sumber ilustrasi: the conversation

Oleh: Yuniar Indra Yahya*

Dorothy A. Mille, seorang guru besar Kentucky Univercity adalah yang pertama kali mengenalkan istilah generasi “Sandiwch” pada tahun 1981[1]. Dia menggambarkan posisi seorang generasi sandwich merupakan kelompok yang mengalami stres tinggi lantaran harus menanggung beban atas biaya kehidupan lansia orang di atasnya (orang tua), sekaligus di bawahnya (anak)[2].

Jajak pendapat kompas pada 9-11 Agustus 2022 terhadap 504 responden yang tersebar di 34 provonsi berhasil memotret generasi sandwich Indonesia. Hasil survey menunjukkan bahwa 67 persen responden mengaku menanggung beban sebagai generasi sandwich. Jika diprosoporsikan dengan populasi usia produktif di Indonesia yang berjumlah sekitar 206 juta jiwa, diperkirakan ada 56 juta jiwa yang masuk sebagai generasi sawndwich.

Sebaran generasi sandwich menyentuh di semua generasi. Fakta menunjukkan proporsi terbesarnya berada pada kelompok generasi Y (24-39 tahun), yakni 43,6 persen, diikuti generasi X (40-55 tahun) sebesar 32,6 persen. Kelompok generasi Z (<24 tahun) juga ditemukan dengan angka 16,3 persen. Bahkan baby boomer/silent gen (>55 tahun) masih menunjukkan angka 7,5 persen. Secara statistik ekonomi generasi sandwich Indonesia paling banyak ditemukan pada kelas menengah-bawah, yakni 44,8 persen, setelah itu kelas bawah 36,2 persen.

Nasib generasi sandwich di Indonesia sangat memprihatinkan, penghasilan mereka habis untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan keluarga besarnya. Mereka tidak punya ruang untuk mengembangkan apa yang mereka punya, atau hanya sekedar menabung dan investasi. Beberapa di antaranya bahkan tidak punya dana untuk rekreasi untuk sekejap lari dari hiruk pikuk kepenatan. Mereka dipaksa bekerja kerasa tanpa pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai[3].

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jika tidak mendapat perhatian, masalah ini dapat menghambat bahkan menggagalkan misi Indonesia emas 1945 dengan bonus demografinya. Sesuai proyeksi penduduk, sejak 2012 hingga 2040 Indonesia berada di puncak bonus demografi. Namun, di waktu yang sama angka generasi sandwich melebihi 93 persen berada dalam usia produktif. Usai bonus demografi usai, Indonesia memasuki periode aging society, dengan proporsi penduduk lansia yang meningkat. Jika Indonesia mampu mengkonversi bonus demografi menjadi bonus kesejahteraan, maka akhir periode binus demografi akan ditandai dengan pendapatan per kapita yang tinggi.

Sebaliknya, jika konversi tersebut gagal, maka setelah 2040 Indonesia akan terjadi ledakan generasi sandwich. Disebabkan oleh, pertama, angka usia harapan hidup tak dibarengi kenaikan pendapatan per kapita yang cukup. Kedua, adanya selisih antara usia harapan hidup dan usia harapan hidup sehat. Ketiga, dampak ikutan poin kedua ialah banyak lansia yang membuthkan perawat, namun tak banyak suplai di pasar kerja. Akhirnya, anak akan menanggung beban perawat itu[4].

Perhatian Kementrian Sosial

Melihat kondisi dan prediksi di atas, pemerintah—terutama Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia—sangat perlu untuk memberikan perhatian lebih terhadap kasus tersebut. Kemensos perlu melakukan banyak pendataan, studi, dan riset tentang generasi sandwich. Kekuatan pemerintah tentu sangat tinggi dalam hal ini, dibanding dengan kelompok swadaya dan swasta.

Upaya penyadaran masyarakat mengenai perlunya dana pensiun sangat perlu dilakukan oleh Kementrian Sosial. Meskipun Indonesia sudah punya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Karena fakta yang ada peserta jaminan dana pensiun angkatan kerja Indonesia masih sangat sedikit, dari 128,5 juta angkatan kerja, baru 19,57 persen atau 25,16 juta pekerja yang menjadi peserta.

Pesantren sebagai Ruang Literasi

Selain melalui upaya-upaya teknis, pesantren sebagai salah satu pendidikan khas Islam yang terdapat di Indonesia, juga harus ikut andil dalam persoalan ini. Minimal melalui usaha-usaha literasi bernafas keislaman. Pesantren atau lebih tepatnya nilai keislaman dianggap mampu menjadi penyegar kesadaran masyarakat akan hal ini. Para tokoh pesantren lah yang—harusnya—sadar dengan kondisi di atas, hingga kemudian menyadarkan santri dan masyarakat akan pentingnya kasus ini.

Ada beberapa nilai keislaman yang dapat menjadi penyegaran terhadap masalah tersebut. Pertama, pesantren/nilai keislaman tetap menganggap orang tua adalah tokoh sentral yang harus diperlakukan dengan sangat baik. Kedua, pesantren/nilai keislaman sama sekali tidak menganggap generasi di atasnya dan di bawahnya menjadi beban individu.

Alasannya adalah bahwa Quran menitikberatkan kehormatan orang tua di hadapan seorang anak, bahkan dalam sebuah ayat disebutkan larangan berucap ‘ahh’ kepadanya. Kemudian, nilai keislaman sama sekali tidak menganjurkan orang tua menganggap anak adalah investasi duniawi belaka. Dalam hal ini mungkin banyak kasus orang tua yang menginginkan anaknya menjadi kelompok menengah ke atas di usia dewasanya, dengan harapan agar orang tuanya kelak dapat dirawat oleh anaknya. Padahal Quran telah mengajarkan bahwa anak adalah investasi akhirat, ia adalah penerus keislaman (syahadat) orang tuanya. Harusnya itu sudah menjadi hal yang sangat besar, sehingga tak ada alasan orang tua menuntut lebih dari itu.

Kemudian Quran mengjarkan bahwa dana pendidikan anak harus disiapkan oleh orang tuanya. Harapannya anak tidak akan terbebani oleh hiruk pikuk duniawi saat dewasa nanti, sehingga ia akan fokus melanjutkan keislaman orang tuanya. Minimal menyiapkan rumah tinggal—layak tak perlu mewah—untuk anak-anaknya, karena Nabi Muhammad dahulu dihadiahi rumah oleh orang-orang Madinah ketika migrasi dari Makkah. Sehingga Nabi tak perlu risau soal tempat tinggal ketika misi dakwahnya.

Idealnya, hubungan saling menghormati/menghargai/kesetiakawanan antar anak dan orang tua dan sebaliknya akan mengeliminasi ledakan generasi sandwich di kemudian hari.

*Mahasantri Tebuireng Jombang.


[1] Dorothy mengenalkan istilah itu dalam artikelnya yang berjudul “The ‘sandwich’ generation’: adult children of the aging”. JSTOR, Vol. 26, No. 5 (Semptember 1981)

[2] Adult children of the elderly, who are “sandwiched” between their aging parents and their own maturing children, are subjected to a great deal of stress. As the major resource and support for the elderly, this group has a need for services that is only beginning to be met by the helping professions.

[3] Kompas, 8 September 2022, hal.15

[4] Sonny Harry B Harmudi, Opini Kompas, 14 Oktober 2022. Hal 6