Oleh: Muhammad Ibnal Randhi*
Apakah tujuan sebenarnya manusia diciptakan? Apakah hanya untuk mencari kebahagian dunia saja? Atau mencari kebahagiaan dalam ketaatan, hingga melupakan urusan duniawinya? Perihal kebahagiaan rasanya tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang tidak ingin merasakan kebahagiaan terlebih manusia yang esensinya haus akan keserakahan ingin selalu merasakan kebahagiaan atas kehidupan yang dijalani, bagaimana pun caranya.
Meskipun objek kebahagiaan ini di tafsirkan dalam lensa yang berbeda-beda seperti melihatnya dari segi finansial, relasi, intelektual, spiritual dan sebagainya, sesuai dengan sifat yang diinginkan. Sehingga tidak dapat dialihkan dan kita pun sepakat bahwa tujuan tertinggi keberadaan manusia adalah memperoleh kebahagiaan (sa’adah) baik di dunia maupun di akhirat. Agnostik ini dijelaskan dalam berbagai ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an salah satunya, surah Al-Nahl ayat 97:
“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Tidak hanya itu dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw. mengungkapkan “Dunia adalah neraka bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir,” atau dalam tafsiran masyarakat awam jika ingin merasakan kebahagiaan di akhirat kelak, maka kita harus hidup sensara di dunia yang di tempati ini. Pemaknaan tersebut membuat sekelompok masyarakat beranggapan bahwa orang dengan iman yang kuat dominan akan memiliki hidup sedih, murung, dan cepat putus asa atau tidak layak merasakan kebahagiaan dunia dikarenakan ia harus berperang melawan syahwatnya.
Namun hadis Nabi Saw. tersebut dijelaskan secara eksplisit oleh cucu Nabi Muhammad Saw. yakni Hasan bin’ Ali bin Abi Thalib. Menurut Tarikh Khulafa yang ditulis oleh Imam As-Suyuthi Hasan merupakan putra pertama dari pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Az-Zahra. Ia lahir pada 15 Ramadhan 3 Hijriyah atau 1 Desember 624 M.
Menurut kisahnya ia dikenal oleh penduduk jazirah Arab dengan sebutan Abu Muhammad memiliki penampilan yang rapi, bersih, wangi, kehidupan yang mewah dan tidak pernah luput dari ketaannya terhadap Allah SWT serta kedermawaanya kepada sesama sahabat kala itu. Hingga orang-orang kafir pada zaman itu membenci dan memfitnahnya lalu mehadangnya sembari orang kafir itu berkata:
Fulan: “Saat itu beliau (Nabi Muhammad) pernah mengatakan, kalau dunia tempat kita berpijak ini adalah penjara bagi orang beriman, namun paradoksnya dengan apa yang disampaikan oleh Nabi, Anda selalu berpenampilah mewah, elegan, selalu berbagi bahkan ke seekor anjing yang kelaparan, dan terlihat bahagia setiap harinya.
Lalu Ali menjawab: “Hidup yang kujalani saat ini meski terlihat bahagia dan penuh kenikmatan di dunia, namun jika dibandingkan dengan kebahagian serta kenikmatan yang akan kudapatkan kelak di akhirat, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami, tidak ada artinya. Renungkan betapa melimpahnya kebahagiaan yang kudapatkan jikalau aku masuk surga-Nya nanti dengan ketaatan serta terus menebarkan kebaikan untuk dunia beserta isinya ini. Sedangkan Anda melakukan kekafiran di dunia, maka akan mendapatkan kekafiran juga selama di akhirat, kecuali Anda memohon ampunan dan bertaubat kepada-Nya.
Sehingga dari jawaban Ali terhadap si fulan di atas dapat di simpulkan mengenai perkataan Nabi Muhammad Saw. bahwa kebahagiaan di dunia ini berada pada tataran yang sangat jauh lebih rendah dan relatif dibandingkan dengan kebahagiaan yang kita dapatkan di akhirat kelak. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Hadid ayat 20:
”Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan di dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak turunan. Seperti hujan yang tanam-tanamanya mengagumkan para petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan palsu.
Kemudian ayat lain yang menerangkan bahwa kebahagiaan di surga secara tidak sadar manusia telah memperolehnya saat ia masih berada di dunia. Terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 25:
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada oranh-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, “inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan disana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal didalamnya.
Jika di telaah secara transenden terdapat ayat yang mengatakan “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu. Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa”. Maknanya, penghuni surga telah mengatakan kebahagiaan yang dirasakan di surga, telah mereka rasakan selama manusia masih berada di dunia, namun kebahagiaan itu memiliki batasan tertentu saat diperolehnya selama di dunia.
Jadi, jika kembali pada pembahasan awal yakni apa tujuan manusia diciptakan ialah untuk selalu taat kepada-Nya dan berbuat kebajikan dalam hidup yang di jalani di dunia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan bin Abi bin Thalib, inilah sejatinya perjalanan hidup yang seharusnya dilalui oleh seorang manusia, dengan memiliki kehidupan yang bahagia di dunia namun tidak pernah luput terhadap ketaannya kepada Sang Tuhan demi mencapai tingkatan kebahagiaan yang kekal suatu saat di akhirat . Seraya penyampaain Allah SWT terhadap ciptaa-Nya:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan senantiasa berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Qs. Al-Qasas, ayat 77.