وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى القُلُوْبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32).
Minderop (2010) Psikologi Sastra menyatakan, karya akan mencerminkan jiwa seorang pengarang. Itu tertangkap secara tegas ketika penulis menelusuri dan membaca karangan Abul Fadhol yang mencitrakan jati dirinya sebagai kiai sekaligus seorang maestro.
Tentu saja, titik temunya mewujud di dalam kesusastraan religi atau sastra pesantren. Hal ini menjadi tidak terelakkan, jika kita pandang dari sudut penghayatan seorang Abul Fadhol yang seorang santri dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan sepanjang hayat hidup di lingkungan pesantren, menjadikan ia mencenderungi dan selalu menyuarakan “lelaku santri” yang idealisme di dalam karakter serta identitas pemikiran.
Terutama kesungguhan etika maupun kesungguhan estetika, seperti pencarian “al-Jama’ah” dalam Kawakib al-Lama’ah, penegakan qanun asasi dalam disiplin teologis al-Durr al-Farid fi Syarh al-Jauharat al-Tauhid, dan universalitas dalam lokalitas Kasyf al-Tabarih dengan “istikhraj” yang mengagumkan serta nuansa Ahla al-Musamarah yang afirmasi kerakyatan dan kemanusiaan tradisional.
Dari karya-karya Abul Fadhol kita dapat mengetahui bahwasanya Sastra Pesantren bukan hanya berfungsi sebagai “penjagaan” terhadap tradisi ilmu yang diajarkan di pesantren atau madrasah, tetapi juga “pencarian” kepada eksplorasi gagasan dan ekspresi kepesantrenan yang selalu hidup meruang dan mewaktu. Dari sanalah, al-muhafadhah (penjagaan) dan al-akhdzu (pencarian) – meminjam istilah Abdul Wachid BS – merupakan sebuah ritus sekalian estetika yang muncul alami dari kesusastraan asli pesantren.
Jika kita tarik kesimpulan dari pemahaman al-muhafadhah (penjagaan) dan al-akhdzu (pencarian) yang berangkat oleh gagasan/pemikiran Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang mana terekam di dalam diri Kiai Abul Fadhol Senori, setidaknya ada dua hal:
Pertama, Kebebasan Berfikir. Dengan tanpa adanya kekangan dalam mendalami dan menekuni perspektif ilmu, Kiai Hasyim Asy’ari memberikan ruang kebebasan berpikir di dalam tarbiyah, dengan tetap menerapkan metode pesantren Nusantara seperti sorogan, bandongan, musyawarah, dan lain-lain. Dari sini tampak Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari telah mensyi’arkan Fikrah Nahdliyah yang berulang kali dipersoalkan nahdliyyin muda.
Karakter Fikrah Nahdliyah: (1) Moderat (tawassuthiyah), seimbang, tidak ekstrem kanan dan kiri. (2) Toleran (tasamuhiyah), berdampingan damai dengan pihak lain yang berbeda. (3) Reformatif (ishlahiyah), berorientasi perbaikan. (4) Dinamis (tathowwuriyah), berpikir kontekstual. (5) Metodologis (manhajiyah), selalu mengacu pada metode baku.
Kedua, Etos Kerja Intelektual. Sebenarnya inilah perilaku yang mendasari semua karya-karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Bagaimana tidak? Seluruh kitab Mbah Hasyim Asy’ari dari berbagai fan ilmu, bahasa, susunan, juga bahkan latar belakang merupakan dalil yang sangat jelas dari tingginya etos kerja intelektual seorang ulama.
Bahkan keterlibatannya di dalam organisasi, persoalan negara, dan kehidupan masyarakat tiada lain juga wujud dari etos kerja intelektual yang berorientasi pada keshalihan umat.
Di dalam karya-karyanya Kiai Fadhol Senori mengadopsi estetika kata-kata, estetika penulisan, dan syair-syair sebagaimana serupa karakteristik pada karya pustaka Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, gurunya. Bahkan, terlihat tegas kemiripan itu dalam karya yang berbentuk Istiqra’ (penelitian khusus), Tahqiq (validasi), Istikhraj (penggalian hukum), dan Ta’liq (kajian lintas parsial).
Kiai Fadhol juga tidak jarang menunjukkan syair-syair di dalam naskahnya, sebagaimana Mbah Hasyim di dalam karyanya, baik berbahasa Arab atau Jawi. Dan bahkan, karena jiwa kepenyairan yang subur Kiai Fadhol Senori membuat karangan dalam bentuk syair yang spontan ditujukan untuk santri-santrinya. Seperti kitab Tashil al-Masalik fi Alfiyah Ibnu Malik dan al-Wardah al-Bahiyyah.
Tidak berlebihan dengan menyematkan label Sang Maestro kepada Kiai Fadhol Senori. Karena terlihat jelas talenta sastra dan juga etos kerja intelektual asli pesantren dari dalam dirinya.
Sidang Tashih Muktamar NU pada tahun 1963 di Denanyar, Jombang menghasilkan pengakuan terhadap karyanya Kawakib al-Lama’ah yang berisi Tahqiq (validasi) kepada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, untuk disebarkan dan dijadikan pelajaran wajib di pesantren-pesantren dan madrasah Nahdlatul Ulama. Karena di dalamnya memuat penjabaran ringkas dari masalah-masalah Islam Nusantara yang dituliskan dengan esensi pembahasan bernuansa sastra.
Nuansa sastrawi yang dibangun Kiai Fadhol tergambar melalui penghayatan ketukan rima dan pilihan kata dalam tata kebahasaan. Seperti dialek yang disiratkan berdasarkan urutan isi, penggunaan padanan kata baru, dan uraian yang menarik simpati. Tiada lain merupakan penjagaan sekaligus pencarian di dalam “pembelaan” ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, khususnya umat Islam Nusantara.
Maka, layak sudah julukan Sang Maestro disematkan kepada Kiai Fadhol Senori dengan genre “pembelaan”-nya. Terlebih dengan kejuangannya menciptakan syair yang disambung dengan orasinya untuk para nahdliyyin dan disebarkan di setiap Lailatul Ijtima’ di kepengurusan Nahdlatul Ulama.
لِلشّيخِ أبُو الفَضَل السٓنُوْرِي هَذه الرِّسَالة |
||
لازمُوا سنّةَ المُجْتَبَى المصْطفٰىتَهْتدُوا لِطَريقِ النَّجَا والسلَامواقْتَدُوْا بالأئِمَّةِ أهلِ الهُدىهؤلاءُ جمِيعَا نُجُومُ الظُلامالذين دَعَوْا لِلهُدى أُمَمَاواسْلُكُوا سُبُلَ الصالِحينَ الكِرامفي ابْتِغَاءِ سعادَتِكم لا تَنُواودَعُوا بِدَعَ السفَهاءِ اللِئاَميحْمَدُ القومُ عند الصَباحِ الثُّرىفَانْهَضوا وَاعْمَلوا أنْفِقوا للسَلام |
أيُّهَا الإخْوَةُ الكُرَما الشُّرَفَاوطَرِيقةَ أصحابِه الحُنَفَاوالجماعةَ لا تَتْرُكُوا أبَداواتْبَعُوا العُلماءَ الصُّلحا السُّعداوانْهَضُوا أبَدًا نهضة العلماواجعَلُوا حبْلَهُم عَوضُ مُعْتصَمَاواسْمَعوا واَطِيعُوا ولا تَهِنُوااَقدِمُوا لِلمَعَالِي ولاَ اَجْبُنُواواتْرُكُوا كَسَلاً ودَعُوا خوَّارًامَنْ يَجِدَّ يَجِدْ منَ يَهَبْ خَسِرَا |
Penulis: Hasan Munadi (Mahasantri mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng)