Minahasa merupakan nama suku sekaligus nama daerah di Sulawesi Utara. Wilayah Minahasa Raya meliputi Manado, Kota Bitung, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan, dan Kabupaten Minahasa Tenggara.
Dulunya wilayah ini digunakan sebagai tempat berkumpul untuk berunding orang-orang Spanyol dan Minahasa, khususnya mengenai perdagangan. Lokasinya yang berada di pesisiran membuat daerah ini menjadi tempat perdagangan untuk orang-orang luar Minahasa dengan orang-orang Minahasa pribumi.
Di Tanah Minahasa ini, khususnya Manado telah dikenal sebagai daerah Indonesia yang relatif aman dari konflik SARA. Berbeda dengan wilayah-wilayah Indonesia lain, meskipun pemeluk Islam hanya sekitar 30 persen (berdasarkan data BPS), namun masuknya Islam di Minahasa Raya telah memberikan warna tersendiri hingga saat ini.
Islam dulu
Membahas mengenai Islam di Tanah Minahasa, Kampung Jawa Tondano menjadi rujukan awal yang sarat akan nuansa Islam yang kuat di wilayah ini. Meskipun demikian, Agama Islam pertama kali masuk di wilayah ini melalui Belang pada 1525, bukan Kampung Jawa Tondano. Pada saat itu, agama Islam dibawa oleh seorang Arab yang menikah dan menetap di Belang hingga akhir hayatnya. Pernikahan tersebut menghasilkan keturunan yang hingga sekarang dikenal keluarga Paris (kependekan dari Pak Rais).
Dalam perkembangannya, menurut A. E. Rompas dan A. Sigarlaki dalam Sejarah Masuknya Islam di Kota Manado (1982), Islam masuk ke Manado pada 1684 bersama dengan datangnya buruh-buruh yang dibawa oleh kompeni untuk mendirikan barikade, yang juga dijadikan tempat penyimpanan barang-barang dagangan. Sebagian buruh yang didatangkan tersebut berasal dari Makasar dan Ternate, yang pada umumnya memeluk agama Islam.
Dalam penyebaran Islam selanjutnya, Islam masuk Minahasa Raya dibawa oleh pejuang perintis kemerdekaan yang diasingkan oleh pemerintah Kolonial Belanda dari daerah masing-masing. Pejuang-pejuang kemerdekaan yang dibuang oleh penjajah Belanda meningkatkan perkembangan Islam yang signifikan di tanah ini.
Pejuang-pejuang kemerdekaan yang diasingkan di Minahasa Raya ini di antaranya Kiai Mojo, Kiai Hasan Maulana, Pangeran Ronggo Danupoyo, Tuanku Imam Bonjol, K.H. Ahmad Rifa’i, Sayid Abdullah Assagaf, Gusti (Pangeran) Perbatasari, dan dari kelompok Banten ada Haji Saparua, Sultan Najam II, dan lain sebagainya. Tiap-tiap pejuang tersebut mempunyai kontribusi masing-masing dalam menyebarkan agama Islam, khususnya di wilayah tempat mereka diasingkan. Misalkan saja Kiai Mojo dan Tuanku Imam Bonjol.
Dalam perkembangan Islam di Minahasa khususnya Tondano tidak dapat dilepaskan dari kehadiran dan upaya Kiai Mojo. Kiai Mojo yang lahir dengan nama asli Muslim Muhammad Halifah, semasa hidupnya tidak hanya mempelajari agama, tetapi juga mempelajari ilmu kanuragan. Ia ditunjuk sebagai panglima perang untuk memerangi tentara Belanda. Akan tetapi, Kiai Mojo berhasil ditangkap Belanda pada 17 November 1828 di Dusun Kembang Arum, Jawa Tengah. Belanda membawanya ke Batavia dan diasingkan ke Tondano-Minahasa hingga akhir hanyatnya, tepatnya 20 Desember 1849.
Tidak sendirian, pengasingan di Tondano tersebut juga dirasakan oleh salah satu putranya yang bernama Gazaly, lima kerabat dekat yang masih ada pertalian darah (Tumenggung Reksonegoro Kiai Pulukadang, Tumenggung Zess Pajang, Ilyas Zess, Wiso/Ngiso Pulukadang, dan Kiai Baderan/Kiai Sepuh), dan lebih dari 50 orang pengikut laki-lakinyanya. Setahun kemudian, istrinya pu menyusulnya ke Tondano.
Selama diasingkan, Kiai Mojo mendirikan Kampung Jawa Tondano di Minahasa. Di sinilah hampir semua pengikutnya menikahi wanita Tondano, yang melahirkan beberapa keluarga dengan nama keluarga Pulukadang, Mojo, Baderan, Zess, Kiai Demak, Suratinoyo, Nurhamidin, Djoyosuroto, Sutaruno, Kiai Marjo, dan lain-lain. Pernikahan silang suku Jawa Tondano inilah yang menjadi faktor perkembangan Islam di Tondano hingga saat ini.
Meskipun wilayah ini merupakan perkampungan Jawa Tondano namun dapat ditemui juga orang-orang Arab dan keturunannya yang tinggal di sini. Kiranya ini tidak lepas dari peran Sayid Abdullah Assagaf yang diasingkan juga oleh Belanda ke Tondano pada 1880, karena dianggap telah menghasut masyarakat untuk melawan Belanda. Setelah ia menikah dengan wanita Kampung Jawa Tondano, begitu pula dengan anaknya, mereka melahirkan generasi famili Assagaf dan famili Catradiningrat.
Kedatangan mereka inilah yang akhirnya memberikan warna lain di budaya Kampung Jawa Tondano. Hal ini tidak terlepas dari darah Arab yang dimilikinya sehingga memperkaya budaya di kampung ini yang awalnya kental dengan budaya Jawa. Pentransferan budaya Arab-Sulawesi dengan budaya Jawa inilah yang pada akhirnya melahirkan budaya Jaton generasi ketiga.
Selain Kiai Mojo dan Sayyid Abdullah Assegaf, Peto Syarif atau yang dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol juga mempunyai kontribusi besar terhadap penyebaran agama Islam di Tanah Minahasa. Imam Bonjol mengalami kekalahan saat Perang Padri melawan Belanda. Pada 1837. Imam Bonjol kalah dan diasingkan ke beberapa tempat yang berakhir di Minahasa.
Di Minahasa, Tuanku Imam Bonjol bergerak di Distrik Kakaskasen sampai Desa Koka. Di daerah-daerah tersebut ia sempat membuka usaha pertanian, peternakan kambing, ayam, dan lain-lain. Ketika berada di Lotah Imam Bonjol semakin taat dalam menjalankan ibadah sehingga menarik banyak umat Islam yang telah lebih dulu berada di Minahasa. Bahkan seorang bekas tentara Belanda bernama Apolos Minggu tergugah hatinya untuk beralih masuk Islam.
Beliau wafat pada 6 November 1864 dan dimakamkan di Desa Lotak Pineleng sekitar 25 km dari Tondano ke arah Manado. Sepeninggal beliau, sebagian pengikut Imam Bonjol menikahi wanita Kampung Jawa Tondono, yang menurunkan keluarga dengan marga Baginda di Minahasa saat ini.
Hikmah Pengasingan
Segala sesuatu telah digariskan oleh Allah SWT. dengan segala hikmah-Nya. Apa yang tampak buruk belum tentu buruk, begitu pula sebaliknya. Hal ini tidak terkecuali apa yang dialami oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia, khususnya para pejuang Islam yang berusaha untuk melawan kolonialisme Belanda. Akibat dari penentangan kolonialisme dan aksi para pejuang untuk menyebarkan agama Islam secara gencar, membuat mereka dibuang. Ketakutan para tentara Belanda terhadap penyebaran agama Islam secara masif membuat mereka membuang pejuang-pejuang tersebut ke daerah yang terpencil dan minoritas non muslim agar gerakannya dapat ditekan dan tidak disukai oleh pemeluk agama lain.
Siapa yang menyangka pengasingan pejuang di Minahasa akan menjadi sumber oase tersendiri bagi penyebaran agama Islam. Ekspektasi Belanda justru berbalik membawa hikmah yang patut disyukuri. Wilayah yang hampir seluruh penduduknya menganut Kristen Protestan pada waktu itu, di mana lebih dahulu dibawa oleh para pedagang dari Eropa, setelah kedatangan para pejuang Islam, agama umat Nabi Muhammad tersebut menjadi berkembang. Perkembangannya bahkan tidak stagnan seperti yang diproyeksikan Belanda. Malah sebaliknya Islam mendapatkan tempat di hati penduduk setempat.
Dengan bekal kemampuan bertani, beternak, berdagang, dan pertukangan yang telah dikuasai ketika para pejuang—khususnya yang dari Jawa—masih berada di kampung asal masing-masing, mereka mampu mengambil hati penduduk dan raja setempat. Keahlian pejuang yang diasingkan tersebut membantu memajukan bidang-bidang tersebut di tanah pengasingannya.
Kebaikan mereka untuk membantu dan membagikan ilmu bidang-bidang tersebut memberikan kepercayaan kepada masyarakat setempat untuk juga berbuat baik kepada orang-orang Islam. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian memeluk Islam dan menikah dengan para pejuang-pejuang yang diasingkan tersebut. Selain itu, kesenian yang bernuansa islami, seperti Slawatan Melayu, yang telah diasimilasi dengan budaya setempat juga membuka pintu gerbang Islam di hati masyarakat.
*Alumni SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng dan sekarang menjadi staff Divisi Balitbang Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng