Tokoh Pesantren Tebuireng yang menjaga martabat Islam melalui karya-karya (tulisan).

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Menjaga Martabat Islam adalah salah satu buku terbitan Pustaka Tebuireng tahun 2015 yang merangkum tulisan, pesan, pidato, bahkan artikel media dari tiga tokoh Pesantren Tebuireng, seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahid Hasyim, dan KH. Salahuddin Wahid, yang kemarin dikabarkan telah meghembuskan nafas terakhirnya, pada (2/2/20) pukul 20.55 WIB di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta.

Buku yang memiliki 200 halaman ini, telah memuat 18 tulisan tentang KH. Salahuddin Wahid atau kerap disapa Gus Sholah. Adapun 18 tulisan itu, dirangkum oleh tim dari artikel media dan pidato yang Gus Sholah sampaikan dalam sebuah acara. Dari 18 tulisan di dalamnya, terdapat 3 artikel yang khusus membahas tentang “Keindonesiaan dan Keislaman”. Selain itu, Gus Sholah berbicara terkait agama, budaya, dan sosial. Seperti Konflik Agama dan Kesenjangan Ekonomi, Tuntutan Kesalehan Terhadap Lingkungan, Cinta Kepada Sesama, Bersyukur, Menyelaraskan Ibadah Mahdhah dan Perilaku Sosial, bahkan berbicara tentang Kelembutan dan Kekerasan.

KH. Abdul Mun’im DZ, Wasekjen PBNU, menulis dalam kata pengantarnya, bahwa buku ini adalah mata rantai dari perjuangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari bersama puteranya, KH. Abdul Wahid Hasyim dan cucunya, KH. Salahuddin Wahid. Kalau dalam tulisannya, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya memperkuat keimanan, keharusan membangun ukhuwah islamiyah serta kemandirian umat, karena itu memang umat Islam sedang dalam menghadapi tekanan penjajahan Belanda, sementara umat Islam yang beraneka ragam itu sedang dalam pertikaian masalah furu’iyah. Padahal untuk menghadapi Belanda yang sangat kuat, sangat diperlukan persatuan. Selain itu startegi paling jitu menghadapi pengaruh Belanda adalah dengan membangun kemandirian.

Sementara yang ditulis oleh KH. Abdul Wahid Hasyim adalah merupakan pedoman berpolitik umat Islam dalam menghadapi masa pancaroba dan transisi dari pemerintahan Kolonial ke pemerintahan Republik yang penuh gejolak. Dari tulisan inilah beliau memberikan bimbingan politik pada masyarakat mulai dari cara memahami masalah secara utuh dan sekaligus rinci dan bagaimana cara untuk menghadapinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dengan misi yang tidak jauh berbeda tetapi membawa nilai yang sama, Gus Sholah menegaskan perlunya mengedepankan srpiritualitas dalam kehidupan modern yang sangat pragmatis dan materialistis. Penekanan itu penting karena dalam kehidupan modern yang bebas dari nilai itu sebaliknya umat Islam dan NU khususnya justru harus berpegang pada nilai-nilai. Karena dalam tata nilai itulah moral tumbuh dan berkembang. Kalau tidak lagi berpegang pada nilai dan norma agama dan sosial yang disepakati justru akan kehilangan tidak hanya jati diri tetapi kehilangan eksistensi, artinya lenyap diseragamkan dalam globalisasi.

Dalam salah satu tulisannya, mengenai kelembutan dan kekerasan, Gus Sholah mengatakan bahwa teladan utama bagi umat Islam adalah Rasulullah saw, setiap perkataan dan tindakan beliau dijadikan acuan oleh umat Islam saat mereka menghadapi berbagai persoalan. Karena ternyata kini Amerika Serikat juga ada sebuah kecenderungan yang mirip, yaitu dikenal dengan What Would Jesus Do (apa yang akan dilakukan Yesus). Mereka bertanya apakah sikap Yesus kalau menghadapi persoalan.

Rasulullah saw adalah sosok yang lembut dalam berkata dan bersikap, tetapi bisa bersikap tegas apabila diperlukan. Beliau bersikap lembut dalam berbagai contoh, tetapi bersikap tegas dalam berbagai peristiwa. Beliau adalah penglima perang yang menuntut ketegasan. Seorang ahli kepemimpinan pernah membuat istilah “velvet iron leadership” (kepemimpinan beludru dan baja). Mungkin kepemimpinan beliau dimisalkan seperti itu. Yang sulit ialah menentukan kapan harus bersikap seperti beludru dan kapan bersikap seperti baja? Kalau tidak tepat bisa tidak produktif.

Jawaban-jawaban dari pembahasan di atas, ada di dalam buku “Menjaga Martabat Islam” ini. Sebuah buku yang merupakan aliran sungai untuk mewariskan ideologi  perjuangan  dari generasi ke generasi agar terus nyambung. Dengan adanya buku ini dan tulisan ini, beliau berharap bahwa dengan menyebarluaskannya secara luas itu menunjukkan bahwa kiai Hasyim ingin bahwa ideologi perjuangan, kepemimpinan NU bukanlah untuk keturunan sendiri, tetapi menjadi informasi dan sekeligus pengetahuan bagi seluruh warga NU dan masyarakat pada umumnya, sehingga mereka juga memiliki potensi untuk berkembang.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.