Oleh: Dhonni Dwi Prasetyo*
Salah satu kewajiban seorang murid kepada gurunya ialah memuliakannya. Memuliakan guru ini banyak sekali bentuknya. Misalnya, bersikap tawadhu’ alias andhap asor (rendah hati) di hadapan gurunya, memberikan hadiah kepada guru, mendoakan kebaikan gurunya tiap kali selesai menunaikan shalat fardhu, dan masih banyak lagi. Memuliakan guru adalah perbuatan mulia yang semestinya—yang tanpa diwajibkan dan disuruh pun—harus dilakukan oleh seorang murid. Demikian ini sebagai wujud syukur atau terima kasih sang murid kepada gurunya yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada dirinya.
Selain itu, pada dasarnya, memuliakan guru juga merupakan bentuk memuliakan diri sendiri sekaligus menjadi sebab memperoleh derajat kemuliaan bagi dirinya. Sebab, hanya orang yang berakhlak mulia yang berkenan memuliakan gurunya. Lebih daripada itu, memuliakan guru sejatinya juga memuliakan ilmu itu sendiri. Maka, dengan tidak memuliakan guru sama halnya dengan tidak memuliakan ilmu itu sendiri, dan barang siapa tidak memuliakan ilmu, lebih-lebih yang sedang dipelajari, pastinya tidak akan berhasil menguasai ilmu tersebut.
Berbicara mengenai memuliakan guru—yang merupakan kunci dan modal awal kesuksesan seorang murid—ada satu nasehat dari Sayyid Alawi Al-Maliki tentang belajar dan menuntut ilmu yang telah masyhur di kalangan santri. Beliau pernah mengatakan bahwa ilmu itu hanya bisa didapatkan dengan mudzakarah (belajar dan mengulang-ulang materi pelajaran), kebermanfatannya bisa didapatkan dengan khidmah (pengabdian diri agar bermanfaat), dan keberkahannya bisa didapatkan dengan adanya ridha dari sang guru.
Dari nasehat tersebut, kita akan semakin yakin dan seharusnya mengerti bahwa memuliakan guru, selain merupakan adab kita sebagai murid, sejatinya bukan lagi kewajiban bagi kita, melainkan kebutuhan yang harus kita penuhi dan lakukan demi kebaikan diri kita sendiri sebagai seorang murid di masa mendatang.
Selanjutnya, selaras dengan apa yang telah dinasehatkan oleh Sayyid Alawi Al-Maliki di atas, dalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim, Syaikh Az-Zarnuji menyampaikan keterangan sebagai berikut:
اِعْلَمْ بِأَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ لاَ يَنَالُ الْعِلْمَ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ الْعِلْمِ وَأَهْلِهِ وَتَعْظِيْمِ الْأُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ. قِيْلَ مَا وَصَلَ مَنْ وَصَلَ اِلَّا بِالْحُرْمَةِ، وَمَا سَقَطَ مَنْ سَقَطَ اِلاَّ بِتَرْكِ الْحُرْمَةِ
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya seorang penuntut ilmu (murid) tidak akan bisa memperoleh ilmu dan mengambil manfaatnya kecuali dengan menghormati ilmu dan orang yang berilmu, memuliakan guru dan menghormatinya. Dikatakan (pula bahwa) orang yang sukses (sebenarnya) tidak akan sukses kecuali dengan sikap hormat, dan orang yang gagal (sebenarnya) tidak akan gagal kecuali disebabkan sikap tidak hormat.” (Imam Az-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim).
Dari keterangan di atas, kita harus semakin yakin bahwa memuliakan guru memang merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan bagi setiap murid. Siapa pun yang ingin belajar kepada seorang guru tentang ilmu pengetahuan, maka wajib baginya untuk memuliakan guru tersebut. Dalam hal memuliakan guru para ulama terdahulu—semasa menuntut ilmu—memberikan contoh keteladanan yang sangat luar biasa tentang bagaimana adab seorang murid dalam memuliakan gurunya.
Guna memberikan gambaran tentang keteladanan murid kepada guru, penulis mengutip kisah teladan seorang murid kepada gurunya dari laman situs Tebuireng Online. Dalam kisah tersebut, dikisahkan bahwa dulu Kiai Hasyim Asy’ari pernah nyantri dan menjadi murid kesayangan (santri kinasih) Kiai Kholil Bangkalan. Setelah menyelesaikan mondok di tempat Kiai Kholil, Kiai Hasyim melanjurkan rihlah ilmiahnya dengan melalang buana ke berbagai tanah air, dan bahkan sampai ke wilayah Timur Tengah, tepatnya di kota Makkah Al-Mukaromah.
Singkat cerita, setelah betahun-tahun mengembara mencari ilmu, kemasyhuran kealiman Kiai Hasyim terdengar ke segala penjuru tanah air. Di samping itu, banyak pula anak kiai-kiai besar pada waktu itu berbondong-bondong dipondokkan di Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh Kiai Hasyim. Mengetahui hal ini, Kiai Kholil Bangkalan (guru Kiai Hasyim) ternyata juga mendatangi mantan muridnya ke Tebuireng, Jombang. Tentu saja kunjungan ini mengejutkan Kiai Hasyim Asy’ari.
Singkat cerita, untuk menyambut tamu istimewa ini, segala hal dipersiapkan oleh Kiai Hasyim di Pondok Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim mengira bahwa kunjungan ini hanya silaturahmi biasa. Namun, ternyata Kiai Kholil tidak sekadar berkunjung, melainkan ingin belajar kepada Kiai Hasyim yang memang sudah masyhur kealimannnya, khususnya sebagai ahli hadits.
Begitu Kiai Kholil datang ke Tebuireng, beberapa santri segera diperintah Kiai Hasyim untuk mempersiapkan kamar khusus untuk Kiai Kholil. Setelah semua persiapan beres, Kiai Hasyim dengan takdzim segera mendekat ke Kiai Kholil. Terjadilah dialektika manis nan indah antara guru dan murid. Cerminan ketawadhuan ulama-ulama kita, tidak ada yang berebut menjadi kiai, tidak juga merasa harus dimanusiakan.
“Kiai, mohon istirahatnya di kamar yang sudah dipersiapkan. Tidak usah tidur seperti santri-santri yang lain. Cuciannya juga nanti biar dicucikan, jangan mencuci sendiri,” kata Kiai Hasyim.
Dengan tersenyum Kiai Kholil membalas, “Hasyim, di sini saya datang sebagai santri sebagaimana santri yang lain. Jadi janganlah kamu istimewakan dan pisahkan dengan santri-santri yang lain. Di Pesantren Bangkalan, benar memang aku ini kiai kamu, kamu santriku, tapi di sini sebaliknya, kamu sekarang kiaiku dan aku ini santrimu.”
“Tapi, Kiai…” kata Kiai Hasyim kebingungan.
Membayangkan Kiai Kholil yang merupakan gurunya sendiri hendak tidur bersama para santrinya, tentu saja Kiai Hasyim tidak tega plus merasa suul adab. Meskipun Kiai Kholil sudah mengeluarkan perintah untuk tidak menganggapnya sebagai guru di Pesantren Tebuireng, tapi bagi Kiai Hasyim, mau di mana pun, Kiai Kholil adalah kiainya tidak peduli tempat atau tidak peduli status pada saat keduanya bertemu kali ini.
Setelah berpikir keras, akhirnya Kiai Hasyim menemukan ide. Lantas, ia mendatangi kembali Kiai Kholil di kamarnya.
“Kiai Kholil,” kali ini Kiai Hasyim mengeluarkan suara sedikit tegas dan keras.
“Apakah benar saya dianggap Kiai sebagai guru?” tanya Kiai Hasyim.
Kiai Kholil awalnya bingung, “Iya memang benar. Kamu adalah guru saya,” balas Kiai Kholil.
“Kalau begitu saya perintahkan Kiai Kholil untuk meninggalkan kamar ini dan segera pindah ke kamar yang sudah dipersiapkan. Berikut juga dengan makanan Kiai Kholil akan diantarkan ke kamar. Jadi Kiai Kholil tidak perlu ikut antri bersama santri yang lain, cucian juga akan dicucikan, tidak perlu antri kamar mandi. Ini bukan permintaan seorang santri kepada kiainya, tapi perintah seorang kiai kepada santrinya,” kata Kiai Hasyim. Mendengar itu Kiai Kholil terkejut, lalu berdiri dan menuruti perintah “guru”-nya.
Dari kisah teladan di atas, kita dapat mengambil ibrah bahwa sehebat dan sepandai apa pun seorang murid, lazimnya kita harus tetap memuliakan gurunya sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai Hasyim terhadap Kiai Kholil. Wallahu a’lam.
Referensi:
https://tebuireng.online/syaikhona-kholil-kh-hasyim-asyari-indahnya-dialektika-guru-murid/)
Imam Az-Zarnuji. Ta’lim Al-Muta’allim.
*Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan dan Universitas Negeri Semarang.