan, lihat kasus Serbia asalnya bagaimana. Semua orang, pemimpin-pemimpin mukmin, intelektual, para sarjana toleransi sehingga tidak ada beda. Natal, valentine, semua sama. Bareng semua bareng. Berkembang sehingga tidak ada beda antara muslim dan non-muslim. Mulai meninggalkan jilbab, katanya modern dan seterusnya.
Pada saatnya, mereka bisa mengangkat presiden yang betul-betul bisa diharapkan. Langsung mengintruksi dengan keputusan pemerintah, semua orang muslim di Serbia dan sekitarnya dihabisi tanpa ampun. Tahun 80 sekian. Apakah umat Islam di Indonesia ini sudah buram dengan peristiwa itu. Itu berawal dari toleransi yang tidak punya parameter. Karena itu, penting sekali kita wukuf. Berhenti sejenak di hadapan Tuhan untuk mengoreksi mana keimanan kita yang tidak terkonsentrasi. Berapa banyak kita meninggalkan Tuhan.
Kenapa dalam keimanan itu, yang menyangkut kekuasan Allah swt. pembuktian bahwa agama Islam itu benar, media yang dipakai itu banyak di Arab yang tandus. Jawabannya satu, lihat Ibrahim as. mempunyai istri Hajar, mempunyai anak bayi Ismail. Dengan keputusan-Nya,”Ibrahim tinggalkan istri dan anakmu”. Mana mungkin ada seorang suami yang tega meninggalkan anak bayi dan istri tanpa apa-apa. Jangankan makanan, air saja tidak. Tapi karena ini Allah yang memerintah, maka Allah ada dan bertanggung jawab.
Dengan izin-Nya, kaki ismail yang kecil njejeg-njejeg dan muncratlah sumber air zam-zam. Tapi itu kan air saja, kok bisa makan dan lain-lain. Dengan adanya air itulah lalu Allah mengutus burung-burung padang pasir terbang di atasnya mengitari. Menunjukkan dibawahnya ada sumber air, sekaligus informasi bagi seantero arab ‘hai kafilah-kafilah ini, dibawah ada sumber air’.
Burung-burung terbang di atas itu memberikan sinyal, kafilah kalau butuh air kesini. Datanglah kafilah ke sumber air zam-zam itu dengan model barter. Ada yang membawa anggur, ‘ini ibu, tukar air ya dengan anggur’ dan sebagainya. Sehingga selamanya Hajar dan Ismail kecil hidup dari barteran tanpa kerja bisa makan. Tinggal memilih saja barter dengan apa sesuai kafilah yang datang. Itu menunjukkan Tuhan betul-betul ada.
Andaikan peristiwa itu di Jawa, apalagi kalau di Malang, Bandung tidak mungkin. Karena ditinggal (oleh Ibrahim) tanahnya dalam keadaan subur. Kayu ditancapkan jadi ketela. Jadi eksistensi Tuhan kurang radikal. Keberadaan Tuhan kurang betul-betul atraktif. Tanahnya subur, jelas bisa makan. Tapi kejadian hajar itu ditanah yang tandus, membuktikan bahwa Tuhan betul-betul ada. Dan Allah itu betul-betul memperhatikan umatnya. Mudah-mudahan bermanfaat.
. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْم. وَنَفَعَنابه وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأيَةِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم. فتقَبَّلَ اللهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ تعالى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ البَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. و الحمد للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.