Pemimpin perempuan di sebuah organisasi kampus.

Oleh: Albii*

Beberapa kali, saya bertanya kepada teman-teman mahasiswa; “mengapa belum ada perempuan yang kita usung menjadi kandidat pimpinan organisasi?” beberapa kali juga mereka bertanya balik, “mengapa kita belum percaya untuk menunjuk perempuan bahkan itu adalah dari perempuan itu sendiri?” pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari beberapa mahasiswa yang notabenenya adalah agent of chage, agent of control, dan agent-agent lain dalam sebuah perubahan, inovasi tentunya juga pembaruan dalam membangun Indonesia emas, baik itu dari perempuan atau pun laki-laki. Bukankah di dunia pendidikan harusnya kita memahami soal setara dalam kepemimpinan dan beberapa hal dalam pembelajaran? Tak ada diskriminasi!

Namun, sampai saat ini, mengapa masih sedikit bahkan menjadi minoritas perempuan jadi pemimpin sebuah organisasi ataupun instansi? Sering bertanya-tanya kenapa pemimpin selalu dari kaum lelaki? Beberapa orang lantas menjawab menggunakan dalil yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah: “Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah pada perang Jamal yakni tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang kuda guna berperang bersama mereka”. Abu Bakrah meneruskan: saat Kaisar Persia mati, Rasul bersabda: “Siapa yang menjadi penggantinya?” Mereka menjawab: Putrinya. Lalu Nabi pun bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.” (Hadis riwayat Bukhari No. 4425)

Tetapi kita lupa, bahwa masih ada beberapa riwayat lain yang juga mengagungkan dan mengistimewakan perempuan bahkan menerangkan perempuan pantas menjadi pimpinan perang. Beberapa ulama ada yang berpendapat dan mendukung kepemimpinan perempuan dengan menyebutkan kualifikasi bagi penguasa yang juga harus dimiliki seorang perempuan pemimpin.

Seorang pemimpin, misalnya harus memiliki sifat-sifat terpuji, bertingkah laku baik, bijaksana, dan yang sangat penting adalah melakukan amr ma’ruf nahi munkar. Tak dipungkiri perempuan menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan sama dengan laki-laki dalam hal demikian. Tetapi yang menjadi tantangan selanjutnya adalah; apakah para perempuan akan mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari para laki-laki untuk menjadi pemimpin? Inilah pertanyaan dari sekian banyak mahasiswa yang kemudian belum menemukan jawaban pastinya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kita ambil contoh terdekat, di lingkungan kampus, misal ada organisasi Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP) yang setiap tahunnya mengadakan pemilihan pemimpin, pasti banyak dari lelaki yang memimpin, mereka enggan dipimpin seorang perempuan, meski perempuan tersebut bisa dikatakan layak menjadi pemimpin dengan segala hal yang sudah dipertimbangkan.

Banyak dari para mahasiswa masih mengadopsi budaya patriarki yakni memandang rendah kaum perempuan atau menomerduakan posisi perempuan. Padahal harusnya sebagai mahasiswa harus mampu berpikiran lebih terbuka (open mind) dan tidak memandang manusia hanya sebagai makhluk biologis, tetapi lebih dari itu adalah makhluk spiritual dan intelektual.

Ironisnya mayoritas dari kita masih menganggap jika dipimpin perempuan maka martabatnya akan hilang, padahal jika perempuan itu mampu memimpin suatu organisasi kenapa tidak diberikan kesempatan, begitu pun sebaliknya saat kita memaksakan kandidat laki-laki tetapi pada kenyataannya ia tidak memiliki kemampuan, maka bagaimana? Inilah yang sebenarnya perlu menjadi pertimbangan. Bahwa perempuan dan laki-laki jika dilihat dari sudut pandang spiritual, intelektual, dan hal lain dalam konteks sosial maka memiliki ruang dan kesempatan sama. Oleh karena itu, masihkah kita tabu terhadap keberadaan pemimpin perempuan? Ingatlah zaman jahiliyah sudah berlalu, jangan kita ulangi di era yang sudah maju ini.

Terlepas dari semua itu, inilah yang biasanya menjadikan pandangan bahwa perempuan tidak mampu saat berorganisasi adalah sebuah stereotip yang tidak benar. Beberapa faktor yang mungkin menyebabkan pandangan ini muncul adalah:

Budaya patriarki: Budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat seringkali membuat perempuan dianggap rendah dan tidak mampu melakukan pekerjaan lelaki 

Stereotip gender: Kebanyakan orang memandang bahwa perempuan sangat emosional, lemah, labil, dan sebagainya, sementara laki-laki dianggap kuat, logis, jantan, dan perkasa.

Dominasi laki-laki: Dominasi laki-laki dalam organisasi seringkali membuat perempuan sulit untuk naik ke posisi kepemimpinan

Namun, pandangan seperti ini tidak dibenarkan, karena perempuan juga memiliki kemampuan yang luar biasa dalam segala bidang, misal perempuan bisa melakukan kegiatan rumah tangga secara bersamaan sambil menjaga anak, hal seperti itu apakah lelaki bisa melakukannya? Dari kegiatan sehari-hari saja perempuan lebih bisa dikatakan unggul daripada lelaki. Maka, berilah ruang untuk perempuan yang memiliki kemampuan menjadi pemimpin, tanpa harus mengurangi martabat dari kaum lelaki.

Dalam Pandangan Islam kepada perempuan mencerminkan kesetaraan dan penghormatan terhadap hak-hak mereka. Agama Islam sudah mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan oleh Allah dan memiliki kedudukan yang setara di hadapan-Nya. Al-Qur’an, sebagai sumber ajaran utama dalam Islam, memberikan arahan tentang pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak perempuan.

Al-Qur’an menegaskan kesetaraan gender dalam beberapa ayatnya. Misalnya, dalam Surah An-Nisa (4:32), Allah menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah teman sejati dan pelindung satu sama lain. Selain itu, dalam Surah Al-Ahzab (33:35), Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa laki-laki dan perempuan yang beriman dan bertakwa akan menerima pahala yang sama dari Allah, tapi mengapa masih banyak orang yang tetap menganggap remeh kepemimpinan kaum perempuan.

Kesetaraan gender memiliki peran penting dalam organisasi, untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan adil bagi semua anggota, termasuk perempuan. Berikut adalah beberapa peran kesetaraan gender dalam organisasi. Di bawah ini  adalah beberapa faktor yang mempengaruhi perempuan dalam berorganisasi:

Budaya: adanya pengkotak-kotakan karakteristik antara perempuan dan laki-laki seperti sifat, sikap, dan perilaku yang dianggap sesuai dan tidak sesuai, pantas dan tidak pantas secara tidak langsung menjadi normatif di muka umum dan mengekang kebebasan perempuan dalam mengekspresikan dirinya

Keterbatasan sumber daya: Keterbatasan sumber daya seperti waktu dan ekonomi seringkali menjadi kendala bagi perempuan untuk terlibat dalam organisasi, karna perempuan jika sudah menikah maka dianggaplah sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya hanya dirumah.

Dominasi laki-laki: banyaknya kaum lelaki yang mengikuti organisasi membuat tidak ada celah sedikitpun bagi perempuan saat ingin maju sebagai pemimpin, karna ya kembali lagi keatas tadi tentang budaya dimasyarakat.

Pendidikan: Pendidikan membuka peluang bagi perempuan agar bisa terlibat dalam berbagai organisasi dan melakukan sosialisasi dengan banyak orang, saat seperti ini lah perempuan akan masuk kedalam keorganisasian dan bebas menyampaikan aspirasi.

Untuk mengatasi faktor-faktor tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya untuk memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk terlibat dalam organisasi dan memegang posisi kepemimpinan. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya untuk mengubah pandangan masyarakat yang masih memandang rendah perempuan dalam berorganisasi.

Dengan cara mewujudkan kesetaraan hak dan kesempatan antara kaum lelaki dan perempuan, mengatasi diskriminasi yang ditunjukkan untuk kaum perempuan, dan meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya gender dalam Islam kepada masyarakat luas agar tidak selalu memandang sebelah mata kemampuan perempuan. Dengan melakukan upaya-upaya tersebut, diharapkan keterlibatan perempuan dalam berorganisasi dapat meningkat dan perempuan dapat memegang peran yang lebih aktif dalam pembangunan masyarakat.

*Mahasiswa KPI Unhasy Tebuireng.