Seri Kiprah KH. Hasyim Asy’ari #29

Oleh: M. Abror Rosyidin*

Dalam seri sebelumnya, penulis memaparkan bahwa Kiai Hasyim sempat mengajar di Mekkah. Penulis juga sempat memberikan clue bahwa Kiai Hasyim sempat mengutarakan keinginan untuk kembali ke Mekkah dan menetap di sana. Lalu apa yang membuat sang kiai mengurungkan niatnya?

Pada tahun ketujuh di Makkah—tepatnya tahun 1899 (1315 H), kemungkinan awal tahun—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Di antara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Nafisah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Nafisah.

Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras. Jadi beliau mengajar di tiga pesantren dalam waktu kurang dari satu semester, karena bulan Agustus 1899, beliau mendirikan Pesantren Tebuireng.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun, setelah pulang (kemungkinan sebelum memutuskan mendirikan Pesantren Tebuireng) Kiai Hasyim sempat ingin berangkat lagi ke Mekkah al Mukarramah, namun urung terjadi. Apa gerangan penyebabnya? Ada kisah menarik mengenai keputusan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari untuk tetap tinggal di Indonesia (tidak menetap di Mekkah) yang tidak termuat dalam lembaran buku-buku sejarah. Berikut adalah sebagaimana yang pernah dituturkan oleh al-Habib Ahmad bin Abdullah Alattas Bojonegoro, yang dikutip dari Dutaislam.com.

Alkisah setelah Kiai Hasyim Asy’ari lama belajar agama di tanah suci beliau pulang ke Indonesia. Namun setelah beberapa waktu tinggal di Indonesia, beliau merasa tidak kerasan dan ingin kembali ke tanah suci. Di sana majelis ilmu hidup, tiap hari bisa menimba ilmu langsung dari para ulama Allah yang mutafannin (ahli dalam berbagai bidang ilmu agama), bisa beribadah dengan pahala yang berlipat-lipat, bisa hidup bersama-sama ahli ibadah dan ahli ilmu.

Tentu saja, keadaan itu sangat menyenangkan para ahli ilmu dan ahli khair (kebaikan). Bisa haji setiap tahun, bermunajat di tanah haram, berkhalwat di Gua Hira, sepanjang hari, sangat nikmat bagi pecinta ilmu seperti Kiai Hasyim. Bergumul dengan para ulama-ulama besar. Apalagi Kiai Hasyim sudah sempat mengajar selama 3 tahun, dan otomatis ketika kembali ke sana, tidaklah sulit mendapatkan pengakuan sebagai Syaikhu al Haramain, Syaikh dua tanah yang dirahmati, Mekkah dan Madinah, terlebih di Masjidil Haram.

Sangat bertolak-belakang dengan keadaan di Indonesia yang carut-marut, banyak maksiat dan sepinya majelis ilmu serta kurangnya keinginan orang-orang untuk bertafaqquh fiddin (mendalami dan mengamalkan ilmu agama). Apalagi pergolakan politik dan ekonomi yang berantakan akibat penjajahan Belanda yang super kejam.

Saat berjalan-jalan ke luar Desa Keras, Kiai Hasyim mendapati masyarakat yang sabung ayam, judi togel, prostitusi, pesta minuman keras, seks bebas, dan kemaksiatan lainnya. Kiai Hasyim merasa, apakah seorang diri ini dapat mengubah masyarakat yang seperti itu. Mengubahnya menjadi lingkungan yang dirahmati oleh Islam, di mana penduduknya sangat menjujung nilai-nilai Islam dan moralitas. Pergolakan itu terus dan terus mengelayut dalam hati seorang Gus Hasyim, putra Kiai Asy’ari Keras.

Beliau lalu mengkabarkan ‘azamnya (keinginan) ini kepada keluarga dan teman-teman dekat beliau. Ketika berita ini didengar oleh Habib Abdullah Alattas (ayah dari Habib Ahmad Alattas, beliau adalah sahabat dekat dari Kiai Hasyim Asy’ari), maka langsung saja sang habib berangkat ke Jombang bersama Habib Ahmad (yang waktu itu masih kecil) menuju Tebuireng untuk menemui Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, ulama yang baru saja mentas dari Mekkah.

Habib Ahmad menuturkan bahwa pada saat itu, beliau tidak diperkenankan masuk oleh ayahandanya, tetapi disuruh menunggu di luar ruangan (namun beliau bisa melihat dan mendengar isi pembicaraan kedua ulama ini). Beliau melihat tas-tas yang sudah dikemas/diikat siap untuk dibawa pergi. Rupanya Kiai Hasyim sudah benar-benar akan pergi, bukan lagi pergolakan tapi sudah benar-benar akan melakukan.

Pada saat itu Habib Abdullah mengambil posisi duduk di hadapan Kiai Hasyim Asy’ari dengan kaki yang saling menempel sambil berkata (yang intinya), “Ya Syaikh, ilmu jenengan (anda) itu sangat diperlukan di sini. Kalau jenengan kembali ke Tanah Suci, di sana sudah banyak orang alim. Ilmu jenengan tidak begitu diperlukan di sana. Indonesia sangat butuh ulama seperti jenengan!”

Mendengar apa yang disampaikan oleh al-Habib Abdullah Alattas ini lalu KH. Hasyim Asy’ari menangis kemudian merangkul beliau dan mengurungkan keinginannya untuk kembali tinggal di tanah suci. Kalau saja sang habib tidak bertamu dan meminta beliau untuk tidak berangkat, Kiai Hasyim bisa jadi akan menjadi ulama besar di Mekkah, seperti halnya Syaikh Mahfudz at Tarmasi, Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi, Syaikh Nawawi al Bantani, Syekh Abdurrahman Siddiq al Banjari, Syaikh Junaid al Batawi, Syaikh Muhammad Arsyad al Banjari, dan Syaikh Yasin bin Isa al Fadani.

Lagi, tentunya tidak akan berdiri Pesantren Tebuireng, sebuah pesantren yang benar-benar telah mengubah tanah penuh maksiat, menjadi tanah penuh berkat. Tanah yang menjadi tempat ribuan santri datang silih berganti hingga sekarang, menimba ilmu agama dan ilmu-ilmu lain. Pesantren yang mencetak ulama-ulama asli Indonesia untuk Indonesia, seperti Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Sansuri, Kiai Jazuli Ploso, Kiai Abdul Karim atau Mbah Manab Lirboyo, Kiai Hisyam Syafa’at, Kiai Solikhin Cirebon, Kiai Tahmid Indramayu, dan banyak lagi.

Mereka semua adalah ulama-ulama Indonesia yang benar-benar berkiprah dan berjuang di Indonesia, artinya bukan ulama Indonesia yang berkiprah di negara lain. Dari mereka muncul terus tokoh-tokoh yang kemudian benar-benar mewarnai Indonesia, memadukan Keislaman dan Keindonesiaan.

Jika Kiai Hasyim jadi menetap di Mekkah, mungkin saja Nahdlatul Ulama (NU) organisasi yang dianut oleh puluhan juta orang, tidak ada. Organisasi yang sangat mendukung Islam Wasathiyah (Islam arus tengah atau moderat) dan benar-benar mewarnai Indonesia dari segala bidang, keagamaan, politik, sosial, kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll.

Mungkin pula, tidak akan ada strategi berkawan terhadap Jepang, untuk mendapatkan modal menuju kemerdekaan. Strategi yang dicemooh beberapa pihak, tapi malah ampuh memerdekakan bangsa, dari pada strategi mereka yang frontal. Tokoh yang mempersatukan umat Islam, untuk memerdekakan bangsa, menyetujui butir-butir pancasila, dan dasar negara.

Maka patut kita syukuri, bahwa sosok Kiai Hasyim ini, tidak jadi menetap di negara lain, membesarkan negara lain, tapi besar dan membesarkan negaranya sendiri, memberikan warna yang indah pada sejarah bangsa Indonesia dan umat Islam di dalamnya. Al Fatihah untuk Kiai Hasyim, yang telah menurunkan ego sentrisnya menjadi Syaikh besar di negera orang, untuk tetap menimang ibu pertiwi dalam pangkuannya. Wallahua’lam...

*Penulis adalah Tim Pusat Kajian Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari.