KH. Musta’ien Syafi’ie saat menjelaskan tentang KHI dalam seminar nasional di Unhasy Tebuireng, Ahad (13/08/2017) pagi. (Foto: Masnun)

Tebuireng.online— Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Hasyim Asy’ari Unhasy) Tebuireng Jombang mengadakan Seminar Nasional dengan tema Inklusifisasi Hukum Keluarga Islam dalam Bingkai Islam Indonesia Sebagai Upaya  Menuju Masyarakat Madani Dalam Perspektif Kitab Kuning. Acara diselenggarakan di Auditorium Unhasy lantai 3 pada Ahad (13/08/2017).

Sebenarnya pemateri atau narasumber yang diundang adalah Dr. KH. A. Musta’iin Syafi’ie dan KH. A. Mustafa Bisri atau Gus Mus. Namun, Gus Mus berhalangan untuk hadir dan karena kurang enak badan, sehingga digantikan oleh Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro. Begitu pula dengan Rektor Unhasy, KH. Salahuddin Wahid juga tidak bisa hadir karena menerima tamu Menteri KP Susi dan Menteri Sosial Khofifah.

Dalam seminar ini, KH. Musta’in selaku narasumber memberikan beberapa penjelasan yang berkaitan dengan tema seminar. Beliau mengkritisi KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam melihat maslahah terlalu emosional. ”Maslahah ya maslahah, tapi maslahah bagi siapa?,” tegas beliau.

Sembari membuat sebuah analogi tentang harta gono gini. Menurut beliau asas keadilan yang digagas oleh Al Quran tidak boleh terlalu direduksi, sebaliknya hendaknya ada kearifan yang dijadikan pertimbangan.

Membahas masalah intisab, Kiai Tain menuturkan bahwa anak itu harus punya nasab dan itu lebih maslahah dibanding tidak. “Fikih Klasik membagi 2 sisi yaitu ash Shalah dan Ad Dzahir. KHI dalam hal ini menghapus atau tidak mempertimbangkan faktor ash Shalah dan hanyai memakai ad Dzahir.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kiai Tain juga mengulas tentang masalah waris.  Beliau kurang sependapat dengan fikih klasik dimana waris itu antara ikhtilafuddin muslim dengan muslim tidak terjadi tawaruts. Menurut beliau, hal itu kurang mengangkat pamoritas derajat orang beriman. Beliau mengulas Mani’ al Irtsi (Penghalang warisan) yang dikategorikan dengan pembunuhan, yakni percobaan pembunuhan, penganiayaan berat dan fitnah yang menyebabkan al-mauruts dihukum 5 tahun atau lebih.

KHI dalam hal ini menggunakan dalil al Fitnatu Asyaddu Min al-Qatl. Menurut beliau ini kurang pas dan tidak cermat, karena adanya perbedaan term antara arti fitnah dalam bahasa Arab dan terjemahan Indonesia. KHI juga tidak mengindahkan asas ash Shulhu (perdamaian), padahal menurut beliau, KHI harus mempertimbangkan ash Shulhu. ”Jawaban di dalam hukum shuluh itu lebih bagus. ash Shuluh  sayyid al ahkam (perjanjian damai itu rajanya hukum)”.

Acara ini merupakan program mahasiswa Pascasarjana Unhasy sebagai bagian dari kewajiban akademik. Dalam kesempatan ini, hadir Wakil Rektor III Drs. H. Mukhsin, Ks., beberapa dosen, civitas akademika Unhasy, dan mahasiswa baik program pascasarjana maupun sarjana.


Pewarta:            Rizky Hanivan

Editor/Publisher: M. Abror Rosyidin