Kiai Syansuri Badawi sedang mengajar kitab (sumber: facebook penulis)

Oleh: Ibhar Cholidi

Menelusuri keterpesonaan Kiai Syansuri terhadap politik harus merunut beliau, sekurang kurangnya dari dua sisi, sejarah kehadiran Pesantren Tebuireng berikut dinamikanya dan pandangan terhadap Islam itu sendiri. Tanpa menyertakan dua sisi ini secara simultan, yang akan lahir pasti kesimpulan yang fragmentatif, tidak utuh, dan tidak lengkap.

Pertama, kembali mesti menyingkap balutan historis awal mula lahirnya pesantren Tebuireng. Segera tertumbuk sejumlah realitas, antara lain bahwa teritorial tempat berdirinya Pesantren Tebuireng adalah pusat praktek perilaku tidak bermoral. Bersarang di dalamnya, para kriminal, penjudi dan kupu kupu malam.

Bukan secara kebetulan bila wilayah Tebuireng menjadi daerah “kumuh sosial”. Karena berdekatan dengan PG Tjoekir yang dalam perspektif sosial, ekonomi, budaya dan politik, memanglah tidak diharapkan sebagai berkerumunnya kelas menengah yang kritis kepada penjajah Belanda dan kemapanan budaya ketundukan terhadap produk kolonialisme. Dan benar, para karyawan PG Tjoekir kapitalnya yang diperolehnya selalu ludes di meja judi dan diserap kupu kupu malam.

Wajah strata sosial yang kelam dan tak mendatangkan manfaat apa apa bagi lingkungannya kian melengkapi potret buram masyarkat Tebuireng. Nah, di area seperti itulah hadratusy syekh mengobarkan semangat perubahan. Bukannya instan, menyulap seperti menggosok lampu aladin, melainkan berpeluh dan berdarah-darah menaklukkan masyarakat jahiliyah Tebuireng.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lewat tekad, spirit tak kenal kendur, tadriji, pesantren Tebuireng berhasil didirikan. Masyarakat yang kumuh sosial bukannya diusir, namun justru bertekuk lutut dan menjadi santrinya. Tentu, sulit menampik bahwa perjuangan kiai Hasyim tak berlumuran politik.

Agaknya, hal ihwal sejarah pesantren Tebuireng yang bernuansa politik itulah–tentu ditambah Resolusi Jihad dan konsolidasi politik yang aromanya menyentak di Pesantren Tebuireng, memantik keterpesonaan santri Tebuireng yang begitu kuat kepada politik. Yang ini kelak, kian terlihat pada gambaran alumninya yang menggandrungi politik dan tersebar di semua ruas trias politika baik daerah maupun pusat.

Tidak terkecuali, magnit politik juga bersemayam dan turut mengaduk emosi politik yang sejak mula secara instrinsik telah menyelinap pada diri Kiai Syansuri Badawi. Memori ini belum lapuk untuk mengingat bagaimana spirit politik beliau berhamburan dalam berbagai forum, mengajar di Madrasah Aliyah, membaca kitab kuning, dan dan ceramah-ceramahnya.