sumber gambar: kompasiana.com

Oleh: Nurdiansyah Fikri Alfani*

Kita sering mendengar sebuah adagium yang diucapkan warga Indonesia, حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ cinta tanah air adalah sebagian dari iman, banyak yang mengira kalau itu adalah sebuah hadis nabi, di Indonesia sendiri kata-kata tersebut banyak dikampanyekan oleh pendakwah/da’i dengan tujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai rasa cinta terhadap tanah air mereka, tetapi setelah dilakukan banyak penelitian oleh para cendekiawan muslim, ternyata kata tersebut bukanlah sebuah hadis nabi, melainkan hanyalah perkataan ulama, hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan realita yang terjadi, masyarakat terlanjur banyak yang percaya terhadap statement tersebut sebagai sebuah hadis.

Menjadi dilema memang jika para pendakwah yang terlanjur menyebarluaskan statement tersebut sebagai hadis, kemudian setelah mengetahui bahwa itu bukanlah hadis, lalu jika mereka menganulir perkataan mereka di khalayak banyak, resikonya adalah masyarakat yang sudah tertanam jiwa patriot cinta tanah air diakibatkan statement tersebut dikhawatirkan mereka tidak teguh pendirian, mereka bisa saja beranggapan kalau cinta tanah air itu tidak ada hadisnya/dasarnya dalam agama, dan cinta tanah air itu tidaklah menjadi sebuah keperluan.

Lantas bagaimana kelanjutan dari kejelasan statement tersebut, apakah dengan terbuktinya bukan bagian dari hadis maka kita tolak hal yang menjadi substansi didalamnya?. Sebenarnya memang benar statement tersebut bukanlah sebuah hadis seperti apa yang beredar luas di masyarakat, tapi tidaklah seharusnya kita menolak hal tersebut secara mentah-mentah dikarenakan hal itu bukan bagian dari hadis, lagipula tujuan dan makna dari statement tersebut adalah baik yaitu mengajak masyarakat Indonesia punya kesadaran untuk mencintai tanah kelahirannya. 

Walaupun statement itu bukanlah hadis ternyata makna dari statement tersebut punya landasan hadis lain dengan makna atau tujuan yang sama, dalam kitab hadis Sahih Bukhari, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas, 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي حُمَيْدٌ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ، فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ المَدِينَةِ، أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: زَادَ الحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ، عَنْ حُمَيْدٍ: حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا 

Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abu Maryam, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata, telah mengabarkan kepada saya Humaid, bahwa dia mendengar Anas radhiyallahu anhu berkata, “Rasulullah bila pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah, beliau mempercepat jalan unta beliau dan bila menunggang hewan lain beliau memacunya.” Abu ‘Abdullah Al Bukhariy berkata, Al Harits bin ‘Umair dari Humaid: “Beliau memacunya karena kecintaannya (kepada Madinah).

Dalam redaksi hadis tersebut menjelaskan ketika Rasulullah ﷺ melakukan safar keluar kota Madinah, dan apabila Rasulullah ﷺ kembali dari safarnya beliau mempercepat langkah kendaraannya ketika melihat dataran tinggi kota Madinah dari kejauhan, lalu dalam hadis tersebut juga ada riwayat dari humaid bahwa alasan Rasulullah ﷺ mempercepat langkah kendaraannya ketika kembali ke Madinah adalah rasa cintanya kepada Madinah, jadi seakan-akan beliau rindu kepada Madinah setelah beliau tinggalkan ketika safar.

Dalam penjelasan lain, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari syarah kitab Sahih Bukhari menerangkan tentang hadis ini, bahwasannya hadis ini menjadi landasan disyariatkannya cinta dan rindu terhadap tanah air. Jadi memanglah statement حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ bukanlah sebuah hadis, tetapi substansi dari statement tersebut tidaklah berlawanan dengan syariat agama islam karena punya dasar dimana ada hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mempercepat kendaraannya ketika beliau melihat kota Madinah selepas safar dengan alasan cinta dan rindu terhadap kota Madinah, dan kejadian tersebut di maknai oleh ulama salah satunya Ibnu Hajar al-Asqolani sebagai dalil di syariatkannya cinta tanah air, jadi dalil cinta tanah air itu imlpisit tidak secara gamblang dikatakan Rasulullah ﷺ.

Lalu solusi bagi pendakwah yang menggunakan statement حُبُّ الوَطَنِ مِنَ الإيمانِ sebagai materi dakwahnya lebih baik meberikan kejelasan terhadap masyarakat tentang hal ini, mereka sebaiknya menjelaskan kalau statement ini bukanlah hadis tetapi statement ini punya legitimasi secara substansi maknanya, karena adanya hadis lain yang menjelaskan kalau cinta tanah air itu disyariatkan dalam agama islam sesuai apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, karena meriwayatkan sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ tetapi tidak terbukti kebenarannya hal itu dari Rasulullah ﷺ adalah dilarang.

*Santri Tebuireng.

محمد بن إسماعيل أبو عبدالله البخاري الجعفي, صحيح البخاري, دار طوق النجاة, الطبعة: الأولى 1422هـ, ص 7 ج 3 رقم 1802

 ابن حجر العسقلاني ,فتح الباري لابن حجر, دار المعرفة بيروت ,3/620