Oleh: Ibhar Cholidi
Mungkin ada yang menilai hal ini tak elok, mensejajarkan Kiai Syansuri Badawi dengan satu di antara tiga teoritisi pendidikan yang sangat laris dikutip di dunia pendidikan dan bahkan menjadi madzhab nativisme, Schopenhauer. Kendati, cukup menarik mencermati pandangan dan sikap Kiai Syansuri sembari melirik pemikiran Schopenhauer.
Setiap santri secara natural memiliki fithrah dan ini adalah potensi bawaan yang positif. Di sinilah pendidikan mesti paralel dan berangkat dari keyakinan kemampuan itu yang secara instrinsik bersemayam dalam diri masing masing santri. Oleh karena itu bisa dimengerti jika Kiai Syansuri menyerahkan dan memberi keleluasan yang begitu besar kepada al Thullab, kiai Syansuri sekedar mengarahkan, mengingatkan dan menyadarkan.
Dapat dipahami pula bila sepanjang saya di Pesantren Tebuireng tak pernah sekalipun saya memergoki Kiai Syansuri marah, menghardik dan apalagi menyumpah serapah santri. Senantiasa yang saya jumpai, menyemai altruisme begitu besar kepada santri, menebar optimisme, egaliter dan tak memberi ruas seinci pun pembedaan kepada para santri.
Tak pelak, kiai Syansuri memperlakukan sama kepada masing masing santri, tak memiliki santri yang “dielus-elus” secara khusus. Tidak memberlakukan metodologi pendidikan tertentu atau spesifik untuk melahirkan santri dengan kriterium tertentu pula.
Balutan paradigma pendidikan yang menyerupai madzhab nativisme itulah yang muara sikap kiai Syansuri demikian lembut, sayang dan tak pernah melampiaskan amarah kepada para santri. Kalau toh terdengar dan dijumpainya fenomena kenakalan santri, selalu responnya senyuman dan ekspresi edukatif yang melambung tinggi. Tak heran jika ungkapan “anak-anakku” sangat akrab, trademark dan acapkali meluncur deras dari Kiai Syansuri.
Apakah bisa dikatakan, kiai Syansuri seorang Schopenhauer-an lantaran balutan madzhab nativisme ? Nanti dulu, bahkan malah mungkin saja Kiai Syansuri tak pernah secara khurus mendaras nativisme-nya Schopenhauer. Yang paling mungkin, justru teori fithrah-lah yang berpengaruh kepada Kiai Syansuri.
Sebagaimana dinarasikan dalam sejumlah tafsir, merujuk fithrah dalam teks firman-Nya, memiliki tafsir “at tauhid” dan “mailan lidinillah”. Artinya, setiap manusia sejak mula mempunyai potensi bawaan yang suci dan karakter yang baik. Di sinilah fungsi pendidikan mengaktualisasikan potensi bawaan dan inilah cara pandang yang melahirkan corak berpikir selalu positif dan husnudzon kepada santri.