Berkaitan resensi Buku Guru Sejati yang mana meninginkan adanya klarifikasi atas beberapa hal, terutama soal tahun kejadian yang bertolak belakang dengan buku-buku yang lain: Terutama tentang penamaan Tebuireng pada 1906, juga pendirian Pabrik Gula Tjukir dan penyerangan pesantren Tebuireng oleh tentara Hindia Belanda telah memohon untuk diklarifikasi oleh penulis Guru Sejati Hasyim Asy’ari.
Penulis perlu sampaikan, bahwa penulisan tanggal kejadian tersebut ditulis berdasar rujukan atas buku Mengenang 100 tahun Pondok Pesantren Tebuireng karya KH. Ishom Hadzik yang juga merupakan cucu dari Mbah Hasyim. Penulis berkeyakinan bahwa buku yang ditulis oleh Gus Ishom tersebut telah dilakukan melalui penyeleksian referensi yang valid dari berbagai sumber literatur tentang Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Penulis berkeyakinan bahwa buku tersebut memiliki keakuratan yang cukup baik dibanding buku-buku lain yang pernah terbit.
Koreksi dan kritik atas buku Guru Sejati tentu sangat berarti bagi penulis, karena dengan ini penulis dapat menjelaskan lebih dalam soal sejarah Tebuireng, mengingat sejarah Tebuireng hingga saat ini masih banyak versi dan perlu penggalian secara cermat dan mendalam, maka atas dasar itu penulis merasa dituntut untuk mengkaji dan menyempurnakan kesejarahan KH. Hasyim Asy’ari dan Pondok Pesantren Tebuireng. Sebab kedudukan Pesantren Tebuireng menurut penulis sangatlah penting didalam perjuangan Islam di tanah Jawa. Dengan menggali dan menyajikan sejarah Tebuireng secara jelas dan mendalam agar tidak lagi terjadi kesimpang siuran sejarah Tebuireng dan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Sebab dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan.
Berdirinya Pabrik Gula Tjukir dan Pondok Pesantren Tebuireng adalah seperti minyak dan air, keduanya memiliki kepentingan yang berbeda. Pabrik Gula yang mewakili kepentingan kapitalis, tentu tidak pernah berfikir akan adanya dampak dekandensi moral pada masyarakat sekitarnya. Kerusakan moral yang begitu luar biasa inilah yang pada akhirnya mendorong KH. Hasyim Asy’ari turun gunung untuk memperbaiki keadaan masyarakat yang sudah cenderung menjadi jahiliyah. Kisah pertarungan kepentingan antara Pabrik Gula Tjukir dan Pesantren Tebuireng inilah yang dicoba oleh penulis sampaikan secara detail agar masyarakat bisa belajar banyak tentang perjuangan KH. Hasyim Asy’ari dalam membangun peradaban di Kebo Ireng. Tebuireng adalah entitas yang sangat penting terhadap model pesantren di Indonesia, Tebuireng yang juga merupakan pondasi awal pondok pesantren salafiah syafi’iyah di Indonesia
Tentang koreksi yang demikian penting tersebut, ada hal yang jauh lebih penting untuk menjawab tentang kesimpang siuranya sejarah Pondok Pesantren Tebuireng dan kisah Kebo Ireng. Niat awal penulisan buku Guru Sejati adalah penulis ingin menjabarkan, menelisik dan menggali dari berbagai sumber soal sejarah Tebuireng secara benar dan komprehensip.
Sosok KH. Hasyim Asy’ari adalah pribadi yang sangat sederhana, tidak mau menonjolkan diri, bahkan untuk difoto sekalipun, beliau sangat berkeberatan. Nyaris hanya sebuah foto yang terlihat samar ketika Mbah Hasyim sedang dalam pertemuan dengan Laksamana Maeda. Maka, tidaklah heran bila sampai hari ini belum satupun foto KH. Hasyim Asy’ari yang bisa dikatakan sesuai dan cocok dengan wajah asli Beliau, masih banyak yang berdebat soal ada jenggot atau tidak ada jenggot, termasuk baju kesukaan Beliau? Sebab menurut yang sempat menemuai Beliau pada masa itu, KH. Hasyim Asy’ari itu selalu rapi, wangi dengan baju jas model krah shanghai dan selalu memegang tonggat rotan yang multi fungsi; biasa digunakan untuk melempar pintu kamar santri agar bangun shalat subuh, atau memukul santri yang nakal (tentu mukulnya terukur dan tidak membahayakan).
Menurut pendapat penulis, hingga hari ini belum pernah ada penyajian sejarah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan Tebuireng yang bisa dikatakan akurat. Dalam hal soal foto pribadi saja, masih banyak pihak memperdebatkan, apalagi sejarah, nama dan kondisi Tebuireng masa lalu, pastilah banyak versi yang sumbernya bisa jadi dari utak atik ghatuk(dicocok-cocokkan).
Melihat kondisi yang demikian, maka penulis yang melihat, mendengar dan merasakan adanya kesimpang siuran ini, penulis terpanggil dan berusaha keras untuk merangkai penulisan yang rujukan penulisan buku Guru Sejati Hasyim Asy’ari diambil dari berbagai sumber baik penulisan maupun dari cerita rakyat yang berkembang hingga hari ini, dan tentunya cerita langsung dari orang tua (usia saat ini 91 tahun) yang mengalami hidup bersama Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang semakin memperkaya kejelasan sejarah yang dimaksud.
Bahwa Tebuireng berasal dari daerah hitam, semua pihak pasti setuju. Dari hasil penelusuran soal kisah Tebuireng yang berawal dari kawasan dunia hitam yang bernama Kebo Ireng, banyak kisah sejarah yang masih belum terungkap di masyarakat luas. Kawasan Kebo Ireng adalah sebuah sarana yang diciptakan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam rangka merusak mental masyarakat pribumi. Budaya Mo-limo(madat, main, mabuk, madon, dan maling) adalah sebuah kesengajaan untuk meredam gejolak masyarakat. Konsep ini diberlakuan di setiap pabrik gula yang didirikan pada masa itu. Dan khusus Kebo Ireng, kawasan ini sangatlah fenomenal sehingga melahirkan cerita rakyat tentang penguasa Kebo Ireng yang bernama Kebo Kicak. Kisah Kebo Kicak telah menjadi folklore(cerita rakyat) yang pada jaman PKI melalui Lekra, cerita ini telah dibajak untuk menjelekkan Surontanu(tokoh dari pesantren yang melawan penjajah) dan menempatkan Kebo Kicak( penjahat papan atas) sebagai pahlawan.
Dengan menulis Guru Sejati pada saat sekarang ini, penulis telah menelusur dan merangkai jejak kisah Kebo Ireng dan Surontanu untuk menjadi lebih jelas terkait dengan sejarah Tebuireng. Berdasar literatur dan cerita orang tua serta masyarakat sekitar, bahwa cerita yang dimaksud terlahir dan tidak terlepas dari adanya Kebo Ireng(pusat peradaban dunia hitam) dan di kemudian hari diganti oleh KH. Hasyim Asy’ari menjadi Tebuireng (sebuah pengharapan agar para santri yang dididik Beliau akan menjadi/menghasilkan kualitas gula terbaik seperti halnya Tebuireng, bukan Kebo Ireng lagi).
Dan yang tak kalah pentingnya, Guru Sejati ingin mengungkap pelajaran politik Islam dari Hadratussyaik Hasyim Asy’ari yang rahmatan lil alamin di dalam melawan penjajah Hindia Belanda. Hadratussyaikh sadar betul bahwa perang mengangkat senjata seperti halnya Perang Diponegoro belum tentu berhasil dengan baik. Perang diplomasi model KH. Hasyim Asy’ari dengan mengedepankan sikap dan perilaku kesehariannya yang selalu melindungi yang lemah, mengobati yang sakit, menyedekahkan kekayaannya untuk mendidik santri dan masyarakat sekitarnya. terbukti berhasil dengan gemilang. Dengan model perjuangan politik semacam inilah, Beliau sukses besar dan memenangkan “peperangannya” dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda tanpa pertumpahan darah.
Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari memilih model perjuangan tanpa konfrontasi melawan penjajah Hindia Belanda, karena menurut Beliau perjuangan yang dilakukan dengan kekerasan akan berakhir sia-sia. Jika menyimak dengan baik buku Guru Sejati, maka para pembaca akan mendapat gambaran seperti apa hebatnya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari memainkan strategi politik dalam membangun peradaban yang warisan secara fisik maupun ajaran Ahlussunah waljama’ah di Pondok Pesantren Tebuireng terus hidup dan berkembang hingga hari ini. Sangatlah disayangkan bila kisah yang luar biasa dari seorang Guru Besar Nahdatul Ulama ini tidak tersaji dengan baik dan benar.
Demikian klarifikasi dari penulis agar dapat dimengerti oleh para pembaca sekalian, semoga penjelasan ini dapat memberi pencerahan dan bermanfaat bagi kita semua untuk terus belajar dan mengamalkan ajaran Hadratussyaikh Hasyim As’ari.
*Masyamsul Huda, Penulis buku Guru Sejati.
(Putra dari H. Ahmad Riyadi, Cucu dari H. Abdul Hadi dan Cicit dari Sakiban(pemilik tanah asal Tebuireng, sebelum dibeli KH. Hasyim Asy’ari)
(Telah dimuat di Nu Online tertanggal 26 Juli 2015, dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan)