Oleh: Abror Rosyidin

Ada peristiwa menarik yang disaksikan oleh Muhammad As’ad Shihab, intelektual asal Lebanon yang kala itu berkunjung ke Tebuireng untuk mewawancarai Hadratussyaikh. Hal itu ia tuangkan dalam buku hasil penelitiannya berjudul “’Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia” atau “Mahaguru Muhammad Hasyim Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia”. 

Dalam catatan itu, ia menceritakan ada sejumlah ibu-ibu Muslimat NU mendatangi beliau dan memberikan beberapa uang sumbangan hasil penarikan di bulan Ramadan kepada beliau. Dengan tujuan uang itu bisa berguna untuk beliau dan pondok. Apalagi pada waktu itu merupakan Ramadan yang bisa saja dipakai untuk kegiatan menyemarakkan bulan suci.

Namun, Kiai Hasyim justru mengembalikan uang itu. Beliau malah memberikan nasihat bahwa penting sekali bagi perempuan untuk mandiri, terdidik, dan kerja keras. Kiai Hasyim menjelaskan sebaiknya uang itu dipakai untuk membangun madrasah khusus kalangan perempuan. Beliau tidak mau memanfaatkan ketokohan dan kepemimpinan beliau untuk mendapatkan belas kasih dan sumbangan dari orang lain.

Setelah peristiwa itu, KH. Hasyim Asy’ari dalam kesempatan memberikan ceramah dan pengajaran kepada para santrinya menjelaskan pentingnya mandiri dan kerja keras sebagai bagian dari ajaran Islam. Beliau mengutip perkataan Umar bin Khattab ra. yang membantah sebagian orang yang menganggap bahwa tawakkal dan sabar sebagai pasrah kepada Allah sepenuhnya tanpa ikhtiar dan usaha. “Umar berkata, ‘Allah tidak akan menurunkan emas dari langit’.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Tidak hanya Umar, Abu Hanifah juga pedagang kain yang rajin. Untuk itu dijuluki al  Bazzar,” tambahnya.

“Ayah Imam al Ghazali juga seorang pemintal benang. Sari al-Saqathi, seorang sufi besar, seorang saudagar bangunan. Abu Qosim al-Junaidi, memiliki toko pemecah kaca, dan dilayani sendiri. Mereka bekerja bukan karena kedonyan (keduniawian) tetapi memang begitu ajaran Islam”

Apa yang beliau sampaikan bukanlah isapan jempol, Kiai Hasyim mempraktekkan hidup mandiri itu dalam kehidupan beliau. Selain bertani dan bercocok tanam. Kiai Hasyim juga berdagang kuda di pasar Cukir pada hari Pon. Saat hari itu, ngaji santri diliburkan seharian. Kegiatan diganti dengan roan (kerja bakti). Hasil berjualan kuda itu dipakai beliau untuk membeli kitab untuk bahan menulis atau mengarang kitab.

Kebiasaan berdagang kuda ini dari sahabatnya Marto Lemu, sahabat sekaligus santri beliau yang juga mantan preman yang diinsafkan beliau. Marto Lemu punya jaringan luas soal perdagangan kuda, bahkan hingga pasar luar kota. Kuda-kuda mandor tebu dijual untuk keperluan judi. Marto Lemu menginformasikan kepada Kiai Hasyim dan langsung berangkat ke pasar untuk berjual-beli kuda.

Setelah jual beli kuda, bersama Marto Lemu ini, Kiai Hasyim naik kereta ke Pasar Gubeng Surabaya untuk membeli buku atau kitab berbahasa Melayu, Arab, dan Jawa. Saking banyak yang membeli, sampai tidak kuat membawa. Saking banyaknya kuda yang diperjualbelikan, sampai harus membuat kandang kuda di dekat kolam ikan. Kitab-kitab yang dibeli menjadi koleksi di perpustakaan Tebuireng.

Setiap dua minggu sekali, Kiai hasyim menjualkan hasil kebun di pasar Cukir. Beliau sendiri yang menjualnya, ditenami oleh dua orang santri beliau, yang kelak juga jadi kiai besar, Kiai Ahyat Khalimi Mojokerto dan Kiai Muchtar Syafaat Banyuwangi.

Dengan pembelajaran kepada para santri dan umatnya itu, Kiai Hasyim telah menginspirasi Muslimat NU menjadi Banom yang paling mandiri saat ini. Bahkan saat ini Muslimat NU telah memiliki 144 panti asuhan, 9.800 PAUD, TK dan RA, klinik, rumah Sakit, serta koperasi. Muslimat NU menjelma menjadi organisasi perempuan terbesar di Indonesia dengan jaringan internasional yang mumpuni.

Mungkin saja, nasihat Kiai Hasyim dalam peristiwa yang disaksikan oleh Muhammad As’ad Shihab itu benar-benar marasuk ke sanubari para pengurus Muslimat NU kala itu hingga sekarang menjadi benar-benar terwujud. Perempuan harus mandiri. Sebuah ajaran yang harus diterapkan oleh para perempuan muslimah, khususnya Nahdliyat di seluruh belahan dunia.


Sumber:

M Sanusi, Kebiasaan-kebiasaan KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari terbitan Diva Press Yogyakarta tahun 2013

M. As’ad Shihab, Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesia, diterbitkan Dar as Shadiq, Beirut, Lebanon