Sumber foto: http://bedeot.blogspot.co.id

Prof. Dr. KH. Muhammad Tholchah Mansoer, S.H, merupakan seorang ulama sekaligus cendekiawan muslim yang berpengaruh. Beliau juga seorang guru besar ilmu keislaman dan hukum tata negara di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta dan beberapa kota lain. Beliau juga menjadi salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang beberapa kali pernah menjabat sebagai dekan ataupun rektor di berbagai perguruan tinggi yang berbeda-beda.

Seorang kiai dengan cara pandang luas ini telah menjadi aktivis NU sejak usia remaja. Maka, tak mengherankan bila ulama yang satu ini dikenal dekat dengan generasi muda. Beliau tidak pernah lelah memberikan semangat dan dorongan kepada mereka. Kiai Tolchah merupakan tokoh istimewa dalam tubuh NU, selain mubaligh yang handal, beliau juga merupakan seorang yang produktif menulis buku-buku keagamaan, buku ilmu hukum, dan artikel di beberapa media massa. Di Yogyakarta, beliau dikenal sebagai birokrat dan diplomat yang pernah menduduki jabatan eksekutif maupun legislatif. Meskipun begitu, keulamaan dan kecendikiawanannya lebih menonjol di kalangan masyarakat daripada jabatan formal yang pernah diemban.

Masa Kecil

KH Tholchah Mansoer dilahirkan pada tanggal 10 September 1930 di Kota Malang Jawa Timur dari pasangan KH. Mansoer, seorang ulama dan pedagang kecil di kota tersebut dan Siti Nur Khotijah. Ia merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Ahmad Mansoer meninggal saat masih bayi, sedangkan adiknya, Mardhiyah, lahir beberapa tahun kemudian.

Ayahnya, Kiai Mansoer adalah seorang pedagang tikar dan perkakas dari bambu, sedangkan ibunya, Khotijah merupakan putri dari keluarga ningrat dan saudagar kaya. Namun, Nyai Khotijah memilih hidup sederhana bersama Kiai Mansoer. Keduanya sama-sama sebagai perantauan di Malang dari Bangkalan Madura.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selain Mardhiyah dan alm. Ahmad, Kiai Tholchah juga mempunyai saudara seibu bernama Raden Isman, atau lebih dikenal dengan Oesman. Oesman adalah anak dari Jalaluddin Krama Asmara, seorang bangsawan dari Bangkalan Madura. Khotijah dan Jalaluddin memilih bercerai saat Oesman belum genap setahun. Oesman dirawat Khotijah bersama suami keduanya, Kiai Mansoer. Sejak saat itu, Oesman menggunakan nama belakang Mansoer, hingga nantinya ia menjadi seorang mayor dan ulama sekaligus.

Kiai Mansur yang berdarah Madura berkeinginan agar Muhammad Tholchah Mansoer bisa seperti kakaknya, Oesman (Mayor KH. Oesman Mansoer), kelak menjadi seorang ulama. Disela-selanya menuntut ilmu dijenjang pendidikan umum, ia giat mengaji. Proses berjalannya dua sistem pendidikan itu, bagi Tholchah remaja tidaklah lancar, tapi keduanya mampu dicapainya, walaupun memerlukan waktu lama. Ia juga termasuk kutu buku dan gemar akan ilmu, sekaligus otodidak, bahkan saat menginjak dewasa tak segan-segan menjual mobilnya untuk membeli kitab kuning dan buku.

Riwayat Pendidikan Sang Pelopor

Pendidikan pertama Kiai Tolchah Mansoer didapatkan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama Jagalan Malang (1937-1945), kemudian melanjutkannya di Madrasah Tsanawiyah d itempat yang sama hingga kelas III. Di Madrasah yang didirikan oleh K.H. Nahrawi Thahir ini, Muhammad Tholchah Mansoer diasuh oleh KH. Muhammad Syukri Ghazali dan Kiai Murtaji Bisri.

Pada tahun 1947, saat usianya masuk 17 tahun, dipercaya menjadi sekretaris Sabilillah daerah pertempuran Malang Selatan, sehingga ia harus meninggalkan sekolahnya. Baru setelah perang kemerdekaan usai, ia meneruskan sekolah di Taman Madya Malang sampai lulus tahun 1951. Setelah lulus Taman Dewasa, ia masuk Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (HESP), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kuliahnya tidak berjalan lancar, karena ia memang aktivis organisasi. Pada tahun 1953, Muhammad Tholchah Mansoer berhenti kuliah untuk sementara waktu dan baru tahun 1959 ia kembali ke bangku kuliah.

Semangatnya untuk belajar tidak pernah surut, walaupun telah menikah beliau tetap kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan studinya, hingga kemudian Ia mampu menyelesaikan jenjang sarjana di bidang Hukum pada tahun 1964. Meskipun waktu yang diperlukan oleh Kiai Tolchah untuk menempuh sarjana hukum memakan waktu hingga 13 tahun, tetapi berkat kegemarannya membaca ia mampu menyelesaikan gelar Doktor Ilmu Hukum (Jurusan Hukum Tata Negara) dalam waktu relatif singkat, yakni hanya lima tahun.

Dengan Promotor Prof. Abdul Baffar Pringgodigdo, S.H, Muhammad Tholchah Mansoer berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada dengan judul disertasi “Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia (17 Desember 1969)”. Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku oleh penerbit Radya Indria, Yogyakarta pada 1970.

Sementar itu, pendidikan ilmu-ilmu kesilaman ia dapatkan dari guru-guru ngaji, khususnya KH. Syukri Ghazali ketika ia belajar di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Jagalan. Kebetulan rumah Muhammad Tholchah Mansoer tidak jauh dari madrasah dan rumah mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia itu. Selesai sekolah ia langsung mengaji, demikian pula dalam perkembangannya, ia membantu KH. Syukri Ghazali mengajar di madrasah tersebut.

Disamping itu, ia juga menyempatkan diri mengaji posonan (bulan Ramadhan) ke beberapa pondok pesantren, di antaranya, di Pesantren Tebuireng Jombang dan Pondok Pesantren al Hidayah, Soditan Lasem, di bawah asuhan KH. Ma’shum. Karena ia memang santri yang cerdas dan otodidak, maka wajarlah bila KH. Muhammad Tholchah Mansoer akhirnya menjadi seorang ulama besar, bahkan merangkap menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara.

Kehidupan Keluarga

Pada 5 Desember 1957, saat ia belum sarjana, sudah berani mempersunting seorang putra kiai besar, bahkan seorang Menteri Agama RI, KH. Muhammad Wahib Wahab. Perempuan yang meluluhkan hatinya itu bernama Umroh Machfudzoh. Sama halnya denga ayahnya, Kiai Mansur, lelaki dari kalangan sederhana yang mempersunting anak tokoh besar dan ulama berpengaruh.

Awalnya Kiai Wahib tak menyetujui pernikahan ini. Namun, berkat hasil shalat istikharah, Nyai Wahib, istri Kiai Wahib, mendukung hubungan keduanya. Dukungan juga datang dari kakek Umroh, KH Abdul Wahab Chasbullah, yang melihat keduanya cocok, sama-sama merupakan aktivis organisasi.

Pasangan Tholchah-Umroh sangat inspiratif. Meski dari latar belakang keluarga yang berbeda, keduanya sama-sama menjadi pelopor di zamannya, khususnya pelopor para pelajar NU. Kedua behasil mengawinkan dua organisasi kepelajaran di tubuh NU. Tholchah ikut mendirikan Ikatan Pelajar NU (IPNU) dan menjadi Ketua Umum IPNU yang pertama, begitu juga Umroh yang ikut mendirikan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) dan menjadu ketua umumnya yang pertama juga.

Dari pernikahan mereka, Tholchah dan Umroh dikaruniai tujuh orang anak, tiga di antaranya menjadi tokoh yang menonjol dalam kehidupan masyarakat. Anak pertama mereka, Muhammad Fajrul Falakh mengikuti ayahnya menjadi pakar hukum tata negara. Anak kelima, Safira Machrusah, sejak 13 Januari 2016 diangkat oleh Presiden Joko Widodo menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) RI untuk Republik Demokratik Aljazair. Rosa, panggilan akrabnya, juga mengikuti jejak ibunya pernah menjadi Ketua Umum IPPNU 1996-2000.

Yang kini sedang naik daun, anak ketujuh mereka, Romahurmuziy, kini menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP). Si bungsu yang memiliki kesamaan tanggal lahir dengan ayahnya itu, menyelesaikan studi S1 dan S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) sebelum terjun ke dunia politik.

Pengabdian KH. M Tholchah Mansoer pada Organisasi

Dalam kehidupan organisasi, KH. Muhammad Tholchah Mansoer telah menjadi aktivis organisasi sejak usia remaja, terutama di kalangan NU. Ketika masih duduk di bangku Tsanawiyah, Ia pernah menjadi Sekretaris Ikatan Murid Nahdlatul Ulama (IMNU) Kota Malang (1945). Pada saat itu Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) belum lahir, baru pada sembilan tahun kemudian Kiai Tolchah menjadi salah satu penggagas berdirinya IPNU.

Pengalaman organasisi berikutnya yang diperoleh oleh Kiai Tolchah adalah saat beliau berpindah ke Yogyakarta. Saat itu Ia pernah menjabat sebagai Wakil Departemen Penerangan Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) dan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) wilayah Yogyakarta.

Meskipun pernah menduduki berbagai jabatan strategis dalam beberapa organisasi islam yang pernah ada saat itu, sebagai generasi muda NU yang militan ia mempunyai gagasan mendirikan organisasi Islam yang khusus mewadahi pelajar NU. Gagasan ini kemudian Ia sampaikan dan akhirnya pada Konferensi Lembaga Pendidikan Ma’arif NU di Semarang  pada 22 Februari 1954, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) didirikan. Kemudian, berdasarkan Konferensi Tiga Kota di Solo rekan Tholchah dipilih secara aklamasi sebagai ketua umumnya.

Setahun kemudian menyusul pada 1955, berdiri Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) yang dipimpin oleh istrinya, Umroh Mahfudlah. Jabatan ketua umum ini dipertahankannya dalam Muktamar I di Malang (1955), Muktamar II di Pekalongan (1957) dan Muktamar III di Cirebon (1958).

Sampai sekarang kedua organisasi ini tetap hidup, walaupun sempat terhambat, karena pada tahun 1985 sesuai UU Nomor 8 Tahun 1985 yang melarang adanya organisasi pelajar selain OSIS, maka IPNU menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama dan IPPNU menjadi Ikatan Putri-putri Nahdlatul Ulama.  Pada masa reformasi, kondisinya telah berbeda, maka sejak tahun 2003 IPNU dan IPPNU kembali menjadi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, sebagimana didirikan.

Masuk Politik

Perjuangan KH. Muhammad Tholchah Mansoer selanjutnya adalah sebagai ketua Pengurus Wilayah Partai NU Daerah Iistimewa Yogyakarta. Setelah terjadi fusi empat partai islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) menjadi Partai Persatuan Pembangunan (5 Januari 1973), ia lebih banyak berperan aktif di Jamiyah Nahdlatul Ulama, sambil menjadi guru besar di beberapa perguruan tinggi dan mubaligh. Sebagai gantinya Hj. Umroh Mahfudloh, istrinya, tampil sebagai aktivis PPP, bahkan sampai menjadi ketua DPW PPP Daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa kali menjadi anggota DPRD I Yogyakarta dan DPD/MPR RI.

  1. Muhammad Tholchah Mansoer juga merupakan seorang tokoh yang ikut membidani kembalinya NU ke Khittah 1926, dalam Muktamar NU ke 27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukerejo, Asembagus Situbondo, yang diasuh oleh K.H. As’ad Syamsul Arifin. Dalam Muktamar tersebut, ia terpilih sebagai salah seorang Rais Syuriah PBNU di bawah pimpinan Rais Aam KH. Ahmad Shiddiq dan Wakil Rais Aam KH. Rodli Sholeh.

Sesuai dengan faktualnya dalam organisasi, KH. Tholchah Mansoer pernah beberapa kali memegang jabatan dalam pemerintahan terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia pernah terpilih menjadi anggota DPR mewakili NU pada 1958 dan tahun itu juga ia diangkat sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD), kemudain badan ini diubah namanya menjadi BPH (Badan Pemerintah Harian) Propinsi DI Yogyakarta pada 1958. BPH merupakan lembaga eksekutif di daerah yang bertugas membantu kepala daerah.

Sebagai Pendidik

Dari semua aktivitas itu, sebenarnya ia lebih dominan sebagai pendidik sekaligus juru dakwah dan pengarang. Sewaktu masih proses studi doktoral, ia pernah menjadi asisten dosen di IAIN Sunan Kalijaga, (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Setelah lulus beliau masih tetap mengajar di IAIN, dan di beberapa perguruan tinggi lainnya, seperti IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Akademi Militer di Magelang, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Akademi Administrasi Negara, Universitas Hasyim Asy’ari Jombang, Universitas Nahdlatul Ulama Solo dan lain-lain.

Ia juga pernah memegang jabatan di beberapa perguruan tinggi, di antaranya sebagai Pembantu Rektor IAIN Sunan Kalijaga, Dekan Fakultas Ushuluddin, Direktur Akademi Administrasi Niaga Negeri di Yogyakarta (1965-1967), Rektor Universitas Hasyim Asy’ari (1970-1983) merangkap Rektor Institut Agama Islam Imam Puro, Purworejo (1975-1983) dan Dekan Fakultas Hukum Islam UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Surakarta. Selain itu, ia juga pernah menjadi anggota badan Wakaf IAIN Sunan Kalijaga dan Badan Penyantun Taman Siswa Yogyakarta.

Kepergian Sang Kiai-Intelektual

Seiring berjalannya waktu, apa yang menjadi harapan orang tua Kiai Tholchah Mansoer terwujud. Dia menjadi orang besar, menguasai keilmuan pesantren dan kampus, meski hanya nyantri saat saat Ramadan saja. Ia bahkan penguasaannya pada khazanah keilmua pesantren, bisa jadi melebihi para santri yang nyantri di pesantren bertahun-tahun. Tentunya itu diraih dengan ketekunan dan kerja kerasnya dalam belajar dan berproses.

Namun, semua yang  bernyawa akan kembali ke Penciptanya. Pada 20 Oktober 1986, KH. Tholchah Mansoer dipanggil menghadap Sang Khaliq. Sebelum wafat, firasat keperginnya itu, telah dirasakannya dengan menulis syair indah:

Langkah panjangku

Telah lama ku ukur

Aku tak tahu

Berapa lagikah.

Hari-hariku telah berlalu.

Dan berapa hari lagikah

Sudah dekatkah

Langkahku akan berhenti

Dan apakah hari-hariku

Hingga hari ini.

Atas jasa dan perjuangannya kepada NU, KH Ali Maksum, Rais Aam Syuriah PBNU 1989-1994 menyarankan agar KH. Tholchah Mansoer dikemukan di pemakaman keluarga Pesantren Krapyak Yogyakarta. Lahirnya IPNU serta kiprahnya dan pengabdiannya kepada NU dan umat Islam, telah menjadi amal jariyah yang hingga kini pehalannya terus mengalir kepada Sang Guru Besar. Tentu, layak bagi generasi penerus NU, apalagi rekan dan rekanita IPNU-IPPNU mejadikannya teladan.


*Disarikan dari buku “Ensiklopedi Ulama Nusantara” karya H.M. Bibit Suprapto, S.H.,M.Sc.,M.Si dan buku “Membuka Ingatan, Memoar Tokoh NU yang Terlupakan” karya Tim Pustaka Tebuireng.