Oleh : Farha Kamalia*

Islam Kini

Sebelum Indonesia merdeka, jihad yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya para pejuang adalah melawan penjajah. Nasionalisme mereka yang tinggi memberikan semangat untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Setelah kemerdekaan Indonesia, kini wajah jihad bukan lagi dengan memerangi penjajah. Perang melawan hawa nafsu dan penguatan iman dan takwa menjadi jihad nyata saat ini.

Dibanding dengan pemeluk Islam di Minahasa Raya sebelum datangnya pejuang Islam, kini pemeluk Islam di sana meningkat meskipun bukan mayoritas. Meskipun dengan jumlah yang tidak dominan, bukan berarti umat Islam tidak dapat melakukan ritual ibadahnya. Semangat jihad para pendahulu terwariskan pada generasi muslim saat ini di Minahasa. Suasana jihad terasa begitu kental, meskipun bukan dalam bentuk memerangi penjajah. Mereka berjalan di jalan Allah salah satunya dengan meramaikan rumah-rumah-Nya.

Jumlah masjid di wilayah ini tidak sebanyak umumnya di Jawa, yang pada umumnya dapat ditemui dalam radius kurang lebih 500 meter. Walaupun jumlahnya yang sedikit, namun semangat mereka untuk menghidupkan masjid tak lantas surut. Selain digunakan untuk shalat lima waktu, masjid-masjid digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain, seperti belajar mengaji untuk anak-anak. Tidak hanya di tempat terpencil, di tengah-tengah kota dekat pusat perbelajaan di Manado pun dipenuhi anak-anak yang semangat untuk belajar mengaji setelah shalat maghrib. Semangat mereka untuk menegakkan syari’at Islam tidak lekang oleh jarak dan waktu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

CYMERA_20140724_220348[1]Toleransi

Oase yang diwariskan para pejuang Islam yang diasingkan di Tanah Minahasa tidak hanya perkembangan Islam yang meningkat di kala itu. Hingga saat ini, warisannya yang juga dapat dirasakan di tanah pengasingan ini adalah toleransi antarumat beragama.

Meskipun diasingkan di wilayah yang mayoritas non muslim, namun dengan perilaku yang baik mampu membangun rasa kepercayaan sesama. Kepercayaan yang telah dibangun sejak lama itu hingga kini tetap berlangsung, yang berbuah saling menghargai apa yang diyakini satu dengan yang lain. Tidak salah apabila Minahasa Raya ini dikenal sebagai tempat yang ramah perbedaan dengan toleransi umat beragama yang tinggi.

Masyarakatnya memiliki semboyan “Torang Samua Ba’saudara”, yang artinya “”kita semua bersaudara””. Tidak hanya dibiarkan sebagai semboyan semata, masyarakatnya mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan sampai mendarahdagingnya semboyan ini, Bukit Doa dijadikan simbol kerukunan umat beragama. Di bukit ini terdapat lima tempat ibadah agama, yaitu masjid (Islam), dua gereja (Katholik dan Kristen Protestan), vihara (Budha), dan pura (Hindu), di mana pemeluknya dapat melakukan peribadatan dengan hikmat di sana. Di kaki bukitnya, sebuah monument berbentuk segi lima, yang diberi nama Tugu Toleransi, didirikan dengan ukiran gambar dan simbol setiap sisinya, yang disertai kutipan ayat Kitab Suci masing-masing agama. Ayat kitab suci Alquran yang dikutip berbunyi, “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”, mengingatkan kita untuk selalu berbuat baik dan tidak menyulut api permusuhan.

Toleransi umat beragama dapat ditemui dengan mudah di kehidupan sehari-hari masyarakat Minahasa. Meskipun masyarakatnya memeluk agama yang berbeda-beda, namun mereka tetap memelihara kerukunan. Saling memahami kebutuhan beribadah tiap-tiap individu selalu dijaga. Setiap pendatang yang mengunjungi wilayah ini, akan merasakan hal yang sama. Dengan mayoritas penduduknya yang memeluk agama Kristen, akan ada banyak gereja yang didirikan dan upacara-upacara keagamaan yang diadakan baik di rumah penduduk maupun di gereja. Ketika mereka melakukan ibadah bahkan hingga larut malam, seperti pada malam Natal, umat agama lain tidak mengganggu dan tidak pula protes. Bahkan pemuda-pemuda Anshor ikut membantu menjaga gereja. Begitu juga sebaliknya, ketika umat Islam melakukan ibadah, khususnya pada bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, mereka akan menghormati. Namun demikian, umat Islam juga tidak lantas semaunya menggunakan pengeras suara luar ketika sudah malam. Semua mencoba untuk saling mengerti kebutuhan dan batasannya.

Masih banyak lagi cerita tentang kerukunan umat beragama di sini, seperti saling membantu memperbaiki tempat ibadah yang rusak, saling memberi salam dan sapa tanpa pandang agama, suku, dan ras, bahkan terhadap orang yang belum dikenal sekalipun. Nilai toleransi mereka sudah tertanam sejak kecil. Meskipun toleransi umat beragama di sini tinggi, bukan berarti tidak pernah ada kesalahpahaman antarumat beragama. Hal terpenting adalah bagaimana mentransformasi kesalahpahaman tersebut ke arah positif. Hal ini pernah dialami umat Islam ketika melakukan sholat Idul Fitri di alun-alun yang sudah menjadi rutinitas tahunan. Dalam waktu yang singkat, kesalahpahaman dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian, perdamaian tetap terjaga.

Toleransi dan kerukunan antarumat beragama yang dijunjung tinggi, tidak berlebihan apabila penulis menyebut Minahasa Raya sebagai role model wilayah kerukunan antarumat beragama. Apabila mengunjungi setidaknya salah satu wilayah Minahasa Raya, kita dapat merasakan bagaimana indahnya perbedaan yang disertai dengan toleransi.

Saatnya kita merefleksi diri kita masing-masing. Jangankan berbeda agama, dengan sesama muslim namun beda aliran, apakah kita sudah dapat menerima perbedaan dan menyikapinya dengan baik? Karena Nabi kita Muhammad SAW. telah mengajari kita untuk berbuat baik terhadap siapapun sekalipun orang-orang yang berbeda agama. Islam kita adalah Islam ramah, bukan Islam marah. Islam Toleran, Bukan Islam Tawuran.

*Alumni SMA A. Wahid Hasyim Tebuireng dan sekarang menjadi staff Divisi Balitbang Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng