Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #28

Oleh: M. Abror Rosyidin*

KH. Hasyim Asy’ari mengalami dua fase belajar di Tanah Haram. Pertama setelah menikah dengan Nyai Khodijah putri Kiai Ya’qub Siwalan Panji sampai sang istri dan sang putra, Abdullah meninggal, lalu kepedihan itu membuat Kiai Hasyim pulang ke tanah air.

Keberangkatan kedua terjadi saat beliau merasa rindu terhadap tanah suci. Pada tahun 1309H/1893M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu. Dan akhirnya beliau dapat bertahan untuk menimba ilmu di sana selama 6-7 tahun di Mekkah. Waktu yang cukup lama untuk dapat kulakan ilmu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tempat favorit beliau untuk murajaah ilmu dan bertahanus adalah Gua Hira’. Setiap berangkat menuju Gua Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa Al-Quran dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam hari di sana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jum’at di sana.

Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.

Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.

Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).

Keterangan beliau pernah mengajar di sana, malah tercatat dalam buku terbitan Jepang, “Orang Indonesia yang Terkemuka di Jawa”. Buku terbitan Gunseikanbu tahun 2604 Saka atau 1944 Masehi, menyebut Kiai Hasyim mengajar di Mekkah dari tahun 2556 Saka atau 1896 Masehi, sampai memutuskan untuk kembali pada 1899 M.

Maka kalau dilihat dari data itu, menunjukkan bahwa selama 6-7 tahun di Mekkah, Kiai Hasyim juga mengajar di sela-sela belajar. Bahkan beliau sudah mengajar atau mengader orang-orang yang kemudian menjadi ulama-ulama besar, seperti nama-nama di atas. Kemungkinan paling besar, beliau mengajar hadis, karena bidang keilmuan itulah yang dikenal publik dan sangat melekat dalam diri beliau.

Tidak lama beliau mengajar di sana, hanya 3 tahun, karena pada tahun 1899 beliau bertemu rombongan haji asal Indonesia. Di antara rombongan itu, ada Kiai Romli Kemuning, Karangkates Kediri yang membawa putrinya. Kiai Hasyim dinikahkan dengan putri Kiai Romli, Nyai Nafisah, setelah sekitar 6 tahunan menduda sepeninggal Nyai Khodijah binti Kiai Ya’qub.

Setelah menikah, atas permintaan mertua beliau, Kiai Hasyim diminta pulang ke Indonesia untuk membantu mengajar di pesantren yang diasuh sang mertua. Tentu Kiai Hasyim sangat berat untuk meninggalkan Mekkah. Sudah tahunan tinggal, mendapatkan nikmatnya bercinta dengan ilmu, sampai di sana sudah menjadi salah satu syaikh disegani, pengajar, dan imam di Masjidil Haram, sebuah prestasi yang tidak mudah.

Seyogyanya, jika beliau menetap di Mekkah lebih lama, akan dapat sampai sejajar dengan 7 ulama Indonesia yang menjadi pengajar di Masjidil Haram, antara lain, Syaikh Mahfudz at Tarmasi, Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi, Syaikh Nawawi al Bantani, Syekh Abdurrahman Siddiq al Banjari, Syaikh Junaid al Batawi, Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari, dan paling junior adalah Syaikh Yasin bin Isa al Fadani.

Maka kalau berandai-andai, andai saja Kiai Hasyim Asy’ari dulu menetap di Mekkah, bisa jadi, panggilan beliau, Syaikh Muhammad Hasyim al-Jawi al Jumbani. Tapi apa yang menjadi alasan beliau memutuskan pulang? Tentu saja perjuangan. Tidak ada kata lain. Masih ingat tentang pembahasan ikrar suci beliau dengan teman-teman sejawat di Mekkah, untuk kembali pulang dan berdakwah di negerinya masing-masing, ikut berjuang memerdekakan negara-negara mereka dari kolonialisme barat?

Ya, Kiai Hasyim ingin menepati janji itu. Janji yang diikrarkan persaudaraan sesama muslim. Belenggu penjajahan telah mengobarkan semangat beliau untuk meniti jalan pulang, jalan yang sebenarnya jauh dan jauh lebih terjal, licin, penuh kubangan, becek, berduri, berkelok tajam, berbatu, penuh keringat dan darah yang harus dikorbankan menetes. Tentu saja, sejak memutuskan kembali, Kiai Hasyim sangat paham segala resikonya. Tanah airnya memanggilnya untuk pulang.

Bisa dibayangkan pergolakan hati Kiai Hasyim bagaimana menjadi-jadi saat itu. Mekkah benar-benar tempat indah bagi beliau sebagai surganya ilmu. Di sisi paling santer bergerumun dalam hati beliau, tanah Jawa (saat itu belum tersebut nama Indonesia), membutuhkan ilmunya. Bahkan, banyak para santri dari penjuru Nusantara, berdatangan ke Pesantren Keras menanyakan kapan Kiai Hasyim pulang dari Mekkah.

Saya kok mencurigai, Kiai Romli sebelum berangkat ke Mekkah sudah merencanakan pernikahan itu. Mungkin saja saking tak sabarnya orang-orang yang ingin segera belajar kepada Kiai Hasyim, meminta Kiai Romli untuk membikin sekenario menikahkan putrinya, Nyai Nafisah dengan Kiai Hasyim.

Atau kemungkinan lain, keluarga besar Pesantren Keraslah yang meminta Kiai Romli untuk menikahkan putrinya dengan Kiai Hasyim agar mau pulang dan membantu mangajar di Keras. Namun, bisa jadi sebaliknya, Kiai Romli yang datang ke Keras, meminta restu agar menikahkan putrinya dengan Kiai Hasyim untuk segera dapat mendatangkan Kiai Hasyim pulang. Sekali lagi, itu hanya spekulasi penulis, karena tidak ada data yang menyebutkan itu. Tapi masuk akal juga sepertinya.

Kita lihat saja Syaikh-Syaikh Haramain lain di Mekkah yang berasal dari Indonesia, seperti Syaikh Nawawi, Syaikh Mahfud, dan Syaikh Khatib, kesemuanya enggan balik ke negara asal dan merasa sangat nyaman tinggal di Mekkah. Syaikh Nawawi contohnya tidak tahan dengan penjajahan di tanah Jawa, lebih memilih tinggal di Mekkah, karena bisa selalu bersinggungan dengan ilmu dan mengajar. Walau kemudian diketahui Syaikh Nawawi di sana juga mengader para pelajar Jawa agar punya nasionalisme.

Pembahasan seru akan dilanjutkan dalam seri selanjutnya, di mana Kiai Hasyim sempat punya kerentek, bahkan sudah diutarakan untuk kembali ke Mekkah, padahal baru beberapa bulan tinggal di Jawa. Ini bukti, betapa besar pergolakan hati Kiai Hasyim, ujian perjuangan untuk mengambil jalan terjal tadi. Karena ada kesempatan untuk mengambil jalan yang lurus dan beraspal halus. Wallahu a’lam.

Sumber:

  1. Buku Karangan Tersiar Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim karya Abu Bakar Atjeh, Pustaka Tebuireng tahun 2015
  2. Buku Profil Pesantren Tebuireng, Mubarok Yasin dan Fathurrahman Karyadi, Pustaka Tebuireng tahun 2011

*Penulis adalah anggota Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari.